61. Runding

7 1 0
                                    

Kirana berdiri di tengah gemerlap istana yang megah, memandangi ke segala penjuru sambil menarik napas panjang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kirana berdiri di tengah gemerlap istana yang megah, memandangi ke segala penjuru sambil menarik napas panjang. Tempat ini—di mana cahaya dan keagungan berbaur—justru selalu membuat dadanya sesak. Ia bisa merasakan kekuatan gelap di setiap dinding istana, sesuatu yang hanya bisa ia rasakan sendiri. Meski tak menyukainya, Kirana harus tetap memaksakan diri, bersama dengan Mita dan Zayne yang selalu membersamai gadis itu ke mana saja.

Di tengah perjalanan, Kirana tidak sengaja bertemu dengan Dara. Senyum tipis langsung merekah di bibirnya saat itu juga, dia bisa melihat ada perubahan dari gadis itu. Dia terlihat jauh lebih segar dan berseri, tak terlihat lagi aura gelap yang mengelilingi seperti sebelumnya.

"Nona Kirana! Senang sekali bisa melihatmu kembali," sapa Dara dengan ramah. Seperti biasa, senyumnya selalu terasa hangat.

Kirana membalas sapaan itu dengan mengulas senyum di bibirnya. "Senang melihat Anda sehat juga, Yang Mulia. Anda terlihat lebih bercahaya hari ini."

Dara tersipu, wajahnya sedikit memerah mendengar pujian itu. Kirana adalah satu-satunya orang yang selalu bisa membuatnya merasa lebih baik. Meski Kirana sering terlihat dingin dan sulit didekati, Dara tidak pernah menyerah. Ia bertekad untuk menjadikan Kirana sekutu sekaligus teman, teman dalam arti yang sesungguhnya. 

Tentang perbuatan dosanya di masa lalu—penghianatan yang ia lakukan pada Chandra—ia berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Dia belajar dari masa lalu, bahwa penghianatan hanya akan mendorongnya pada jurang penyesalan yang dalam.

"Apakah hari ini kau datang untuk menemui Yang Mulia lagi?" tanya Dara mencoba membuka percakapan.

Kirana mengangguk. "Benar sekali, Yang Mulia. Saya ingin membahas soal hutan larangan yang sudah kita bicarakan beberapa hari yang lalu."

"Baiklah, aku mengerti." Dara mengangguk kecil. "Tapi, Nona Kirana, kau harus berhati-hati kali ini, karena Yang Mulia sudah mengetahui tentang kepergian kita ke Lembah Tumasik."

Kirana agak terkejut mendengar itu, meski ia berusaha untuk tidak terlalu menunjukkannya. Sebagai utusan Aetherial, Kirana sudah sangat terlatih mengendalikan ekspresi dan emosi saat berada di hadapan orang lain, karena ia tahu, dalam kerajaan, kelemahan sekecil apa pun bisa dipakai untuk menjatuhkan atau mengendalikan seseorang.

"Terima kasih karena telah mengatakannya, Yang Mulia," Kirana menjawab dengan nada yang tenang, namun tanpa meninggalkan kesan tegas yang telah dibangunnya. "Saya pasti bisa mengatasinya."

Dara tersenyum, memandangnya penuh percaya diri. "Tentu saja. Aku selalu percaya, kau adalah wanita yang kuat dan hebat, Nona Kirana. Dan ... kalau kau tidak keberatan, setelah urusanmu dengan Yang Mulia selesai, bagaimana kalau kita minum teh sebentar? Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu di rumah kaca."

Kirana tersenyum tipis, merasa sedikit terhibur karena Dara tampaknya sangat mengerti bahwa ia sedang terburu-buru. "Tentu, Yang Mulia. Setelah urusan saya selesai, saya akan mampir," jawabnya dengan lembut. Tidak berniat menolak.

SELENOPHILE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang