Chapter 29 Samatha Viona

3 1 0
                                    

"Nafa! Kau sudah dengar? Ada pahlawan baru mendaftar di Akademi!" teriak Rebecca, yang kini di pertengahan umur tiga puluh dengan gembira. Dia menolak untuk menikah dan memilih untuk mengabdi di Akademi.

"Kupikir kau tidak menyukai pahlawan, Rebecca," ucapku terdengar sinis. Sebenarnya ini menutupi raga gugupku semenjak dua hari lalu Envy mengatakan kedatangan sang pahlawan baru.

"Tapi, dia bukan Rhys."

Astaga, dia hanya tidak menyukai Rhys ternyata. Ditambah celotehannya yang menerangkan betapa imut dan menggemaskan sang pahlawan baru. Pahlawan itu masih sebelas tahun, jadi wajar jika masih lucu.

"Ayo, menemui Pahlawan!" Rebecca menarikku, tapi aku tetap bergeming. Menolak secara halus ajakannya. "Kenapa? Kau masih saja tak menyukai pahlawan?

"Tidak. Ah, nggak. Kau saja. Aku mau fokus penelitian."

Beruntung Rebecca tidak menanyakan lebih lanjut. Aku yakin pasti akan ada hal yang bocor jika aku terus berbicara. Pandanganku saja sudah tidak fokus. Akhirnya aku menghindarinya dan kembali ke lab.

Pikiranku menerawang. Penyesalan di masa lalu, tujuan utamaku, pahlawan yang baru, semuanya berputar-putar hingga membuatku tanpa sadar menuju lapangan. Tanah lapang yang jarang digunakan orang-orang ketika matahari sedang terik.

Ketika bahuku menyentuh sesuatu, aku baru memandang ke depan. Sosok perempuan terduduk di atas rumput akibat ulahku. "Ah, maafkan aku!" ucapku spontan.

"Tidak apa, kok!" ucapnya penuh semangat. Tapi, dia mengabaikan uluran tanganku dan memilih membersihkan tubuhnya dari debu. Dia sangat teliti hingga merapikan rambut pirang berkilaunya dan poni cantiknya. Sekilas, aku melihatnya mengatur ekspresi sebelum akhirnya menghadap padaku.

Perasaanku mengatakan jika dia marah di balik senyum manis yang menampilkan lesung pipi itu.

"Tolong lain kali berhati-ha ...."

Aku tertegun, kenapa dia tidak melanjutkan ucapannya? Senyumnya bahkan langsung luntur dan bola mata birunya melotot ke arahku. Bola mata yang indah, perpaduan warna biru batu safir dan laut yang berkilauan seolah menyimpan sihir di dalamnya. Bola mata yang sama persis dengan Rhys.

Tunggu, Rhys?!

"Kirana Baskara!²⁰"

Sebuah cahaya besar memenuhi lapangan dalam sekejab. Bukan hanya menyilaukan, cahaya itu juga membuat rasa panas yang membakar dan dilanjut ledakan besar. Guncangan dan pusaran angin menyertainya. Ini bukan sebuah sihir biasa, perempuan itu memiliki sihir malaikat!

Lapangan hancur lebur, hanya menyisakan sedikit tanah yang diinjak oleh sang perempuan muda itu. Mata birunya memindai, mencari keberadaanku.

"Keluarlah! Anak Raja Iblis!"

Sialan! Kenapa dia langsung mengetahui jika aku anak Raja Iblis dengan sekali lihat? Bahkan Rhys saja tidak begini! Apa dia memiliki kemampuan yang lebih baik darinya? Dan astaga, Envy bilang dia masih 11 tahun? Fisiknya sudah dewasa!

Postur tubuh tinggi yang bisa menyenggol bahuku tadi sudah pasti tidak dimiliki anak berumur sebelas tahun. Apa dia dewasa sebelum waktunya?

"Astrawara Nirmala!²¹"

Belum selesai berpikir, ratusan panah cahaya menghujani hutan selatan lapangan. Tempatku menyembunyikan diri. Entah bagaimana dia bisa tahu, tapi aku tanpa sadar menghindarinya.

"Ah! Aku kan setengah malaikat, sihirnya tidak akan mempan padaku. Bukannya ini juga yang membuatku dan Rhys seimbang dulu?" gumamku lalu keluar dari hutan.

Memasang wajah kebingungan, aku mengangkat tangan. "Tunggu! Aku tidak mengerti maksudmu. Aku bukan anak Raja Iblis! Lihat, bola mataku biru gelap!" dalihku.

"Jangan kau kira bisa membohongiku, Viona sang Pahlawan! Aku bisa dengan jelas membaca di atas kepalamu jika kau ini Anak Raja Iblis!" teriaknya karena jarak di antara kami.

"Viona? Membaca di atas kepala? Dia bicara apa, sih?" gumamku.

