Laki-laki dan cintanya

314 89 20
                                    

Aku memandang pantulan diriku di depan cermin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku memandang pantulan diriku di depan cermin. Semenjak mendapati Raden Mas Banyu mengatakan sesuatu tentang orang tuaku, ada kemarahan yang tidak bisa kubendung, tapi kebingungan lebih dulu mempengaruhiku. Seperti layangan yang terlepas dari tali pengikatnya. Aku kehilangan arah dan tujuan untuk menaruh kepercayaan.

Kenapa dan bagaimana Abimanyu sengaja menunjukkan kebenaran padaku masih menjadi tanda tanya. Aku yakin dia tidak melakukan semua itu secara cuma-cuma. Bagaimana bisa Abimanyu bersikap sangat tenang berhadapan dengan anak pembunuh ibunya jika ucapan Raden Mas Banyu itu benar? Bukankah harusnya dia merasa marah atau dendam padaku?

Aku menggelengkan kepala, tidak mungkin seorang petani biasa seperti bapak dan ibuku membunuh seorang ningrat. Apalagi orang itu adalah adik kandung dari Sultan. Jika bapak atau ibuku mampu melakukan pembunuhan, tidak ada tempat di negeri ini yang cukup aman untuk kami tinggali bersama. Kami sekeluarga pasti tidak mungkin bisa hidup dalam kedamaian, apalagi sampai menjalin hubungan pernikahan dengan keluarga korban. Aku memang tidak terpelajar, bukan dari kalangan terpandang, tapi juga tidak bodoh untuk paham bahwa semua yang dikatakan Raden Mas Banyu adalah kebohongan. Entah apa maksud dan tujuannya, tapi jika dirunut dengan perilakunya selama ini, semua informasi yang kudapat dari Abimanyu terasa begitu masuk akal.

Raden Mas Banyu boleh saja menolakku, tidak menginginkanku sebagai istrinya. Dari dulu aku sudah tak peduli. Dua tahun ini hidup sebagai istrinya yang masih suci kuanggap sebagai nasib yang harus kuterima. Aku tidak pernah merasa tersinggung, tidak pula pernah marah meski dia menghabiskan malam-malamnya dengan perempuan lain di depan mataku. Tapi jika dia sampai memfitnah orang tuaku, apa aku juga harus diam? Kesetiaan yang dia minta padaku, haruskah aku berikan?

Aku memejamkan mata, menghela napas dalam-dalam, kedua telapak tanganku mencengkram jarik yang kukenakan.

"Bagaimana jika seharusnya yang menikah denganmu itu aku, bukan kakakku. Apa kamu akan tetap setenang ini?"

Tidak. Aku tidak peduli dengan siapa seharusnya aku menikah. Dengan siapa seharusnya aku menghabiskan hidup. Perkataan Abimanyu tidak akan mempengaruhiku. Toh, sejak awal aku memang tidak layak dinikahi kaum ningrat. Perbedaan kasta terlampau besar, apa yang bisa aku harapkan dari itu? Dunia tempatku hidup tidak membiarkan perempuan bersuara. Aku selalu sadar diri bahwa jika tidak bisa menikah atas dasar cinta, setidaknya kita harus menikah dengan orang yang sepadan. Kesalahanku, aku tidak menikah dengan orang yang setara denganku.

Hari ini adalah hari pertamaku berjualan tembakau dan cengkeh. Aku mengenakan pakaian yang Dahayu berikan. Kebaya yang potongannya memamerkan daya pikat terbesar perempuan. Meski tidak bisa membohongi diri bahwa aku merasa canggung dan risih dengan penampilanku sekarang, semua tetap harus coba kulakukan demi mendapatkan pelanggan. Kubiarkan rambutku terurai dengan hiasan bunga kencana yang terbuat dari emas. Jika aku gagal menikahi laki-laki yang sepadan denganku, aku akan berusaha menjadi sepadan untuk diriku sendiri sebagai perempuan bebas yang berhak secara penuh mengatur hidupnya.

Nyimas SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang