Chapter 22 Bayi Pahlawan

9 2 0
                                    

"Beritanya sudah tersebar. Anak raja iblis lahir dan hendak menguasai dunia. Beberapa kali firman Dewa juga menerangkan demikian. Dikatakan juga bahwa dia memimpin tujuh dosa besar dan mulai melakukan invasi. Astaga, memang dasar biadab! Tak bisakah dia membiarkan dunia damai selamanya?"

Aku terdiam. Citra iblis memang sudah buruk sejak awal. Aku tidak bisa menyangkal jika mereka memang jahat dan melakukan perbuatan yang merugikan umat manusia. Namun, memangnya keinginan siapa iblis menjadi jahat dan pahlawan menjadi baik? Siapa yang menentukan peran semua ini? Dewa? Lalu, apakah Dewa itu baik karena membiarkan makhluk yang lain dibenci dan dicaci maki seperti ini? Memang apa salah iblis hingga diperlakukan seperti ini?

"Tapi, Nak. Kau tidak usah khawatir. Pahlawan akan melindungi kita semua. Karena itulah tugasnya. Kita hanya perlu mendukungnya," imbuh sang wanita itu sedikit merendahkan tubuhnya untuk mengelus rambut hitamku.

Ah, Rhys. Sepertinya aku memahami kenapa Ayah berempati padanya. Manusia itu dibebankan tugas begitu besar tanpa diizinkan bertanya alasannya. Yang Rhys lakukan hanyalah bertarung dan mengemban harapan semua manusia di pundaknya. Dan ini semua akan diturunkan pada pahlawan selanjutnya.

Aku tersenyum sebagai respon dari perkatannya. Akan terasa aneh jika aku berekspresi sebagaimana apa yang kurasakan sekarang.

"Lisa! Apa yang kau lakukan?" Seorang pria berambut keperakan menghampiri kami. Sepertinya dia memanggil wanita yang tampak kerepotan dengan perut besarnya itu. "Kau membuatku khawatir. Bayinya akan segera lahir, kenapa kau malah berkeliaran? Ayo pulang."

Pasangan manusia itu saling berbagi tatapan hangat. Sang lelaki meraih lengan sang wanita dengan lembut dan hati-hati. Sedangkan Lisa, dia hanya tersenyum dan menjelaskan jika dia ingin menghidup angin segar.

"Agh! Sakit!" lirih Lisa selanjutnya. Dia nampak kesakitan dan memegangi perutnya.

"Apa, ada apa? Kau kenapa, Lis?"

Sang lelaki nampak panik. Dia terus menanyakan keadaan Lisa dengan nada lembut. Aku juga terbawa panik dan menyadari jika bayinya akan lahir saat itu juga. Aku pun melihat ke sekeliling, mencari solusi. Lantas, kuhentikan sebuah kereta kuda yang melintas dan menjelaskan situasinya secara singkat pada sang supir.

"Paman, Tante, ayo, naik!" teriakku ikut menuntun Lisa masuk ke dalam kereta kuda. Di saat sang calon ayah menenangkan istrinya, aku memberi komando pada supir untuk menuju klinik terdekat.

"Tarik napas, keluarkan perlahan. Aku tahu kau kuat, Lisa."

"Tapi, huh! Ini sakit sekali, Rick!" Lisa setengah menjerit sambil terus berpegangan pada suaminya.

"Tidak apa, aku di sini bersamamu."

Aku terdiam melihat interaksi keduanya. Aku belum pernah melihat seorang ibu hendak melahirkan seperti ini, jadi aku kebingungan harus bereaksi seperti apa. Daripada memperkeruh, lebih baik aku diam.

Hingga sesampainya di klinik, Lisa langsung dibawa ke ruang persalinan. Aku ikut menunggu bersama Rick yang terus berjalan mondar mandir di depan ruangan. Cukup lama menunggu, kami mendengar suara bayi menangis. Rick dan aku langsung tersenyum. Mungkin hanya seperti inilah tangisan terdengar begitu membahagiakan.

"Astaga, ini pasti keajaiban!"

"Ya ampun, Dewa memberkati anak ini!"

"Dunia akan semakin damai!"

Mendengar kericuhan, Rick tak sabar membuka pintu ruang bersalin itu dan merangsak masuk. Aku ikut, tapi hanya sampai di depan pintu. Melihat keadaan dari jauh.

"Ada apa? Bagaimana dengan anak dan istriku?" tanyanya tergesa-gesa.

"Oh, Tuan! Kau adalah orang paling beruntung!" Seorang wanita membalikkan badan dan menggendong sebuah gumpalan yang tertutup kain hitam. "Lihat anak ini! Dia memiliki bola mata bewarna biru terang! Anakmu seorang pahlawan, Tuan!"

Deg!

Aku membeku mendengar penuturannya. Bahkan ketika Rick terdengar sangat antusias dan berteriak kegirangan. Aku justru berkeringat dingin. Ucapan Lisa sebelum kejadian ini terulang dalam memoriku.

