Dingin, wajahnya dingin bagai salju. Membeku, terdiam dan terlena oleh waktu. Pandangannya membatu ke depan, berjalan bak orang mati yang tak tahu arah. Tak jelas, tak mengerti harus apa. Sejak malam, ekspresinya tak pernah berubah.
Alz menatap pada cakrawala nan jauh di sana. Ia terdiam, memandangnya berkali-kali. Hanya warna putih, biru, dan hitam menemaninya. Tak ada lagi, dan tak mau untuk mengenal lagi. Kakinya terus berjalan, ke depan, sendirian, dengan jiwa yang kosong di hatinya. Aku memperhatikannya sesekali, namun tidak mengajak bicaranya sedari tadi.
Familier, sedikit terganggu ketika melihatnya. Mata itu, mata yang sama seperti apa yang kurasakan 10 tahun lalu. Mungkin, aku harus menenangkannya sedikit.
Langkah kaki terhenti, terdiam, lalu bertanya, dan menegur Alz yang sedari tadi berjalan di depan.
"Mau makan sebentar?"
"Tidak, tidak perlu."
"Aku bisa membuatkan sup hangat untukmu."
"Tidak, terima kasih."
Alz melanjutkan perjalanannya, meninggalkanku sendiri di belakang. Aku menghela nafas, mengayunkan kaki kanan dan mulai melanjutkan langkah ke depan.
Sebuah pemandangan baru mulai terlihat, danau demi danau besar yang kita lalui sudah mulai menghilang. Lembah baru terbuka, landai, dengan berbagai bukit dan pegunungan mengitarinya. Mirip dengan Altenzeitz, sebuah kota menjulang di tengah lembah, dengan berbagai perkebunan yang tampak terpisah dari bentengnya. Kota ini tidak diapit oleh dua buah danau, namun dikelilingi oleh sungai melingkar yang berada di utara, timur, dan selatannya. Semua jalan utama mengarah ke sana, pertanda kita harus lewat, tak bisa memutar maupun menghindarinya.
Dari jauh, terlihat sebuah penanda jalan. Umum, tak berbeda dengan penanda lainnya. Namun meski begitu sangat informatif dan memberi informasi yang diperlukan. Darinya terpampang sebuah tulisan, Krodwitz namanya. Sebuah kota yang terletak di Kadipaten Obergen, terkenal dengan hasil tambang dan permata yang indah.
Aku ingat, beberapa seniorku pernah mengambil misi di sini. Orang-orang Obergen sering sekali menyewa tentara bayaran dalam konfliknya. Obergen sendiri merupakan negara yang baru merdeka. 100 tahun sebelumnya, Kadipaten ini masih berada langsung di bawah Kerajaan Astrafar. Namun karena adanya perbedaan budaya, serta kuatnya identitas dan ekonomi di daerah membuat Obergen sering sekali memberontak. Puncaknya 90 tahun lalu, perang besar terjadi antara Kerajaan Astrafar dan Obergen.
Awalnya, Astrafar memenangkan berbagai lini dan front peperangan. Namun perang saudara tiba-tiba muncul di Astrafar. Melemahkan serta membangun dilema di antara para tentara. Terpaksa, mereka menunda pengepungan Krodwitz dan kembali ke ibukota. Meski begitu, Astrafar tidak menyerah. Mereka kembali datang untuk mengepung kota. Namun, itu semua sudah terlambat, Obergen telah menyewa legiun tentara bayaran yang besar untuk menghadapi mereka.
Kuatnya tentara bayaran yang disewa Obergen serta rumitnya cara untuk menembus pertahanan di Krodwitz, memaksa mereka untuk mundur dan membiarkan Obergen berdiri sebagai negara sendiri.
Raja baru dari Astrafar juga meredakan permusuhan dengan Obergen. Melambungnya harga marmer dan permata yang tiba-tiba karena hilangnya pasokan dari Obergen memaksa Astrafar untuk melunak. Akhirnya sampai saat ini Astrafar serta Obergen saling berhubungan baik. Meski, terkadang budaya menyewa tentara bayaran mereka masih tersisa sampai sekarang.
Kami tiba di ujung sungai, bersiap melewati jembatan dan masuk ke dalam kota. Namun, di sela-sela itu, Alz berhenti. Menatap serta memandang diriku yang berjalan di belakang. Matanya lesu, seakan memberi sinyal. Tampaknya ia ingin sekali mengatakan sesuatu padaku.
![](https://img.wattpad.com/cover/344668579-288-k604382.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rattleheart
Adventure(Cerita Update setiap 3-10 hari sekali) Arslan adalah seorang tentara bayaran yang mencari arti dari dunia. Baginya dunia tak lagi sama semenjak dia terpaksa menjadi tentara bayaran. Peperangan, rasa sakit, hubungan antara manusia. Apa sebenarnya it...