Happy Reading...
-------------------------
.
.
.
Kini, Yuri dan teman-temannya telah berdiri di depan sebuah toko buku yang terlihat tua dan suram. Bangunan itu tampak seperti tak tersentuh renovasi selama puluhan tahun. Cat temboknya mengelupas, dan kaca jendelanya buram oleh debu.
"I-Ini yakin kita bakal masuk ke sini?" tanya Zivana sambil bersembunyi di balik tubuh Ken, seperti anak kecil yang takut pada sesuatu yang menyeramkan.
"Yakinlah," jawab Yuri dengan mantap. "Katanya ini toko buku paling tua di desa ini. Pasti ada banyak informasi menarik di dalamnya."
Dengan perlahan, Yuri membuka kenop pintu. Denting lonceng kecil menggema, menambah suasana misterius tempat itu. Begitu mereka masuk, bau kayu tua bercampur debu langsung menyapa hidung mereka. Cahaya remang-remang dari lampu minyak tua membuat bayangan rak buku menjalar ke dinding seperti monster siap memangsa. Karpet di lantai sudah pudar warnanya, rak-rak kayu terlihat retak di beberapa bagian, dan kursi-kursi tampak lusuh seperti tak pernah diduduki selama berabad-abad.
"Seram banget sih suasananya, sumpah," gumam Zivana pelan, masih berlindung di belakang Ken. "Kita beneran gak takut kerasukan di sini?"
"Diamlah," potong Yuri sambil berjalan menuju rak-rak buku. Setelah beberapa menit menyusuri lorong-lorong sempit, ia akhirnya menemukan buku yang dicarinya. Dengan penuh semangat, ia menarik buku itu dan langsung menunjukkannya pada Ken.
"Lihat ini," katanya sambil menyodorkan buku itu pada Ken.
Ken mengambil buku itu, membolak-balikkan halamannya dengan hati-hati. "Ini... sejarah desa ini?" tanyanya penasaran. Tidak biasanya Yuri tertarik pada sejarah, apalagi tempat yang baru mereka kunjungi.
"Benar," jawab Yuri sambil tersenyum kecil. "Aku penasaran. Desa ini dulu seperti apa, ya?"
Rey yang sedari tadi diam langsung memeluk Yuri dari belakang dengan gaya sok romantis. "Hihi, jangan-jangan kamu mau pindah ke sini setelah kita nikah, ya? Kalau kamu suka tempat ini, aku juga suka."
Bugh!
Tanpa ragu, Yuri menyikut perut Rey keras-keras, membuat pemuda itu meringis kesakitan sambil mundur.
"Dasar orang gila!" hardik Zivana yang tampak sebal dengan aksi Rey. "Ayo cepat keluar! Tempat ini pengap banget, aku hampir pingsan!" Zivana mulai menarik-narik lengan Ken, tapi Yuri dan Ken tak bergeming.
"Ini menarik," kata Aoi tiba-tiba. Ia mengambil buku itu dari Ken dan membuka sembarang halaman. "Tapi, apa buku ini bisa dipercaya? Zaman sekarang banyak sejarah yang dimanipulasi."
"Ini buku asli," sahut Yuri yakin. Ia membuka halaman depan buku itu dan menunjuk sebuah tulisan. "Lihat, ini cetakan pertama, tahun 666. Zaman di mana teknologi cetak bahkan belum ada. Ini semacam artefak sejarah."
Mereka semua terdiam sejenak, terkesima. Aoi akhirnya mengangguk, setuju dengan penjelasan Yuri.
"Tapi, apa sih yang kau cari sebenarnya?" tanya Alex dari belakang.
Yuri membuka beberapa halaman lagi hingga menemukan bagian yang ia maksud. "Ini dia!" katanya penuh semangat. Ia menunjukkan ilustrasi sebuah pohon besar dengan daun-daun bercahaya. "Aku ingin tahu tentang pohon ini. Namanya Pohon Kehidupan."
"Pohon kehidupan?" Zivana mengernyitkan dahi. "Itu cuma dongeng, kan?"
"Tidak," balas Yuri sambil mengeluarkan beberapa helai daun bercahaya dari sakunya. "Lihat ini. Aku menemukannya di hutan tadi malam."

YOU ARE READING
𝖘𝖈𝖍𝖔𝖔𝖑 𝖔𝖋 𝖒𝖆𝖌𝖎𝖈 [𝖔𝖈]
Randomѕ¢нσσℓ σƒ мαgι¢ уαηg тєякєηαℓ ∂єηgαη ѕєкσℓαн ѕιнιя уαηg мємвєяι мιѕι ρα∂α ραяα мυяι∂ηуα ∂ι zαмαη мσ∂єяη ∂αη ρємєяιηтαнααη кαιѕαя ιηι, ѕєкσℓαн уαηg ∂ι мυℓαι ∂αяι נєηנαηg ѕмρ ѕαмραι кυℓιαн. ∂αяι ѕєкσℓαн ιтυ, ραяα мυяι∂ мємвυαт тιм уαηg мαкѕιмαℓ вєяιѕι...