Naomi berdiri di depan pagar rumah Shaka, membawa buku-buku tebal di tangannya. Langkahnya ragu, tapi hatinya bulat. Ia sudah mendengar banyak dari ibu Shaka-tentang bagaimana Shaka kini lebih suka mengurung diri, sibuk dengan skripsi, dan menghindari semua orang. Namun, itu bukan alasan baginya untuk mundur.
"Naomi?" Suara berat Shaka terdengar ketika pintu terbuka. Rambutnya agak acak-acakan, mengenakan kaos oblong dan celana training.
Naomi tersenyum, mencoba tampak santai. "Mas Shaka, boleh nggak aku minta tolong diajarin? Katanya Mas jago banget Matematika."
Shaka hanya menatapnya, alis sedikit terangkat. "Siapa yang bilang?"
"Ya, ibumu," jawab Naomi, terkekeh kecil. "Dia juga yang nyuruh aku belajar ke sini. Aku kan kelas tiga SMA sekarang, Mas. Banyak materi yang sulit."
Shaka menghela napas panjang. "Masuk aja," katanya akhirnya.
Naomi masuk ke ruang tamu yang terasa sepi, hanya ada meja dengan laptop terbuka dan tumpukan kertas berserakan. Shaka mengambil salah satu kursi, menepuk kursi di sebelahnya, dan tanpa banyak basa-basi langsung berkata, "Materi apa yang mau dipelajari?"
Naomi duduk, meletakkan bukunya di meja. Tapi bukannya langsung membahas materi, ia malah mengamati Shaka. Wajah yang dulu sering ia lihat tersenyum kini tampak lelah, dengan tatapan mata yang kosong.
"Aku bawa soal-soal ini," kata Naomi, menyerahkan bukunya. "Tapi... Mas Shaka nggak apa-apa kan ngajarin aku? Kelihatannya sibuk banget."
"Kalau sibuk, aku nggak akan nyuruh kamu masuk," jawab Shaka singkat, tanpa melihat Naomi.
Naomi tersenyum kecil. Jawaban itu memang terdengar dingin, tapi ia tahu Shaka tidak benar-benar menolak keberadaannya. Ia membuka buku, mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana. Shaka menjawab dengan nada datar, sesekali membetulkan jawaban Naomi dengan sabar.
Setelah beberapa saat, Naomi menyandarkan punggungnya di kursi, mencoba mencairkan suasana. "Dulu, Mas Shaka sering ngajarin aku PR juga, ya? Masih ingat?"
Shaka berhenti menulis. Ia tidak mengangkat wajahnya, tapi tangannya menggenggam pulpen sedikit lebih erat. "Dulu beda," gumamnya, hampir tak terdengar.
Naomi mengerutkan kening. "Beda kenapa?"
Shaka mendongak, menatapnya sekilas sebelum kembali menulis di buku. "Waktu itu semuanya lebih... gampang."
Jawaban itu membuat Naomi terdiam. Ia bisa merasakan ada dinding yang Shaka bangun di antara mereka, dinding yang tebal dan dingin. Tapi Naomi tidak akan menyerah.
"Mas Shaka," katanya pelan. "Aku senang bisa belajar sama Mas lagi. Rasanya kayak dulu."
Shaka tidak menjawab. Tapi ada sedikit kehangatan di matanya, meski hanya sekejap.
Malam itu, ketika Naomi pulang, Shaka duduk di meja belajarnya sendirian. Buku Naomi masih terbuka, dengan coretan-coretan tangannya. Ia memandangi buku itu sejenak, lalu memejamkan mata. Di balik sunyinya, ia merasa sedikit terusik oleh kedatangan Naomi-sebuah gangguan yang terasa aneh, tapi tidak sepenuhnya buruk.
.
.Terimakasih sudah membaca, jangan lupa meninggalkan jejak ya!
Have a nice day💙!
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Sunyi
Randommenggambarkan perjuangan Shaka keluar dari kesunyian yang ia ciptakan sendiri, dengan Naomi sebagai cahaya kecil yang perlahan menerobos dinding itu. Shaka dulunya adalah sosok ceria dan penuh semangat, tapi kehilangan Kalea mengubah segalanya. Kini...