Marvin POV
Aku terduduk di atas ranjangku, bersandar pada dindingnya sambil mulai menggigit rakus sepotong kue muffin coklat di tanganku.
Clap...clap...clap...
Kue muffin itu langsung melumer di mulutku ketika bergesekkan dengan deretan gigi bercampur liurku. Rasanya mantap banget. Bukan! Bukan karena ini pemberian dari Ray tapi yang namanya gratisan selalu terasa lebih lezat daripada mengeluarkan duit sendiri. Bisa dari siapa saja. Itu fakta. Silahkan dicoba sendiri kalau tidak percaya. Sekali lagi bukan karena Ray.
Ray tengah duduk di atas pinggiran ranjang Rio sambil tersenyum-senyum tak jelas, terus memandangiku melahap muffin pemberiannya. Sesekali kedua bola matanya terlihat bergerak melirik kebawah. Oh, shit! Aku lupa kalau aku masih shirtless. Dia pasti membayangkan sedang melahap putingku itu seperti aku menyantap muffin pemberiannya. Mereka sama-sama berwarna coklat. Mereka sama-sama menggoda.
"Kenapa kamu kok ngeliatin aku terus? Mau? Nih..." gumamku tak jelas karena mulutku terisi penuh sambil menyodorkan muffin yang tinggal 1/4 bekas gigitanku, bahkan ada sedikit ludahku menempel disana.
"Ih, jorok kamu Fin...Tapi gimana rasanya? Enak?"
Aku menganggukan kepalaku.
"Mau lagi?"
"Boleh!"
"Mau aku bawain tiap hari?"
"Hah? serius?"
"He eh...dua rius malah," Ray mengulas senyuman licik di bibir tipisnya. Aku bisa mencium ada udang di balik rempeyek.
"Emmm...ma-mau deh kalau gitu," ucapku ragu-ragu sambil memasukkan potongan terakhir muffin itu ke mulutku.
"Be my boyfriend then!"
Bruarrr...mulutku menyemburkan kunyahan terakhir muffin tadi, berhamburan di atas sepreiku. Kata-kata Ray barusan seperti kulit durian menyedak di tenggorokanku. Ini kedua kalinya dia memintaku menjadi pacarnya, tapi kali ini caranya terkesan murahan banget. Jangankan sepotong muffin tiap hari, setruk penuh berisi muffin pun aku tak sudi menjadi pacarnya.
Aku masih waras. Aku masih sadar jika kita berdua adalah sesama mahkluk berpentungan yang haram hukumnya merajut asmara. Mungkin setengah otak Ray masih dikredit orang lain sampai tidak bisa berpikir rasional. Dasar orang gila!
Sial, sepreiku yang berwarna putih jadi kotor gara-gara dia. Ini belum saatnya aku ganti seprei. Bisa-bisa aku terkena hukuman menyuci spreiku sendiri dari penjaga asrama, jika aku meminta ganti sebelum saatnya. Aku tidak keberatan untuk mencucinya karena tinggal memasukkannya kedalam mesin cuci yang disediakan di laundry room asrama ini. Tapi, aku terlalu malas menggelar sprei itu pada seutas tali jemuran di balkon atas. Belum lagi nanti aku harus menyeterikanya jika sudah kering. Oh damn, I hate it so much! Butuh setengah jam bagiku untuk menyeterika sehelai kemeja seragam sekolahku. Apalagi sprei? Ampun, deh! Kain yang luasnya sudah seperti lapangan bola gitu, bisa-bisa lima jam baru selesai. Buang-buang waktuku saja!
Aku mengambil tissue yang terletak di atas meja dekat ranjangku untuk membersihkan remahan muffin yang menempel mengotori spreiku. Nodanya cepat meluber karena mungkin efek bercampur liurku yang dengan cepat terserap kain seprei. Bagus! Spreiku kini bermotif polkadot tapi tidak rata, cuma di bagian tertentu saja.
"Kita impas Fin, spreiku juga kotor akibat noda bekas mens mu waktu lalu."
Argghh...dia tidak perlu mengingatkan lagi kejadian suram malam itu. Aku sudah berniat melupakannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/45535936-288-k806043.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta Monyet (BoyxBoy)
RomanceBagi kebanyakan orang masa SMA adalah masa monyet bercinta...namun aku bukanlah seekor monyet karena cintanya akan membekas selamanya di hatiku. "Aku sangat membencinya karena dia selalu memacari setiap cewek yang kuincar" --- Marvin Budiarto. "Aku...