Tirta mulai terbiasa dengan sarapan dengan kasha. Untuk mengatasi rasa tawarnya, dia menemukan cara baru, yaitu menggunakan sambal ala Indonesia yang sering diselipkan kantor dalam paket yang dikirimkan rutin tiap minggu. Sekalipun tetap terasa hambar dan memuakkan, rasa pedas dan aroma sambal itu masih bisa menghibur lidahnya.
"Kalau punya bumbu dan rempah sebanyak itu, sebaiknya dihemat saja menggunakannya. Enak, tapi harusnya tidak sebanyak ini," saran Babushka sambil mengedip-ngedip kepedasan saat mencoba. Momen seperti inilah yang kadang diceritakan dalam surat untuk ibunya.
Sekalipun unitnya dilengkapi dapur sempit, Tirta merasa lebih nyaman menggunakan dapur bersama saat sarapan dan makan malam, sehingga bisa saling berbagi dengan Babushka atau penghuni lain. Untuk makan siang, biasanya dia membeli saja di jalanan, sekalian untuk mencoba berbagai kekayaan kuliner kota kecil ini.
Sesekali Babushka membuatkan blini, pancake ala Russia, untuk menemani rasa tawar yang menguasai mulutnya. Rasanya lumayan lebih enak, walau tentu sarapan bubur kacang hijau, ketupat tahu, atau roti panggang di Indonesia tidak ada tandingannya.
"Roti? Ah, itu terlalu mewah. Hanya sesekali, terutama saat menyambut tamu yang dihormati, barulah roti-roti cantik akan disajikan dengan sejumput garam," cerita Babushka, yang lalu terdiam sejenak dan sadar.
"Ah, prosti! Maaf, maaf! Bukan maksud saya tidak menghormati anda. Maksudnya kalau ada pejabat dari pusat datang, biasanya akan diadakan perayaan kecil-kecilan. Tamu kehormatan itu akan diminta merobek sedikit dan memakannya, sebagai bentuk penghormatan balik," sambung Babushka. Dia tidak bermaksud merendahkan Tirta karena tidak menyambutnya dengan roti juga saat pertama datang dulu. Untuk kalangan bawah seperti mereka, kebiasaan ini jarang dilakukan. Dia menerangkan, dari perayaan itu bisa berhemat dengan meminta roti sisa yang tidak sempat dihabiskan.
Tirta melamun, membayangkan masa kecilnya dulu. Walau tidak seekstrem roti di Russia, mungkin juga mirip dengan posisi nasi di masyarakat Indonesia, setidaknya keluarganya. Walau sempat berada, keluarga Tirta menjadi korban penggusuran Waduk Jatigede. Lahan mereka yang awalnya subur karena berada di dekat sungai kemudian dipindah paksa atas nama mendukung pembangunan.
Bapaknya sempat memprotes dan mempertanyakan uang kerahiman yang seharusnya juga mereka dapatkan ke kantor Kelurahan, setidaknya bisa digunakan untuk membangun sumur dan membeli pompa. Namun yang diketahui Tirta hanyalah pada suatu malam bapaknya dijemput beberapa orang dengan pakaian rapi dan rambut cepak, lalu selamanya pergi menembus malam. Besok paginya dia mulai diteriaki, "Anak PKI! Anak PKI!" saat bersekolah. Bahkan guru-guru memandangnya dengan muka yang tidak senang, yang berlanjut hingga dia lulus SMA. Ibunya tidak pernah berhenti menangis sejak saat itu.
Mereka harus bertahan dengan hasil kebun seadanya, sebagian besar makan malam hanya diisi piring dengan singkong, tempe, dan sayuran. Sesekali, bila dia berhasil menangkap ikan atau belut, barulah suasana makan malam jadi agak lebih ceria.
Tapi seumur-umur dia jarang menemui nasi. Hanya bila ada tamu, biasanya keluarga jauh, yang datang, maka Ibu mulai memilah beras di karung, yang sudah mulai dikerubuti kutu.
"Sesusah apapun hidup kita, jangan sampai terlihat orang luar. Mereka harusnya tahu bahwa hidup kita baik-baik saja, tidak menengadah tangan," nasihat Ibunya sambil membuang kerikil kecil, sekam, dan kutu-kutu yang agak besar ukurannya dari tampi yang sedang dipegang.
Itulah pesan yang sampai kini dipegang teguh oleh Tirta. Sekalipun dicap "Anak Tapol", sesuatu yang membuat dirinya sulit diterima berkuliah dan bekerja di mana-mana, dia lebih memilih tidak menyerah. Impiannya menjadi dokter memang harus dikubur dalam-dalam, apalagi saat menyaksikan bahwa saat pengumuman penerimaan beasiswa, yang mendapat malah anak Lurah yang sebenarnya sudah tidak perlu dibantu lagi hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat-Surat dari Yakutsk
Historical FictionUntuk bisa memahami mengapa sosok Tirta adalah yang paling berhasil mengatasi luka dan trauma di dalam dirinya di dalam novel Jurang Salak Satu, kita perlu memahami latar belakang hidup Tirta yang dipenuhi pengkhianatan, direndahkan, bahkan diasingk...