Chapter Three

37 3 0
                                    

Chapter 3: Menyusuri Bayang-Bayang

.

.

Hari-hari berikutnya terasa seperti potongan-potongan teka-teki yang semakin rumit bagi Arya. Meskipun kini ia mulai menerima perasaan asing yang membentuk identitas barunya, bayangan di balik cermin terus menghantui pikiran dan tidurnya. Mimpi-mimpi yang muncul setiap malam seperti serangkaian pesan samar yang memberi petunjuk tentang siapa dirinya sebenarnya—dan mengapa perubahan ini terjadi.

Setiap kali menutup mata, Arya melihat cermin-cermin lain. Beberapa di antaranya memperlihatkan bayangan-bayangan masa lalunya; senyum yang dipaksakan saat bersikap ‘sesuai’ di depan orang lain, malam-malam penuh kegelisahan, dan kerinduan tak terucapkan untuk menjadi seseorang yang tak pernah bisa ia wujudkan. Ada juga cermin-cermin lain yang lebih kabur, memantulkan kemungkinan masa depan yang belum jelas, tetapi terasa menakutkan.

Namun, di antara cermin-cermin itu, ada satu bayangan yang selalu muncul—sosok perempuan yang tampak lebih tenang dan percaya diri. Sosok ini muncul dalam setiap mimpinya, tersenyum penuh kehangatan seperti seorang sahabat yang menanti untuk dikenal lebih dalam. Setiap kali Arya mencoba mendekat, sosok itu hanya menatap balik dengan mata penuh teka-teki, seolah-olah menantang Arya untuk menemukan siapa dirinya.

.

.

Keesokan paginya, Arya memutuskan untuk bertemu kembali dengan Indra. Indra adalah satu-satunya orang yang bisa ia percayai, dan meskipun ia tak selalu memahami sepenuhnya, ia selalu ada untuk mendengarkan. Mereka memilih tempat yang lebih tenang kali ini—sebuah kafe kecil di pinggiran kota, jauh dari keramaian dan tatapan ingin tahu orang-orang di kampus.

Mereka duduk di sudut kafe, di dekat jendela yang menghadap jalan sepi. Aroma kopi yang hangat mengisi udara, dan selama beberapa saat mereka hanya duduk dalam keheningan, membiarkan suasana itu meresap.

“Aku sudah mencoba memahami semua ini, Indra,” Arya membuka percakapan, menatap ke arah cangkir kopinya yang belum tersentuh. “Dan semakin aku mencari tahu, semakin aku merasa bahwa perubahan ini… mungkin sudah takdirku. Mungkin, ini adalah bagian dari siapa diriku.”

Indra mendengarkan dengan seksama, sorot matanya menunjukkan dukungan tanpa syarat. “Jadi, menurutmu, sosok di cermin itu… adalah bagian dari dirimu yang sebenarnya?”

Arya mengangguk pelan. “Aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya. Tapi seolah-olah… tubuh ini adalah cerminan perasaanku yang sebenarnya. Mungkin selama ini aku memang menolak atau bahkan takut untuk mengakuinya.”

“Lalu apa langkahmu selanjutnya?” tanya Indra pelan, berusaha menunjukkan bahwa ia mendukung apapun yang akan dipilih Arya.

Arya menghela napas. “Aku rasa aku harus menerima sisi ini—sisi perempuan ini. Bukan hanya soal tubuh, tapi juga jiwaku. Aku harus berdamai dengan siapa diriku, dan tidak lagi takut pada bayangan dalam cermin itu. Kalau ini adalah diriku yang sebenarnya, maka aku tidak boleh mengingkarinya.”

Mendengar penjelasan Arya, Indra menepuk pundaknya dengan lembut. “Aku bangga padamu, Arya. Dan aku yakin, apa pun yang terjadi nanti, kamu akan menemukan jalanmu.”

.

.

Arya merasa bahwa satu-satunya cara untuk berdamai dengan perubahan ini adalah menghadapinya langsung. Karena itu, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang selama ini ia hindari—berbicara dengan keluarganya tentang semua yang ia rasakan, sesuatu yang selalu ia sembunyikan di balik topeng kejantanan dan ekspektasi. Keluarganya adalah orang-orang yang ia cintai, tetapi mereka juga merupakan sumber utama dari tekanan untuk menjadi “seperti laki-laki pada umumnya.”

The Mystery Behind The MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang