Senja baru berusia sembilan belas tahun saat menikahi Raden Mas Banyu. Saat memutuskan mengakhiri masa lajang, Senja sadar bahwa posisinya tidak akan bisa lebih dari sekedar gundik bagi laki-laki itu. Status sosial mereka berjarak jauh. Jika bukan k...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Semenjak malam saat Raden Mas Banyu pulang dengan seorang perempuan. Aku semakin yakin, posisiku tidaklah terlalu penting. Raden Mas Banyu menolak saat aku berusaha memapahnya ke dalam rumah. Dalam keadaan mabuk pun dia tetap tidak tertarik padaku. Dia justru membiarkan perempuan itu yang mengantarnya sampai ke dalam kamar kami. Ya kamar kami, yang seharusnya hanya diisi aku dan Raden Mas Banyu. Tidak seperti perkataan Dahayu. Aku bisa melihat dengan kedua mataku, mereka saling bercumbu di atas ranjang itu.
Untuk menutupi rasa kecewaku siang ini aku berencana akan mulai mencari toko yang bisa kusewa untuk menjual tembakau dan cengkeh. Raden Mas Banyu tidak memberikan arahan apa pun saat semua barang dagangan kami sudah sampai dan siap dijual. Mungkin perempuan-perempuan di kedai minum itu lebih penting daripada menambah uang dalam sakunya. Jadi aku akan mengambil langkah sendiri. Anggap saja ini sebuah tantangan baru, aku lebih bersemangat daripada terus memikirkan kejadian semalam.
Aku sengaja menyewa delman untuk mengatarku berkeliling. Aku pasti tidak akan sanggup pergi ke beberapa tempat sekaligus dengan hanya berjalan kaki, ditambah pengetahuan minim tentang daerah yang baru kutinggali, tidak akan membantu banyak. Demi menghemat waktu, kubiarkan kusir delman itu membawaku menunjukan ke beberapa tempat, dengan bermodal kecil aku tidak akan sanggup menyewa tempat besar, terlebih jika itu berada di pusat pasar.
Pikiranku teralihkan saat roda delman berhenti berputar dan kusir turun dari tempat kemudinya. "Ini toko yang saya bilang tadi, Ndara."
Kulihat sekilas bangunan berukuran sedang di depanku, tampak cukup menjanjikan sepertinya, tapi aku ragu bisa menawar biaya sewanya. Toko ini lebih besar dari toko-toko yang sudah kudatangi. Baru saja aku hendak berjalan menuju pintu masuk toko untuk menemukan pemiliknya, seketika perhatianku teralihkan saat ada seseorang yang keluar dari sana.
Aku tidak yakin dengan apa yang kulihat sekarang. Wajah laki-laki itu tampak begitu mirip dengan suamiku. Tidak ada perbedaan di antara wajah keduanya. Alis yang tegas, belahan dagu yang jelas, bibir yang ranum, semuanya seperti dicetak sama persis. Jika aku tidak mengingat perkataan Dahayu, aku akan percaya bahwa yang ada di depanku sekarang adalah Raden Mas Banyu bukannya orang lain. Hanya warna kulit, cara berpakaian dan cara berjalannya saja yang bisa aku bedakan dari keduanya.
Laki-laki yang kutebak sebagai Abimanyu itu menggunakan tongkat untuk berjalan. Kaki kirinya pincang, dan dia mengenakan setelan baju yang lebih mirip seperti pakaian prajurit, tapi kulit wajahnya yang putih mulus justru membuatku mengerutkan kening, tidak mungkin jika dia prajurit dengan pangkat rendah.
"Senja."
Ada kepiluan yang memancar dari matanya saat memanggilku. Pandangannya jelas seperti orang yang telah usai menunggu. Abimanyu membenarkan letak anak-anak rambutku yang berada di kening dan menyisipkannya di belakang telinga dengan gerakan lembut yang membuat jantungku berdetak lebih kencang dari sebelumnya.