Nyimas Senja
15.10.24Aku dinikahi sebagai selir, bukan sebagai istri sah. Tempatku di rumah ini hanya sebatas pajangan yang lebih sering dilupakan oleh tuan rumah. Meski begitu, orang-orang yang bekerja di rumah ini tidak pernah memandang rendah diriku. Nyi Imah salah satu orang yang paling bersikap baik padaku. Mengajariku banyak keahlian yang biasanya hanya bisa didapat oleh para perempuan kaum ningrat.
Jika bukan karena Nyi Imah, aku pasti sudah merasa gila terkekang di dalam rumah tanpa bisa melakukan apa-apa. Untuk membalas kebaikan Nyi Imah. Aku mengambil alih seluruh pekerjaan rumah yang berkaitan langsung denganku dan suamiku. Setidaknya hanya itu yang bisa kulakukan. Jika saja ada kesempatan bagiku untuk menghasilkan uang, aku pasti akan membayar lebih atas jasa Nyi Imah yang telah mengajarkanku caranya membaca, membatik dan bermain alat musik.
Kembali pada rutinitas yang cukup sering kulakukan. Membersihkan kekacauan yang dibuat suamiku. Dengan sangat hati-hati, kubasahi selembar kain untuk mengelap peluh di keningnya. Aroma tuak yang kental memenuhi sekujur tubuh Raden Mas Banyu. Ini bukan pertama kali dia pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Kulepaskan kaitan kancing bajunya satu persatu sampai tangannya menghentikan gerak tanganku.
"Saya sudah pernah bilang, biarkan Nyi Imah yang membersihkan."
"Saya hanya berusaha membantu."
"Pergilah, kepala saya pusing."
Aku berusaha tidak mendengar penolakannya. Jam masih menunjukkan pukul dua pagi. Dia pulang lebih cepat dari biasanya, tapi juga tidak cukup umum untuk membangunkan pembantu pada jam-jam seperti ini. Jadi aku memilih bergeming saat dia memberikan penolakan dengan gerakan lemah.
Kerutan di keningnya masih berlipat-lipat, kusut seperti pakaiannya sendiri. "Apa kamu tuli?" Katanya lirih.
"Saya dengar permintaan Raden."
Raden Mas Banyu membuka mata, menatapku kesal. "Kenapa sekarang kamu jadi lebih menyebalkan?"
Aku menepis gerakan jarinya yang menunjuk wajahku terlalu dekat. "Meski saya seorang selir, saya tetap punya hak untuk melayani suami saya."
Raden Mas Banyu menarik bibirnya ke samping, tertawa mengejek. "Saya bahkan lupa sudah menikahimu. Sudah berapa lama?" Bibirnya berkomat-kamit seperti menghitung barisan domba-domba penghantar tidur. Tidak jelas dia bergumam angka sampai berapa saat matanya kembali terbuka.
"Dua tahun," jawabku singkat.
Jika dalam keadaan sadar. Raden Mas Banyu tidak akan secerewet ini. Aku berusaha cepat-cepat membersihkan tubuh bagian atasnya yang basah karena muntahan. Lebih cepat akan jauh lebih baik.
"Selama itu juga kamu masih perawan?"
Aku mendadak menghentikan gerakanku. Meski pelan aku bisa mendengar pertanyaan itu dengan jelas. Perkataan frontal darinya merubahku seperti patung untuk beberapa saat. Helaan napas Raden Mas Banyu lah yang kembali menyadarkanku. Jadi aku berusaha bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.
"Kamu tidak berniat kabur?"
Aku mengambil baju baru dari meja yang sebelumnya sudah aku siapkan. Memangnya perempuan sepertiku punya jalan keluar untuk kabur ke mana? Pertanyaannya sudah pasti tidak perlu kujawab.
"Nyimas Senja. Aku terlalu lama membiarkanmu sendirian, bukan?"
Sendirian lebih baik daripada barus berdua dengan rasa yang tidak aman seperti ini. "Biarkan saya mengganti pakaian Raden."
"Kita hanya berdua, kenapa kamu bersikap kaku seperti itu?" Dia kembali menggenggam tanganku. Kini genggamannya terasa lebih kuat dari sebelumnya. Aku tidak berbohong saat memuji keindahan fisiknya sebagai laki-laki. Raden Mas Banyu memang dianugerahi fisik yang mengagumkan. Tapi keindahan seperti itu hanya pantas untuk dikagumi saja tanpa harus benar-benar dimiliki.
"Saya tidak akan kabur ke mana-mana."
"Kenapa? Apa karena hutang keluargamu? Atau janji pernikahan kita yang sudah di atur?"
"Istirahatlah."
"Temani saya kalau begitu."
Aku tau dia tidak serius saat mengatakan keinginannya. Matanya terlihat nanar. Aku sudah terbiasa ditatap seperti itu olehnya saat mabuk. Jadi aku memilih untuk mundur karena tau hubungan kami tidak akan pernah menuju ke arah situ.
"Seperti katamu. Kamu punya hak melayani suamimu."
"Saya akan tetap ada di sini selama Raden Mas Banyu membutuhkan saya."
"Bukan hanya menemani, tapi juga melayani di sini, di tempat tidur saya."
Aku mulai meragukan penilaianku sendiri saat dia dengan cepat menarik tubuhku mendekat hingga tidak ada lagi jarak di antara kami berdua. Jantungku berdetak dalam ritme tak beraturan. Aku masih bisa mencium aroma perempuan lain dari tubuhnya, dan kini dia menginginkanku lebih dari biasanya.
Bukankah ini kesempatan bagiku untuk membuktikan diri menjadi tampungan benih-benih penerusnya? Bukankah ini kesempatanku untuk membungkam kekhawatiran Ibu dan orang-orang yang mengharapkan kehadiran seorang bayi di antara kami?
Dalam gerakan yang lambat tapi pasti, Raden Mas Banyu mendaratkan ciumannya pada bibirku, mencoba merayuku untuk menyerahkan diri seutuhnya, tapi aku tau ini pasti hanya mimpi belaka.
🌹🌹🌹
Cerita ini akan update 1x dalam 1 minggu, langsung 2 part sekaligus.
Jadi semisal aku nggak update, boleh langsung diteror untuk update yaaa!!!
See you and luv 🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyimas Senja
RomantizmSenja baru berusia sembilan belas tahun saat menikahi Raden Mas Banyu. Saat memutuskan mengakhiri masa lajang, Senja sadar bahwa posisinya tidak akan bisa lebih dari sekedar gundik bagi laki-laki itu. Status sosial mereka berjarak jauh. Jika bukan k...