Pahlawan lahir. Dia menggantikan Rhys untuk membunuhku kelak.

"Cantik sekali anak Ayah! Lisa, lihat anak kita!" Rick mendekati Lisa yang berbaring lemah di ranjang.

"Kau benar. Kau ingin menamainya siapa?" Lisa bertanya sembari mengelus anaknya yang baru lahir itu.

Rick tersenyum penuh harapan, dia sudah mempersiapkan semuanya. "Samatha. Dia adalah pembawa ketenangan bagi kita dan semua umat manusia."

Sekilas, aku melihat rupa bayi yang masih kemerahan itu. Benar kata Rick, bayi itu cantik. Berambut keperakan seperti Rick, berhidung mancung, dan memiliki lesung pipi ketika dia menangis lagi. Bayi itu adalah bayi yang menggemaskan.

Hingga tanganku reflek mengangkat dan mulutku hendak merapal mantera.

Aku langsung tersadar di detik berikutnya. Sadar apa yang hendak kulakukan, aku langsung menahan tangan kananku. Sebelum semua semakin runyam, aku membalikkan badanku. Berlari meninggalkan klinik sembari menutup mata kananku yang sudah berwarna merah. Aku tak bisa mengendalikan emosi ini lagi.

Buruk. Ini benar-benar buruk. Aku sudah memutuskan untuk tak sembarangan mengambil nyawa orang. Tapi, untuk tadi, aku seolah dikendalikan oleh alam bawah sadarku. Rasa ingin membunuh begitu kuat ketika orang-orang mengatakan jika bayi tadi adalah pahlawan. Apakah ini insting iblis?

Apapun itu, aku harus menjauh darinya. Tidak tahu lagi kapan aku akan lepas kendali.

"Oh, Putri Lucifer. Kau sudah selesai berjalan-jalan?" Kindness menyambut kepulanganku. Dia sedang membersihkan halaman rumah dan tersenyum ke arahku. Namun, dia menyadari perubahanku. Berjalan dengan cepat, pandangan yang bergetar, dan tangan yang menutup mata kananku. Ekspresinya langsung berubah khawatir. "Hei, ada apa? Sesuatu sedang terjadi?"

Pertanyaannya mengundang atensi yang lain. Aktivitas berhenti serentak lalu berjalan mendekatiku. "Kita harus pergi dari sini," lirihku.

"Putri? Ada apa? Jelaskan semuanya dengan perlahan," ucap Humility.

"Apa ada manusia yang menyakitimu, Putri? Beritahu siapa, akan kubunuh sekarnag juga!" Wrath tersulut emosi bersamaan dengan Dosa Besar yang lain. Mereka sibuk beragumen tentang hukuman, menghancurkan, atau apapun itu.

Tubuhku tak berhenti bergetar. Aku bukan takut tentang adanya pahlawan yang baru, aku lebih takut pada diriku sendiri. Apakah insiden Rhys akan terulang?

"... Pahlawan ...."

"Kalian diam dulu, dong! Suara putri jadi tidak terdengar, kan?!" Diligence menatap kesal pada para Dosa Besar.

Aku menarik napas panjang. Mencoba untuk tegar. "Pahlawan baru terlahir. Pahlawan yang akan membunuhku!"

Seperti dugaanku, mereka memasang wajah terkejut. Beberapa saling bertukar pandang seolah memastikan pendengaran mereka tidak bermasalah. Namun, aku tak mau menunggu lebih lama lagi. Aku ingin pergi!

"Kita harus pindah. Kita pergi dari sini secepat mungkin!" titahku menerobos mereka dan masuk ke dalam rumah.

"Tunggu-tunggu, Putri!" Envy menghentikanku dengan wajah kebingungannya. "Kenapa kita harus pergi?"

"Sebelum aku atau dia saling membunuh. Kita harus menghindarinya! Aku tak mau membunuh pahlawan lagi! Cukup Rhys. Tidak perlu ada korban lagi. Tidak usah bertanya lagi. Kemasi barang kalian dan kita langsung meninggalkan tempat ini! Aku tak peduli kita pergi ke mana. Asalkan tidak ada pahlawan!"

Meski banyak pertanyaan di benak mereka, semuanya langsung bergerak ketika aku selesai berucap. Bahkan Sloth yang tidur saja segera membuka mata dan ikut membantu. Greed masih sempat menjual rumah itu dengan warga sekitar, dia benar-benar tak mau rugi.

Kami langsung menuju hutan di mana Dryad berada pada malam harinya. Kedatangan kami tentu mengundang ras penasaran Dryad. Namun, Humility menjelaskan situasinya dengan perlahan. Sedangkan aku masih terdiam di atas kereta kuda. Menekuk lutut dan menenggelamkan wajahku di sana.

"Aku hanya ingin berkumpul dengan keluargaku. Tapi, kenapa masalah justru datang serumit ini?"

***

Ratu Iblis [END-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang