6. kemarahan Abraham

155 40 65
                                    





Note: aku bergadang lho ngetik chapter ini... Otak ku encer nya malam, terus ada ide nya juga pas malam. Kalo di besok-in suka lupa...

***

Pagi nya, Abraham membuka pintu ruang kerja Sebastian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pagi nya, Abraham membuka pintu ruang kerja Sebastian. Langkahnya terhenti ketika melihat ruangan berantakan seperti medan perang—barang-barang berserakan, pecahan kaca menghiasi lantai, dan aroma kemarahan yang tertinggal di udara. Di sofa, Sebastian tergeletak, matanya terbuka namun kosong, wajahnya kuyu seperti lelaki yang kehilangan arah.

Abraham menutup pintu di belakangnya perlahan, tetapi nadanya langsung mengguntur, menusuk kesunyian ruangan. "Sebastian Atmadja! Apa yang kau pikirkan dengan menghancurkan ruang kerjamu sendiri?!"

Sebastian tetap tak bergeming, hanya mengerling sekilas tanpa niat menjawab.

Abraham melangkah lebih dekat, sepatunya menginjak pecahan kaca yang berderak di bawah kakinya. "Jangan diam, Sebastian. Aku ingin jawaban sekarang!"

Sebastian menghela napas, suaranya lirih, nyaris tak terdengar. "Dad… apa aku harus menyerah? Apa aku harus melepas Jeanne? Aku... aku merasa tidak cukup untuknya."

Pernyataan itu seperti menyalakan api di mata Abraham. Wajahnya memerah, dan dalam sekejap, tangan besarnya melayang, menampar Sebastian dengan keras hingga kepala putranya sedikit tertoleh ke samping.

"APA KAU GILA?!" bentak Abraham, suaranya seperti gemuruh yang mengguncang ruangan. "Seorang Sebastian Atmadja bicara soal menyerah? Soal menyerahkan miliknya kepada orang lain?!"

Sebastian terdiam, tangannya memegang pipi yang kini terasa panas, tetapi ia tidak berani melawan tatapan tajam ayahnya yang menusuk seperti belati.

"Lihat aku!" Abraham membungkuk sedikit, mencengkeram kerah baju Sebastian dengan kuat. "Dengar baik-baik, bocah. Jeanne itu istrimu. Dia milikmu. Kau sudah memutuskan untuk menikahinya. Sekarang kau bertanya padaku apakah kau harus menyerah? Kau bukan hanya seorang lelaki, Sebastian, kau adalah Atmadja. Nama ini tidak punya tempat untuk seorang pengecut!"

Sebastian tetap diam, tetapi air matanya mulai berkumpul di sudut mata.

"Sebastian, kau dengar aku?! Hidup ini keras. Orang-orang akan selalu mencoba menjatuhkanmu. Dunia tidak peduli perasaanmu. Kau ingin menangis? Kau ingin menyerah? Maka kau bukan putraku! Putraku tidak pernah membiarkan dirinya kalah hanya karena lemah hati!"

Abraham melepas kerah baju Sebastian dengan kasar, membuat putranya hampir terjatuh dari sofa.

"Dengar ini baik-baik, Sebastian," lanjut Abraham, suaranya kini lebih rendah tetapi masih penuh ancaman. "Jeanne adalah tanggung jawabmu. Jika ada orang lain yang mencoba merebutnya darimu, kau pastikan kau berdiri lebih tinggi dari mereka. Jika kau merasa kalah sekarang, itu artinya kau tidak layak menjadi bagian dari nama ini."

Hati Yang Di TakdirkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang