Chapter 14 Kebaikan yang Semu

14 3 0
                                    

"Ya, aku akan menjadi dewa."

Hening. Suasana yang cukup aneh setelah aku mengumumkan tujuanku. Ini berlangsung beberapa menit, hingga seseorang mengeluarkan suara. Dengan lantang dan seolah tak terima.

"Jangan bercanda!" Harpy terbang mendekat. Bisa kulihat wajahnya yang mungil itu memerah. "Bagaimana mungkin Raja Iblis sepertimu menjadi Dewa! Ini penghinaan! Aku akan membunuhmu!"

Harpy mengepakkan sayap, membentuk angin kecil yang menyerangku. Namun, serangannya tertangkis sebuah pedang hingga menimbulkan bunyi. Angin tadi memiliki kecepatan yang cukup untuk membuat daging terpotong.

Aku melirik ke arah iblis pembawa pedang yang sudah berdiri di sampingku. Wajahnya nampak angkuh dan sedikit tertekuk. Dia seperti sedang menahan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Hanya decakan Harpy yang terdengar jelas.

Aku menghela napas berat. "Aku bukan Ayah, Harpy. Aku adalah Nafa. Kau tak mungkin melupakanku secepat ini, bukan?"

"Tetap saja! Kau baru saja membunuh Rhys! Pembunuh keji sepertimu tidak mungkin menjadi Dewa! Berhenti membual dan matilah saja!"

Bolehkah aku merasa iri sekarang? Kepada makhluk peri di depanku yang dengan mudahnya mengeluarkan emosinya dengan kata-kata tanpa peduli itu akan menyakiti yang lain. Sedangkan aku mencoba menahan diri agar tidak menghancurkannya. Tidak, sudah cukup aku menodai tanganku.

Padahal, aku tak ingin membunuh Rhys. Aku tak sengaja melakukannya. Ini bukan kehendakku, bukan pula keinginanku. Namun, kenapa aku dituduh seperti pelaku?

"Lalu, kau pikir kau bisa menjadi Dewa?" Suara lain menginterupsi. Ternyata iblis yang berdiri di sampingku. Wajahnya memincing tajam diikuti iblis yang lain. Mereka ikut berkumpul di dekatku.

Harpy tertawa kecil. "Setidaknya aku lebih baik daripada iblis seperti kalian!"

"Memangnya apa yang membuat kita berbeda, Harpy?" Aku kembali mengambil alih perbincangan ini. Melunturkan senyum miring yang cukup memuakkan. "Karena kami iblis? Karena kami beraura gelap hingga menakutkan untuk dilihat? Karena kami menghasut manusia untuk berbuat jahat? Sedangkan kalian yang suci hingga tak pernah melakukan kejahatan. Apakah kebaikan hanya terlihat semudah ini?" cercaku tanpa berkedip.

"Tidak. Kebaikan tidak hanya dilihat dari penampilan. Kebaikan adalah hal yang semu. Terkadang, kebaikan bisa juga menghancurkan. Banyak hal buruk yang terjadi karena seseorang melakukan hal baik. Begitu juga dengan kejahatan. Hal buruk di mata orang lain belum bisa dikatakan itu sepenuhnya buruk," jelas seseorang di belakang Harpy. Tubuhnya beraura emas, tangan putihnya saling menempel, dan matanya yang bersinar lembut sedang tertunduk.

"Anda benar, Putri Lucifer. Bahkan kami Tujuh Kebajikan tidak sepenuhnya suci. Begitu juga dengan malaikat."

"Kindness?!" Rekannya memprotes. Jelas saja, aku juga kaget dia bisa berbicara seperti itu.

Dia membalikkan tubuh, menerima protessan rekannya lalu membantahnya. "Jika malaikat memang baik, kenapa beliau meminta kita untuk berperang? Sejak kapan perang itu hal yang baik, Diligence? Kita memang dilarang menyakiti manusia, tapi jika menyakiti iblis itu tidak masalah. Bukannya itu aneh? Bukannya iblis dan manusia sama-sama makhluk hidup seperti kita? Siapa yang menentukan jika iblis harus dibunuh? Jika memang takdirnya begitu, untuk apa iblis hidup?"

Kindness membungkam lontaran kata temannya. Bahkan hingga membuat mereka tak mampu berkata-kata. Aku sendiri kagum dengan pemikirannya.

"Kindness benar." Salah satunya menginterupsi. Tangannya saling menempel di depan dada, lalu mendongak ke arahku. "Kau tadi bilang ingin menyelamatkan semuanya? Bukan hanya iblis, tapi semua makhluk?"

Aku mengangguk mantap. "Tentu. Semua makhluk hidup berhak mendapatkan keselamatan. Justru aku yang tidak berhak merampas kehidupan makhluk lain."