"Pokoknya, kau harus kubunuh demi perdamaian! Aksara Ratih!" Pahlawan baru itu mengeluarkan sihir malaikat sama seperti Rhys. Sebuah cahaya yang membentuk tebasan seperti bulan sabit. Dia melompat cepat sebelum merapalkan mantera. Hingga akhirnya, jarak kami berdekatan.

"Apa? Bagaimana bisa kau baik-baik saja?" kagetnya melihatku menerima sihirnya dan tidak ada respon apa-apa.

Aku tersenyum. "Bukannya aku bilang, aku bukan anak Raja Iblis. Jika aku iblis, bukannya sihirmu akan menyakitiku?"

Wajahnya menegang. "Tidak mungkin! Ini jelas trikmu, bukan? Dewa tidak mungkin memberikan kekuatan yang salah!"

"Kekuatan? Apakah membaca di atas kepala yang kau maksud tadi?"

"Iya! Dewa memberiku kekuatan yang membuatku bisa membaca spesies makhluk hidup dengan sebuah tulisan di atas kepala mereka. Ini membantuku untuk memusnahkan iblis yang menyamar. Bahkan, baru-baru ini aku mendapati salah satu Dosa Besar di sekitar rumahku. Meskipun dia kabur pada akhirnya."

Astaga, itu Envy! Sialan, ternyata dia kabur dari kejaran pahlawan, ya?

Ngomong-ngomong, dia sungguhan masih berumur sebelas. Dia menjawab pertanyaanku dengan polosnya.

"Baik. Sebentar, namamu?"

"Viona. Samatha Viona sang Pahlawan."

"Baik, Viona. Sekarang ini ada tulisan apa di atas kepalaku?"

"Peringatan, Anak Raja Iblis Lucifer. Tulisannya sangat merah dan itu sedikit menjijikkan."

Aku menatapnya datar, astaga anak ini.

"Nafa!"

Kami sontak sama-sama menoleh ke sumber suara. Kindness berlari sekuat dia bisa dengan wajah khawatir. Aku pun menunjuk padanya. "Jika dia? Apa yang tertulis?"

"Satu dari Tujuh Kebajikan, Kindness." Viona seperti berpikir cukup lama. "Tunggu, Kebajikan itu apa?"

Aku malah tertegun dengan pendetailan dari tulisan yang dimaksud oleh Viona. Jika begini, penyamaran kami terbongkar seutuhnya. Benar-benar kemampuan yang mengerikan.

"Nafa, kau baik-baik saja? Tadi itu apa? Aku merasakan ada kekuatan malaikat. Apa mereka turun ke bumi? Lalu, kau siapa? Kau juga baik-baik saja?" tanya Kindness beruntutan tanpa jeda.

Aku pun menunjuk Viona dengan santai. "Dia si pahlawan baru dan dia juga yang menggunakan sihir."

"Apa?!" Kindness langsung menarikku ke belakangnya. Dengan wajah memelas, dia berbincang pada Viona. "Tunggu, aku mohon jangan bunuh Putri Nafa. Meskipun dia memang anak Raja Iblis, tapi dia tidak membunuh siapapun! Jadi, aku mohon dengan sangat padamu."

Viona memiringkan kepalanya. "Kau ini siapa? Kenapa malah membelanya? Kau bahkan memanggilnya putri. Seharusnya aku, sang pahlawan baru, yang dipanggil putri!"

Pahlawam baru itu malah lebih mementingkan panggilan putri daripada fakta jika Kindness baru saja mengukuhkan posisiku sebagai anak Raja Iblis. Yah, aku juga tidak bisa mengelak lagi, sih.

"Begini saja. Ayo, kita ke rumah. Sepertinya orang-orang mulai ke sini." Aku melirik ke arah kerumunan di sebrang sana, tempat gedung Akademi berdiri.

"Hah! Kenapa kau memerintahku?! Aku tidak mau. Aku harus membunuhmu!" rengek Viona.

"Dengan apa? Kau tahu tadi sihirmu tidak berguna untukku."

"Ya, terserah! Aku tetap bisa membunuhmu tanpa sihir. Aku bisa mendorongmu masuk ke jurang tanpa dasar, mengiris lehermu, atau apapun. Pokoknya aku tidak mau kau suruh-suruh!"

Astaga, mengiris katanya. Benar kata Envy, anak ini menyebalkan.

"Akan kuberitahu cara membunuhku jika kau mau ikut dengan kami."

Aku berjalan mendahuluinya dengan Kindness yang masih ragu. Dia beberapa kali menatap khawatir pada aku dan Viona, tapi Kindness tetap mengikutiku. Tak lama kemudian, Viona menyusul.

***

Kamus Sansekerta

20) Kirana Baskara = cahaya matahari

21) Astrawara Nirmala = panah surga

Ratu Iblis [END-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang