Surat #1

6 0 0
                                    


Selamat pagi, siang, sore dan malam. Kapanpun engkau terima suratku ini, Ninda. Ada beberapa hal yang ingin kusampaikan padamu. Sebelum waktu itu benar-benar datang dan kita akan segera berpisah jarak dan waktu. Mungkin nanti kau tidak akan mengenaliku lagi atau malah pura-pura tidak kenal. Seperti yang engkau tunjukkan saat ini. Setiap tatapan kita saling berpandangan. Aku tahu hari bahagiamu akan segera menjelang. Waktu kan segera menuai usia kita. Dan pula dalam hitungan hari engkau akan segera tidak berada disini lagi. Berkantor di ruangan pojok itu. Sebuah "ruang sakral" sebelum aku tahu engkau ada pemiliknya.

Engkau mungkin masih merasa terkejut kala tahu suratku ini benar-benar tertuju padamu. Suratku ini bukan lukisan luka di hati. Tak perlu kau hempas meski tak ingin kau sentuh. Entah, tiba-tiba saja aku ingin menulis surat untukmu. Kuterimakan kekalahanku untuk memenangi hatimu. Sebelum aku tahu engkau benar-benar tidak disini, aku hanya ingin bertanya sesuatu padamu. Bukan untuk meyakinkanmu seolah aku ini makhluk paling benar di kolong langit. Bukan juga karena aku meragukan keputusanmu. Hanya untuk mengingatkan saja.

Ninda, apakah calon suamimu itu mampu mengimami sholatmu? Apakah calon suamimu itu mampu mengeja ayat-ayat cinta dalam surat Al Fatihah? Apakah engkau akan menerima begitu saja ketika ia minta engkau membimbingnya membaca Al Fatihah sambil terbata? Apakah calon suamimu itu tahu makna Shirottal Mustaqqim didalamnya? Apakah engkau sudah siap dan sanggup untuk bersabar kala membangunkannya di subuh hari? Belum lagi ketika anak pertama kalian lahir kelak. Apakah calon suamimu itu sudah lebih dari mampu untuk mengumandangkan adzan ditelinganya?

Memang tidak ada larangan dalam Al Qur'an untuk menikahi seorang ekspatriat asal negerinya Hiroko. Selama calon suami yang kekasihmu itu mampu mengucap dua kalimat syahadat dan benar-benar bisa mengamalkannya. Aku hanya sekedar mengingatkan saja bahwa kadang kebahagiaan itu bisa datang dari mana saja. Bahkan dari hal-hal kecil sekalipun. Misalnya, saat suamimu itu mengimamimu dan kau mencium tangannya usai Attahiyat akhir dan engkau berdua mengucap doa penuh harap agar tidak menggantung di kaki langit sana. Betapa sederhananya hidup ini bila kita memang menginginkannya.

Aku tahu setiap pertemuan kita adalah luka. Luka yang hanya waktu saja yang mampu sembuhkan. Cepat atau lambat. Ingatlah oh Ninda, bahwa aku katakan ini bukan karena kebencianku setiap kau tak membalas senyumku. Bukan. Aku hanya ingin jadi temanmu saja, yang selalu mengingatkanmu pada hal-hal yang mungkin saja sempat tak terpikirkan olehmu. Anggap aku ini termasuk dalam golongan kaum yang cemburu. Tapi aku tidak akan pernah rela bila harus melihatmu berjuang untuk sesuatu yang demikian. Walau aku tahu kau akan sanggup menghadapi seribu satu konsekuensi karenanya.

Saat bersamamu...

Sederhana dan indah tak dapat ku ungkapkan dengan kata-kata...

Perasaan yang ada...

Hilang lebur bersama...

Saat engkau menjelang bahagia... Dengannya...*)

Ninda, aku pun tahu engkau mungkin tidak akan pernah menghiraukan suratku ini. Aku tahu engkau sudah muak dengan salam-salam yang sering kutitipkan. Aku tahu engkau selalu mengharapkan kenyataan bukan salam semata. Ninda, maafkanlah aku. Aku yang tak pernah bisa adil pada cinta kau dan dia. Padahal, ada kau dan dia itu pun bukan aku yang mau. Biar Tuhan saja yang menolongku. Membantuku untuk sedikit melupakanmu. Itu pun kalau Dia tidak keberatan.

Salam rindu penuh cinta,


diatas bis jemputan, 29 November 2011.

*) dari lirik lagu "Jatuh" dinyanyikan oleh She Band (formasi tahun 2000).


Surat Buat Ninda dan Hal-Hal yang Tak SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang