Warning: Part ini akan puanjang banget karena ini kapasitas 2 bab aku jadikan satu. Disarankan membaca sambil membawa cemilan biar tidak pingsan kebosanan.
Happy Reading!
Marvin POV
Demi Tuhan, apa yang baru saja aku lakukan?
Itu... sungguh... memalukan!
Semoga saja tak ada siswa lain yang melihat adegan sinetron di lorong kamar tadi. Mau kutaruh mana mukaku jika sampai ada yang memergokiku menangis gegara seorang pria? Mereka biasa mengenalku sebagai pengacau dan pembuat onar sekolah. Jangan sampai julukanku berubah menjadi seorang homo cengeng.
Ah persetan, aku tak mau ambil pusing! Toh, namaku memang sudah terkenal jelek. Tak masalah mau bertambah satu atau seribu hinaan sekalipun karena tetap saja intinya sama, aku adalah seorang pecundang sekolah.
Lain halnya dengan Ray, dia seorang primadona dan siswa berprestasi kebanggaan sekolah. Aku lebih mengkhawatirkan reputasinya menjadi buruk jika sampai kabar itu tersebar. Bodoh, kenapa dia seceroboh itu, mempertaruhkan nama baiknya sendiri hanya untuk mengejarku di lorong tadi?
Seharusnya dia tak perlu sampai senekat itu karena aku bukan seorang yang layak diperjuangkan. Hei, aku ini bukan siapa-siapa, hanya seorang pemalas sumber masalah. Apa susahnya merelakanku pergi? Dia seharusnya bisa dengan mudah mendapatkan seseorang yang jauh lebih hebat segala-galanya daripadaku. Aku sungguh bingung apa sebenarnya yang membuat Ray mati-matian mengejarku, diantara ratusan murid lain yang pasti dengan senang hati menerima cintanya. Sebegitu berartinya kah diriku baginya?
Sialan, playboy kampung itu sukses membuatku benar-benar tersanjung. Baru kali ini aku merasa begitu dihargai, sebab keluargaku sendiri pun memandangku sebelah mata.
Aku sering membuat kedua orangtuaku malu karena berulang kali dipanggil guru BP akibat kenakalanku. Mereka selalu membanding-bandingkan dengan kedua kakakku yang prestasi akademiknya membanggakan. Aku sudah seperti domba hitam dalam keluarga sementara yang lain berwarna putih. Aku merasa terkucilkan.
Namun di saat ada seseorang yang tulus menyayangiku dan menerima segala kekuranganku, aku malah membuangnya. Hanya karena dia seorang pria. Aku telah termakan gengsiku sendiri yang ternyata malah membuatku menyesali keputusanku. Damn, aku sungguh idiot!
Andai waktu bisa terulang kembali, tanpa ragu aku pasti langsung mengejarnya saat di taman tempo hari. Aku akan menjadikannya milikku, bahkan aku tak peduli jika dia masih berpacaran dengan Arif. Ketua osis busuk itu pasti dengan mudah kusingkirkan, atau kujual di rumah bordil biar jadi pelacur murahan.
"Vin... Vin..."
"Ah... iya, Jess. Ma-maaf, ada apa?" Astaga, ini sudah kesekian kalinya panggilan gadis itu membuyarkan lamunanku.
"Kenapa kamu melamun terus sedari tadi, Vin? Kamu juga tampak lesu dan tidak bersemangat seperti biasanya? Apa kamu sedang ada masalah?" Jess mengangsurkan tangannya ke depan, lalu mengusap lembut punggung tanganku di atas meja. Dia seperti bisa menangkap kegelisahanku.
"Oh... maaf, Jess. Aku tidak apa-apa, kok. Mungkin perutku yang lapar membuatku jadi sulit berkonsentrasi. Kamu tak perlu khawatir, yah!" Aku langsung menarik lurus bibirku, mengembangkan sebuah senyum.
"Vin..." Kedua manik mata Jess yang indah mengunci pandanganku. Sepertinya ada sesuatu yang serius hendak dia utarakan.
"Yah, Jess?"
"Tentang pernyataanmu semalam, maka jawabanku..."
"Tunggu sebentar, Jess..."
Aku langsung membetulkan posisi dudukku. Punggungku yang mengendur lemah segera kutegakkan kembali, menandakan bila aku sangat bersemangat untuk mendengar jawabannya. Meski sebenarnya aku sudah bisa menebak apa yang hendak diucapkan gadis itu dari gelagatnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta Monyet (BoyxBoy)
RomanceBagi kebanyakan orang masa SMA adalah masa monyet bercinta...namun aku bukanlah seekor monyet karena cintanya akan membekas selamanya di hatiku. "Aku sangat membencinya karena dia selalu memacari setiap cewek yang kuincar" --- Marvin Budiarto. "Aku...