Dia tersenyum lembut. "Kau lulus. Aku tidak pernah melihat kemurahan hati yang dikatakan dengan penuh keyakinan seperti ini. Bahkan pada mereka yang berusaha membunuhmu, kamu tetap menyelamatkannya," terangnya lagi yang cukup membuat semuanya paham jika dia memilih ke pihakku.

"Tu-tunggu, Yang Mulia Charity? Anda yakin dia tidak berbohong? Bisa saja dia melakukannya untuk meluluhkan kita semua!" protes Harpy yang sedikit melunakkan wajah. Sepertinya dia memang tunduk pada makhluk beraura emas itu.

"Tidak. Meskipun mata kanannya adalah mata iblis, tapi mata kirinya adalah mata malaikat yang biru. Biasanya, jika seseorang berbuat atau memiliki niat buruk, warna biru itu akan bercampur dengan warna merah dan menimbulkan warna ungu. Tapi, mata anak itu tidak. Justru, matanya terlihat lebih biru daripada mata yang lain. Itu bukan mata seorang pembual," jelas seseorang lagi. Makhluk yang memiliki tatapan datar dengan pakaian yang nyaris menutupi semua tubuhnya.

"Wah, baru pertama kalinya aku mendengar Chasthy berbicara sepanjang itu. Jika dia saja berkata begitu, berarti benar, bukan?"

Mereka mulai bergumam tak jelas. Saling menatap dan melontarkan pendapat. Aku memilih bungkam dan memperhatikan. Karena terlihat jelas mereka bertujuh pada akhirnya akan setuju dan mengikutiku.

Harpy tetap keras kepala. Dia terus mencoba segala cara untuk mencari celah. Mengatakan ini itu secara berlebihan hingga aku sendiri tak ingat pernah melakukan apa yang dia katakan. Beruntung, makhluk bercahaya itu tidak langsung percaya. Mereka justru membalik kata-kata Harpy hingga dia tak bisa melawan.

"Maaf membuatmu menunggu. Kami, Ketujuh Kebajikan, akan mengikutimu, Putri Lucifer!"

Aku tersenyum. Awal yang baik.

***

"Oh iya, Tuan Putri, bagaimana caramu menjadi Dewa?"

Aku mengalihkan pandangan dari gelas air minumku. Udara malam yang dingin dihalau oleh kobaran api unggun di tengah-tengah sana. Ngomong-ngomong, kami sedang mengadakan pesta sekaligus istirahat dari perang yang panjang. Dari yang kudengar, mereka bertarung hingga tiga hari berturut-turut. Waktu berjalan semakin cepat saja.

"Entahlah. Aku tak tahu," jawabku polos yang sukses membuat seluruh atensi mengarah padaku. Mereka menatapku dengan wajah terkejut. Namun, aku hanya bersikap biasa saja. Ngambil salah satu buah di meja jamuan. "Itu ... akan aku pikirkan nanti. Aku juga tidak tahu soal kalian, kalau kalian penasaran. Jadi, kenapa tidak dimulai dengan perkenalan diri?"

Aku mengawali acara perkenalan itu. Menyebutkan namaku lantas mengatakan asal usulku. Bagaimana aku bisa ke mari, semua perjalanannku. Minus pertemuanku dengan orang tua di dalam tubuh. Ada baiknya tetap menutup mulut akan beberapa hal.

"Kami Tujuh Dosa Besar, Tuan Putri. Seperti yang Anda ketahui, kami adalah bawahan Raja Iblis. Namaku Pride, pemimpin mereka," kata iblis yang mengajakku berbincang sejak awal. Pantas saja dari tadi kulihat raut wajahnya yang angkuh.

"Hah? Sejak kapan kau jadi pemimpin?!"

Pride tersenyum miring. "Apa? Kau iri?"

Iblis yang ukurannya cukup kecil dibandingkan yang lain itu berjalan mendekat. Menaikkan dagunya tinggi karena ukuran tubuhnya. "Iyalah!"

Mereka berdebat, sangat hebat hingga merusak suasana pesta. Hingga sosok iblis yang bertubuh kekar memukul kepala keduanya. Gigi-giginya saling menyatu, terlihatlah gigi taringnya yang memanjang hingga menyentuh dagu. Sedikit menakutkan untuk seorang iblis ditambah wajah garangnya yang semakin menjadi. Petakan kemarahan terlihat jelas hingga menjalar di seluruh tubuhnya.

"Berisik! Kita sedang di depan Tuan Putri, Bodoh!" Dua kali. Dia memukulnya lagi. Sayangnya, perbuatannya itu justru membuat pertengkaran semakin hebat.

Aku tertawa kecil melihat interaksi mereka. Saat seperti ini, aku seperti melihat mereka layaknya manusia. Bukan iblis, malaikat, dosa, kebajikan, atau monster. Hanya makhluk hidup yang bersenang-senang

***

Bersambung....

Ratu Iblis [END-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang