"Setelah itu, Rhys memberiku pedang suci ini. Awalnya aku menolak, tapi dia memaksaku memakainya."
Aku hanya diam menyimak cerita dari Rebecca. Bersikap empati bukan gayaku, meskipun memang aku sedikit merasa sedih. Aku justru lebih penasaran dengan pedang suci miliknya. Apakah bisa setara dengan pedang milik Rhys?
"Dan, kabar terakhir, dia justru tewas. Padahal, jika dia tidak menjadi pahlawan, Rhys pasti masih berumur panjang."
Fokusku kembali terambil alih. Detik-detik waktu ketika aku berjumpa dengan Rhys kembali berputar. Rasa sesak menyeruak dalam benak. Ada sesuatu yang menarik tenggorokanku hingga terasa serak. Air ludahku juga berubah menjadi pahit.
Jika Rebecca tahu fakta bahwa aku yang membunuh Rhys, apa yang akan dia lakukan?
Rebecca mengusap sudut matanya. Menghalau air yang keluar secara tiba-tiba. "Maaf, kau malah mendengarkan celotehanku."
Aku menggeleng, justru aku merasa berterima kasih padanya. "Tidak apa. Aku merasa terkesan denganmu."
"Karena aku melawan dan membantah pahlawan?"
"Oh, kau membaca pikiranku?"
Rebecca tertawa. "Semua orang mengeluh-eluhkan Rhys. Tapi bagiku, dia hanyalah pemuda biasa yang terpaksa melawan Raja Iblis. Kini aku menyesal tak mencoba menghentikannya lagi seperti saat dia membunuh orang tuanya. Seharusnya dia berhenti setelah Raja Iblis dibunuh."
"Dia tetap menjadi Pahlawan meskipun Raja Iblis dibunuh? Apa yang dia lakukan? Ada jarak sepuluh tahun semenjak kematian Raja Iblis bukan?" tanyaku heran. Jika memang kedamaian sudah tercapai, lalu apa gunanya pahlawan?
"Rhys membereskan iblis yang tersisa dan melawan makhluk buas. Padahal tidak perlu membutuhkan kekuatan malaikat untuk membunuh mereka, tapi para penguasa memaksa Rhys. Dengan imbalan atau bahkan hanya ucapan selamat pada Pahlawan. Menggelikan, bukan?"
Aku terkesiap. Rhys dimanfaatkan habis-habisan oleh para manusia. Sungguh malang nasibnya. Tiba-tiba ditunjuk oleh Dewa, dipaksa membunuh ayah ibunya, dipaksa melawan Raja Iblis dan antek-anteknya, bahkan ketika dia sudah melakukan semuanya, dia harus bertarung lagi?
"Ternyata manusia ada yang berhati iblis, ya?"
"Hahaha! Berhati iblis! Aku suka ucapanmu, Iiona!" Rebecca tertawa terbahak-bahak. Dia masih memanggilku dengan nama marga yang kemudian kuminta menggantinya dengan Nafa saja.
Kami lanjut bercerita tentang banyak hal. Lambat laun, tugas mengawasi Rebecca dicabut karena aku bersih dari tuduhan. Namun, kami tetap sering berjumpa. Kami menjadi teman dalam sekejab.
Teman perempuan pertamaku.
***
Menuntut ilmu di akademi jauh lebih lama dibandingkan dugaanku. Sistem tugas dan kelulusan di sini sangat ketat hingga membuat murid-muridnya bisa menghabiskan belasan tahun di sini. Tapi, itu juga sebanding dengan kelas yang diberikan. Untuk kelas awal, terdapat kelas membaca dan menulis yang dilakukan secara wajib selama setahun. Kami tidak diijinkan mempelajari yang lain sebelum kelas ini berakhir.
Ini bertujuan supaya pemahaman tentang bahasa tidak digunakan secara sembarangan. Apalagi kebanyakan orang-orang di sini adalah bangsawan. Mereka sering menggunakan bahasa yang hanya dimengerti oleh kaum bangsawan.
Di tahun selanjutnya kami diberi tujuh materi wajib yang bisa dipelajari selama dua tahun. Materi itu mencakup sejarah, pengetahuan alam, berhitung, dan kehidupan sosial. Sebenarnya bisa lulus kelas ini dengan cepat asal mampu mengerjakan ujian dengan nilai sempurna. Tapi, tidak banyak orang yang bisa melakukannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ratu Iblis [END-LENGKAP]
FantasyJUARA 3 dalam Event Novel Cetakbuku #1 Cerita tentang Raja Iblis sudah biasa kita dengar. Lalu, bagaimana dengan Ratu Iblis? Bukan, ini bukan tentang Istri sang Raja Iblis. Melainkan anak perempuannya yang sepenuhnya bukan iblis. Setengah dari tubu...