21. Lamar Dan Nikah

56.4K 1.8K 43
                                    

Keduanya masih belum berhenti, seolah rindu belum sembuh. Seolah tidak akan ada kesempatan lagi besok dan seterusnya.

Heksa melahap bibir bengkak Lizia lagi, mengajak lidahnya saling membelit. Membingkai wajahnya, terus memperdalam ciumannya.

Lizia meremas lengan Heksa, dia mulai kewalahan. Nafasnya menipis. Beruntungnya Heksa menjauhkan wajahnya.

Lizia langsung menghirup udara dengan rakus. Heksa tersenyum, dia kecupi lehernya, dia sasar tanpa terlewat.

Lizia merem melek, meremas bahu Heksa. Sudah lama sekali tidak merasakan sentuhannya dan kali ini nyata.

Sosok Heksa manusia bukan hantu tampannya yang nakal lagi.

Lizia mengecupi pipi Heksa dengan berani, malu hanya akan muncul di akhir. Lizia juga tidak peduli.

Dia tidak akan sakit lagi.

Heksa tersenyum menerima keagresifan Lizia. Dia menikmatinya. Membalasnya dengan kecupan lagi.

"Engh.." lenguh Lizia saat merasakan jemari Heksa meremas dadanya langsung, memelintir puncaknya.

Lizia kembali menabrakan bibirnya dan Heksa menyambut rakus tentu saja. Tidak melepaskan remasannya.

Heksa dudukan Lizia dicloset duduk, dia kembali lumat bibirnya dengan jemari membuka beberapa kancing pakaian Lizia.

Ciuman pun berpindah ke dua bukitnya, berpindah ke bibirnya lagi. Terus saja bolak-balik.

Lizia menggeliat gelisah dengan tak sabar. "Kak Heksa, mau." lirihnya.

Heksa menghentikan hisapan di sebelah dada Lizia. "Mau apa?" tanyanya serak.

"Mau." Lizia memeluk leher Heksa, pasti Heksa paham.

"Maaf, Lizia. Terpaksa aku pura—"

"Jangan di bahas, lagi mau kakak." lirihnya serak, terlihat sudah sangat ingin.

Heksa menelan ludah. Tidak indah jika di sini. Dia harus membuat tempat khusus yang sulit di jangkau oleh ilmu hitam sekali pun.

"Nanti aku kasih kabar, sabar dulu." Heksa kembali mencium Lizia, membelai bawahnya. Dia hanya akan membuat Lizia sampai pelepasan. 

***

Heksa tersenyum samar, dia berdebar bahagia mengingat Lizia yang merengek tidak mau berpisah. Tapi, sayangnya toilet bau.

Mereka tentu saja harus berpisah.

Heksa mulai mengatur tempat. Dia ingin mempunyai privasi. Semoga saja tidak akan menjadi masalah.

"Ma, pa."

"Ya?"

Helena dan Heri terlihat tengah bersiap untuk pergi liburan.

"Aku janji, aku ga akan buat masalah. Bisnis kalian aman, tapi izinin aku keluar." Heksa berharap dikabulkan.

Untuk saat ini dia ingin bersama Lizia dulu, mengumpulkan bukti dengan pikiran terganggu malah tidak akan berakhir baik.

Siapa tahu Lanon bisa membantunya. Walau sebenarnya tidak ingin melibatkan mereka. Tapi mengingat Lanon spesial, sepertinya bisa diajak kerja sama tidak berjuang sendirian.

Tak hanya itu, mereka memaksa ingin membantu juga.

Sudah cukup dia menyakiti dan menyiksa Lizia dengan rindu. Dia pun sama tersiksa, sudah saatnya menepati janjinya yang terlambat.

"Mama ga percaya kamu," Helena melipat tangan di perut dengan serius.

"Mama bisa kirim mata-mata. Aku cuma mau hidup normal. Aku mau kerja di bidang lain, selain kesehatan."

Hantu Tampan NakalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang