Sejumput Roti

0 0 0
                                    

Dua hari berikutnya, Tirta akhirnya mendapatkan apa yang sudah dibayang-bayangkan selama ini dari cerita Babushka. Seorang Pervyy Sekretar' Regional'nogo Komiteta Partii, atau Sekretaris Pertama Komite Partai Daerah dari CPSU, partai komunis yang berkuasa penuh atas kebijakan di Uni Soviet, berkunjung sekitar pukul 9:00, sehingga rakyat dikerahkan untuk menyambutnya dengan dielu-elukan. 

“Bahkan penguasa sebenarnya di sini, tunduk dan ketakutan saat dikunjungi olehnya,” Bisik Lenka, yang ikut menemani Tirta. 

Tirta mengangguk dan mencatat di notesnya. Namun pikirannya masih tertuju kepada ritual penyajian roti ala Russia yang diceritakan oleh Babushka. Barulah pada saat beberapa perempuan maju membawa serangkaian roti dengan hiasan yang indah, pandangannya langsung tertambat kepada mobil sedan hitam yang berjalan pelan dan elegan, sebuah sosok dengan jas hitam dan sarung tangan melambai keluar.

“Itu Volga GAZ 3102. Cukup mewah untuk pejabat lokal, tapi tidak terlalu mencolok dibanding ZIL yang biasa dipakai pejabat setingkat politbiro,” bisik Lenka lagi. 

Tirta mengangguk-angguk dan mencatat lagi keterangan darinya. Ini agak kontras dengan kebiasaan pejabat di Indonesia. Penguasa-penguasa kecil di daerah justru berusaha menampilkan gaya hidup selangit, sementara pejabat di pusat mati-matian memperlihatkan citra hidup sederhana. Tapi tentu itu juga sebuah sandiwara yang sama konyolnya. Sesekali saat liburan, motor besar atau mobil Eropa dengan harga ratusan juta hingga miliaran akan digunakan bersama kroni-kroni mereka.

“Setidaknya pencitraan pejabat di sini lebih tertib,” gumam Tirta. 

Lalu tradisi itu pun muncul, Sang Pejabat yang bernama Mikhail Anatolyevich Koslov itu diminta mengambil sejumput roti dan garam yang dihidangkan. 

Potryasayushche! Ini sudah ketiga kalinya saya berkunjung ke sini. Kalau masih saja disajikan roti seperti ini, saya merasa kembali pulang ke rumah,” ujarnya dengan senyum yang lebar sambil mencabik roti itu, menaburinya dengan garam, dan memasukkannya ke mulut. 

“Memangnya enak roti ditaburi garam?” Tanya Tirta dengan polos kepada Lenka, yang langsung tertawa.

“Asal tidak kebanyakan. Dulunya garam sangat langka dan mahal di Siberia. Jadi walaupun kini sudah berlimpah dan harganya murah, tetap dianggap sebagai bagian dari jamuan yang mewah. Justru kalau tidak dimakan atau malah dibuang ke lantai, apalagi sampai diinjak, akan berarti penghinaan untuk tuan rumah,” terang Lenka. 

“Menarik,” jawab Tirta sambil terus mencatat. Dia kaget saat tiba-tiba Lenka menarik tangannya, menerobos kerumunan. Dalam kalimat yang terlalu cepat dan sulit dimengerti, Lenka memperkenalkan seorang petugas, yang ternyata ajudan pejabat partai tersebut.

“Ah, inostranyets? Anda turis? Kelihatannya muka Anda bukan dari sini,” tatapan pemuda dengan tubuh tegap itu berusaha ramah, namun seperti juga Orang Russia lainnya, sulit untuk tersenyum kepada orang yang dianggap asing.

“Saya Orang Indonesia yang sedang kuliah di sini,” jawab Tirta sambil mengulurkan tangannya. Pemuda itu memberitahukan namanya, Dmitri Pavlovich Zaitsev. 

“Sebenarnya tidak sopan memberikan roti ini kepada selain orang yang bukan pejabat yang sedang dijamu. Tapi kami selalu berusaha ramah dengan orang asing,” katanya sambil memberikan piring kecil bersama sepotong kecil roti. 

“Bagaimana, enak?” Tanyanya. 

Sulit bagi Tirta untuk berbohong, karena jujur roti itu hambar sekali, sekalipun dia sudah menaburkan banyak garam. Jauh lebih enak roti di Indonesia yang biasanya dibuat lebih manis. 

“Ini jauh lebih enak dibanding kapur, sirih, dan pinang yang digunakan untuk keperluan sama di Indonesia,” jawab Tirta berusaha mencari alasan. Dimitri tertawa sambil menahan mulutnya agar tidak terbuka lebar. 

Surat-Surat dari YakutskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang