Chapter Four

20 0 0
                                    

Chapter 4: Menerjang Gelombang

.

.

Sejak mengganti namanya menjadi Arin, kehidupan Arya terasa seperti berlayar di laut lepas—terbuka, penuh kebebasan, tetapi juga tidak terhindar dari badai. Meski dirinya kini telah menerima perubahan yang ia alami dan menjalani kehidupan dengan identitas baru, tidak semua orang di sekitarnya mudah menerima keputusan tersebut. Perjalanan ini menghadirkan tantangan baru, seolah alam pun menantang keteguhan hatinya.

Meskipun Indra selalu berada di sisinya, tidak semua teman, rekan kampus, bahkan beberapa anggota keluarga menerima keputusan Arin dengan mudah. Orang-orang yang selama ini dekat dengannya mulai menunjukkan reaksi yang berbeda, dan beberapa mulai menjaga jarak, baik dengan diam maupun terang-terangan menentang.

.

.

Di kampus, Arin kini harus menghadapi berbagai tatapan dan bisikan di belakang punggungnya. Teman-temannya yang dulu akrab tiba-tiba menjadi canggung. Ketika ia masuk ke kelas, beberapa mahasiswa yang dulu sering duduk di sampingnya sekarang berpindah tempat, menghindari interaksi langsung. Bisikan-bisikan kecil mulai menyebar di antara mereka, berbisik tentang "keanehan" yang terjadi pada Arya, atau mereka yang diam-diam menyebutnya "si penyihir cermin."

Kejadian ini semakin menjadi ketika suatu hari, seorang mahasiswa, Arman, yang dikenal suka bercanda namun sering kelewatan, tiba-tiba menegurnya di depan umum.

“Hei, Arya… atau… Arin, ya?” ujarnya dengan nada mengejek. “Gimana rasanya berubah jadi cewek? Apa kamu benar-benar merasa cocok dengan tubuh itu sekarang?”

Seluruh kelas terdiam. Semua mata tertuju pada Arin, dan ia bisa merasakan setiap tatapan menembus dirinya. Meski dadanya terasa sesak dan jantungnya berdebar keras, Arin mencoba untuk tetap tenang.

“Apa itu penting buatmu, Arman?” jawabnya sambil menatap balik. “Aku merasa nyaman dengan siapa diriku sekarang, dan itu seharusnya nggak mengganggumu.”

Arman tertawa sinis. “Kamu mungkin nyaman, tapi bagaimana dengan orang lain? Jangan-jangan ini cuma… keanehan sesaat.”

Namun, sebelum Arman bisa melanjutkan, Indra yang kebetulan masuk ke kelas langsung menegurnya. “Sudah cukup, Arman. Urusan pribadi Arin bukan urusanmu. Kalau kamu nggak bisa menghormati teman sendiri, sebaiknya kamu pergi.”

Keberanian Indra membela Arin membuat Arman mundur, dan kelas kembali diam. Arin merasa sedikit lega, tetapi bayang-bayang keraguan tetap menghantuinya. Meski ia yakin dengan siapa dirinya kini, penolakan dan ejekan yang ia hadapi membuatnya mulai bertanya-tanya apakah ia benar-benar mampu menghadapi dunia yang tidak selalu ramah ini.

.

.

Beberapa hari kemudian, setelah perdebatan di kelas tersebut, Arin memutuskan untuk menemui seorang konselor di kampus. Ia butuh seseorang yang netral, yang bisa mendengarkan perasaannya tanpa prasangka. Konselor itu, seorang wanita paruh baya bernama Bu Sari, adalah sosok yang tenang dan penuh pengertian. Dengan lembut, ia mendengarkan setiap kisah Arin, dari pergulatan batinnya hingga cermin misterius yang mengubah hidupnya.

“Arin,” ujar Bu Sari setelah mendengarkan panjang lebar, “perjalanan yang kamu lalui ini adalah proses untuk mengenali dan menerima diri sendiri. Orang lain mungkin belum paham, atau mungkin tidak akan pernah sepenuhnya mengerti. Tapi yang paling penting adalah bagaimana kamu melihat dirimu. Ingatlah bahwa ini adalah hidupmu, bukan hidup mereka.”

The Mystery Behind The MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang