Chapter Five

44 2 1
                                    

Chapter 5: Refleksi Terakhir

.

.

Sejak malam pengakuan itu, hubungan Arin dan Indra terasa jauh lebih mendalam. Bukan hanya sekadar perasaan, namun ada sebuah ikatan yang sulit dijelaskan-seolah-olah dua jiwa yang akhirnya dipertemukan kembali setelah lama terpisah. Tapi, meskipun Arin merasa telah mencapai banyak hal dalam proses penerimaannya, ia tidak bisa menghindari keraguan yang muncul dari dirinya sendiri. Perasaan bahagia bercampur kekhawatiran terus menghantui, seolah ada sesuatu yang belum tuntas di dalam hatinya.

Mimpi-mimpi yang dulu berpusat pada cermin misterius kembali menghantui tidurnya. Kali ini, mimpi-mimpi itu tidak hanya menampilkan bayangan dirinya, tetapi juga jalan berliku yang seolah menggambarkan perjalanan hidupnya. Ia menyusuri lorong panjang yang dipenuhi cermin dengan berbagai ukuran, memperlihatkan beragam sisi dirinya. Di beberapa cermin, ia melihat sosok Arya yang dulu; di cermin lain, ia melihat Arin yang kini penuh percaya diri. Ada pula cermin-cermin yang memantulkan gambaran dirinya yang berbeda-cermin di mana ia tidak mengenali siapa dirinya, wajah tanpa ekspresi, seperti hampa, tidak memiliki makna.

Dalam keheningan lorong itu, Arin terhenti di depan cermin besar yang menampilkan dirinya dalam wujud masa lalu. Cermin itu tidak hanya memantulkan dirinya dalam bentuk fisik Arya, tetapi juga setiap kenangan, ketakutan, dan keraguan yang pernah ia alami. Sosok Arya dalam cermin menatap balik dengan mata yang penuh beban.

"Kamu meninggalkanku," sosok Arya dalam cermin itu berbisik pelan, namun jelas. Suaranya dipenuhi kesedihan, seperti seorang teman lama yang dilupakan.

Arin menelan ludah, mendekati cermin itu sambil merasa terhanyut oleh perasaan bersalah. Meskipun ia telah menerima sisi perempuan dalam dirinya, bagian lain dari hatinya masih terikat pada kehidupan lamanya sebagai Arya-kehidupan yang telah ia tinggalkan, namun masih menjadi bagian penting dari siapa dirinya.

"Aku tidak meninggalkanmu," jawab Arin dengan suara yang bergetar. "Aku hanya... menemukan diriku yang sebenarnya. Ini bukan soal melupakan atau mengabaikan, tapi tentang menerima siapa aku."

Sosok Arya di cermin menatapnya dengan sorot mata yang penuh amarah dan kesedihan. "Lalu, bagaimana dengan janji-janji yang pernah kamu buat saat masih menjadi diriku? Bagaimana dengan impian-impian yang kamu tinggalkan begitu saja?"

Pertanyaan itu menusuk hati Arin. Selama ini, ia selalu berusaha untuk bergerak maju, tanpa menoleh ke masa lalu. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa ada bagian dari dirinya yang belum sepenuhnya bisa menerima perubahan ini. Ada impian dan harapan masa lalu yang ia tinggalkan, bahkan teman-teman yang tidak lagi memahami dirinya kini.

.

.

Ketika Arin terbangun dari mimpi itu, keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia merasa terguncang, seolah-olah diburu oleh bayangan yang telah lama ia lupakan. Di tengah keheningan malam, ia merenungkan kata-kata sosok Arya di cermin tadi. Meskipun dirinya telah bertransformasi menjadi Arin, sebagian dari hatinya masih tertinggal di kehidupan lamanya. Masa lalu itu bukan hanya sekadar kenangan, tetapi bagian dari siapa dirinya.

Hari itu, ia memutuskan untuk menghadapi masa lalu yang selama ini ia coba tinggalkan. Tanpa memberi tahu Indra, Arin berangkat menuju kota kecil di mana ia menghabiskan masa remajanya sebagai Arya. Kunjungan itu terasa seperti perjalanan ke dalam hati yang paling dalam, tempat ia menyimpan luka-luka lama yang selama ini tidak ingin ia sentuh lagi.

The Mystery Behind The MirrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang