76. Petaka yang Mengamuk

5 1 0
                                    

Langit berubah kelam, gulungan awan hitam bergemuruh seperti badai yang mengamuk tanpa ampun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit berubah kelam, gulungan awan hitam bergemuruh seperti badai yang mengamuk tanpa ampun. Di tengah kekacauan itu, Kirana berdiri teguh dalam lingkaran mantra, tubuhnya memancarkan cahaya suci yang menjadi satu-satunya harapan di dunia yang nyaris terserap ke dalam kegelapan abadi. 

Di sisi lain, Wira berjuang mati-matian menahan gelombang monster buas yang dikendalikan oleh Buana, sesosok makhluk raksasa yang kini telah berubah sepenuhnya menjadi iblis. Taring-taring mencuat tajam, matanya menyala dengan kemarahan yang membakar segala yang ia pandang.

"Sial!" Wira mendesis, darah mengucur dari luka di lengannya. "Jika terus begini, kita semua akan mati sia-sia!"

"Utusan Tuhan! Aku tidak bisa menahan mereka lebih lama lagi!" teriaknya dengan suara parau, seraya mengayunkan pedang untuk meremukkan makhluk-makhluk kecil yang terus menyerbu dari sisi kanan.

Meski tubuhnya bergetar kelelahan, dan juga bahaya terus datang menyerang tanpa henti, Kirana berusaha untuk tetap bersikap tenang. Ia melirik pada Chandra yang berdiri di sampingnya. Tubuh kembarannya itu terlihat jauh lebih segar setelah kembali ke raga yang asli. Itu adalah efek dari energi kehidupan milik Kirana yang juga berpindah ke tubuh Chandra.

"Chandra, ini bukan saatnya untuk basa-basi. Aku senang kau bisa kembali. Tapi, bisakah kau bertarung, dan membantuku mengalahkan kronco-kronco makhluk raksasa itu?"

Chandra menatap Kirana dengan penuh percaya diri. "Aku merasa jauh lebih segar dari sebelumnya, dan aku yakin bisa bertarung dengan benar kali ini. Tapi, aku butuh belatiku kembali—belati yang kau simpan." 

 Kirana mengangguk paham, lalu mengambil belati yang tersimpan di pinggang. Sekali lagi, dia memandang Chandra, mencoba memastikan keadaannya. "Apa kau benar-benar yakin?" 

Chandra langsung menyambar belati yang dipegang Kirana. Tatapannya yang penuh tekad membuktikan bahwa dia sangat yakin dengan perkataannya. "Aku sangat yakin. Karena anugerah Sang Hyang telah memberkahi kita." 

Di kejauhan, Buana menggeram, suaranya seperti gemuruh petir yang menghantam bumi. "Manusia lemah! Meski kau hidup berulang kali, kematian akan tetap datang untuk menghancurkanmu! Ini adalah janji atas kematian adikku, yang kalian bunuh dengan sia-sia!"

Kirana mengernyit. Kata-kata itu menusuk pikirannya. 

Adik? Siapa yang dimaksud monster raksasa itu sebagai adik? Mungkinkah Anashera, sosok yang selama ini mereka kenal, juga menjadi korban kebencian makhluk raksasa itu karena kematian adiknya? 

Namun, Kirana segera menyingkirkan pikiran itu. Bukan saatnya untuk mencari jawaban. Kegelapan sedang menyerang, dan dia harus tetap fokus.

Tanpa peringatan, Buana melompat ke udara, menciptakan gelombang kejut dasyat yang menghancurkan tanah di sekitarnya. Kirana cepat menarik Chandra agar tidak terkena ledakan itu.

Pertarungan berubah menjadi ajang bertahan hidup. 

Kirana melontarkan mantra suci, melepaskan cahaya putih keemasan yang menghancurkan barisan pasukan iblis. Chandra bergerak lincah, belatinya menebas makhluk-makhluk yang mendekat, mengubah mereka menjadi debu hitam. Sementara itu, Wira seperti badai yang mengamuk, mengayunkan pedangnya dengan kecepatan mematikan, melindungi kedua rekannya dari serangan sisi lain.

SELENOPHILE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang