Sabtu sore yang cerah, burung-burung berkicau di sekitar taman belakang rumah Shaka. Pandopo sederhana dengan meja dan kursi kayu di bawahnya menjadi tempat Naomi dan Shaka berkutat dengan buku pelajaran. Naomi duduk bersila di kursinya, memandangi kertas yang penuh dengan coretan-coretan rumus matematika.
"Mas Shaka," Naomi memanggil dengan nada protes, "ini udah aku kerjain sesuai rumus, tapi kok Mas bilang salah lagi sih?"
Shaka, yang duduk di seberangnya dengan sikap santai, menyesap teh yang dibuat ibunya sebelum menoleh ke kertas Naomi. "Iya, rumusnya benar. Tapi penerapannya yang salah. Coba deh ulang dari awal."
Naomi mendengus kesal, menunduk untuk mencoba lagi. "Mas tuh enak, tinggal bilang salah. Aku yang ngerjain capek, tau."
Shaka menahan senyum, melihat ekspresi Naomi yang setengah frustrasi. "Namanya belajar, ya gitu. Kalau nggak salah dulu, kapan benarnya?"
Naomi memutar matanya. "Tapi nggak semua orang tuh kayak Mas, gampang ngerti soal beginian."
"Tapi nggak semua orang juga kayak kamu, gampang nyerah," balas Shaka santai.
Naomi mendengus lagi, tapi kali ini diam-diam merasa tersengat oleh ucapan Shaka. Ia kembali berkonsentrasi pada soal yang ada di depannya. Shaka mengawasi dari balik cangkir tehnya, terkadang memperbaiki posisi duduk Naomi yang mulai malas-malasan.
Setelah beberapa saat, Naomi kembali menunjukkan jawabannya. "Nih, Mas. Coba lihat lagi. Kalau masih salah, aku nyerah."
Shaka mengambil kertas itu, memeriksanya dengan seksama. "Hmmm, udah bener sekarang."
Naomi mendongak dengan wajah berseri. "Bener? Serius, nih?"
Shaka mengangguk. "Iya. Akhirnya ngerti juga, kan?"
Naomi menjatuhkan tubuhnya ke sandaran kursi dengan hembusan napas lega. "Hah, akhirnya! Ini pelajaran bikin pusing kepala."
Shaka tersenyum kecil. "Biasa aja, kali. Masih ada soal lain, lho."
"Aduh, nggak mau!" Naomi langsung menutupi bukunya dengan tangan, ekspresi cemberut menghiasi wajahnya. "Mas kasih aku istirahat dulu. Otakku udah mau meledak."
Shaka tertawa pelan. "Oke, lima menit. Tapi habis itu lanjut lagi."
Naomi hanya mendengus sambil meraih segelas jus di atas meja. Sementara itu, Shaka berdiri, berjalan ke pinggir taman untuk memetik bunga kamboja yang hampir mekar. Pandangannya teralih sejenak ke langit biru yang cerah, seolah mencoba menemukan ketenangan di sela-sela ingatannya yang kadang masih dihantui bayangan Kalea.
Saat ia kembali ke pandopo, Naomi sudah sibuk memainkan ponselnya. Shaka meletakkan bunga kamboja itu di atas meja di depan Naomi.
"Masih pusing?" tanya Shaka.
Naomi menatap bunga itu, lalu mendongak ke arah Shaka. "Udah mendingan, sih. Tapi kalau soalnya susah lagi, aku mogok belajar."
Shaka menggelengkan kepala, setengah geli. "Kamu ini ada-ada aja."
Mereka melanjutkan sesi belajar dengan lebih santai, sambil sesekali bercanda tentang hal-hal kecil. Di balik dinamika itu, ada momen-momen hangat yang perlahan membuka sisi Shaka yang selama ini ia coba tutup rapat. Sementara Naomi, meski terkadang kesal, merasa bahwa waktu yang ia habiskan bersama Shaka adalah sesuatu yang sangat berharga.
.
.Terimakasih sudah membaca, jangan lupa meninggalkan jejak ya!
Have a nice day💙!
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Balik Sunyi
Randommenggambarkan perjuangan Shaka keluar dari kesunyian yang ia ciptakan sendiri, dengan Naomi sebagai cahaya kecil yang perlahan menerobos dinding itu. Shaka dulunya adalah sosok ceria dan penuh semangat, tapi kehilangan Kalea mengubah segalanya. Kini...