Senja baru berusia sembilan belas tahun saat menikahi Raden Mas Banyu. Saat memutuskan mengakhiri masa lajang, Senja sadar bahwa posisinya tidak akan bisa lebih dari sekedar gundik bagi laki-laki itu. Status sosial mereka berjarak jauh. Jika bukan k...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tidak ada keraguan dari sorot matanya yang kelam, dia menunggu di dalam kegelapan dan keheningan yang memuakkan. Kulepas kaitan kancing kebayaku satu persatu. Suara siulan yang menggoda terdengar bersusulan dari bilik sel tahanan. Raden Mas Banyu ingin mempermalukanku di depan semua orang maka akan kuberikan dia kesempatan.
Kulepaskan kebaya yang kukenakan dan hanya menyisahkan kemben yang menjadi pelapisan akhir. Hawa dingin langsung menyergap tubuhku, memelukku dengan rasa sakit yang coba kutahan karena harga diri yang hilang, tapi dia tetap diam. Seperti belum cukup untuk membuatku malu. Dia tersenyum meremehkan. Tatapanku padanya tak kubiarkan terputus. Aku ingin dia melihat kesungguhanku mempertahankan kepercayaan dan kejujuran yang masih tersisa di antara kami berdua.
Mulai sekarang aku akan melakukan apa saja yang dia mau. Sepenuhnya aku telah menjadi orang yang berbeda. Aku ingin menjadi bagian dari hidup Banyu yang bebas, aku ingin menyeimbangi dunianya yang luas. Tidak terpaku pada aturan tradisi yang baku. Aku teringat malam-malam saat tubuhnya beraroma perempuan-perempuan yang bercinta dengannya. Raden Mas Banyu pernah berbagi ranjang yang sama dengan mereka semua, tapi denganku tidak.
Semakin mengingatnya, tekadku semakin kuat, saat aku hendak melepaskan kaitan kembenku yang terakhir, seseorang dari arah belakang mengibaskan jubah yang menutupi tubuhku seluruhnya. Aku terperanjat karena terkejut. Nyaliku tiba-tiba menjadi ciut. Bukan hanya aku tapi Raden Mas Banyu juga melihat ke arah orang itu. Perempuan berparas ayu berusaha melindungiku.
"Aku rasa kau sudah kehilangan kewarasan, Banyu. Bagaimana bisa kau mempermalukan istrimu seperti ini?"
Raden Mas Banyu mendengus kesal. "Kau bawa kuncinya?"
Perempuan itu melempar sesuatu ke arah suamiku dan Raden Mas Banyu menangkapnya cekatan. Dengan gerakan yang cepat dia bisa membuka pintu penjara tanpa kesulitan. Orang-orang yang masih terbelenggu dalam sel tahanan lain berteriak memanggil, memohon agar mereka juga dilepaskan, tapi baik Raden Mas Banyu dan perempuan itu tidak peduli.
"Kau juga sama gilanya. Jika dia meminta nyawamu, apa kau juga akan memberikannya dengan cuma-cuma? Semua orang punya jatah menjadi bodoh dalam hidup, tapi jangan kau pakai jatah itu semua hanya karena sedang jatuh cinta. Bukan cuma akan jadi bodoh, tapi kau juga akan jadi gila. Begitulah orang kalau sudah dimabuk asmara. Tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Tapi kubicara seperti ini juga percuma. Kau dan dia tidak akan mendengarkan juga."
Perempuan itu menyerahkan pakaianku, aku memandang ke arah Raden Mas Banyu yang melewatiku begitu saja seperti tidak terjadi apa-apa, tanpa berpikir dua kali aku memakai pakaianku kembali. Terasa konyol memang, tapi aku tidak memiliki pilihan. Jika ingin mendapatkan posisi di dalam hidupnya, aku harus keluar dari jalur hidupku. Aku tidak bisa hanya diam menunggu orang berbicara tentang kebenaran, sedangkan kepercayaanku pada mereka telah hilang.
"Kita harus cepat, sebelum Abimanyu dan ayahku tau. Apa kau sengaja mengundangnya?"