Surat kepada yang tertolak SNMPTN

85 1 0
                                    

Namaku Jabal Rachmat H, aku merupakan alumni dari sebuah pondok pesantren di daerah Baranti, Kabupaten Sidrap, Sulawesi selatan bernama Al Urwatul wutsqaa. Mungkin pesantrenku tak setenar Tebuireng, tak sebesar Gontor, tak semegah Biharu bahri 'asali fadhaili rahmah, dan pula tak sekeren Sidogiri. Tapi tetap bagiku, ini adalah pondok pesantren terbaik yang pernah kutempati. Pesantrenku merupakan salah satu pesantren modern, jadi jangan pikir kau akan sering mendapati kaum bersarung di kala pagi. Kau hanya akan mendapati gerombolan orang bercelana biru maupun abu-abu. Yah, kami sekolah pun, layaknya sekolah pada umumnya.

Masih jelas di kepalaku, tahun 2014, tahun terakhirku di pesantren ini menjelang Ujian Nasional, kami juga ujian nasional, 2 malahan, Ujian akhir nasional dan ujian akhir Madrasah berstandar nasional. Saat itu, seorang guruku, biasa disebut Bu Dar memberikan kami info mengenai SNMPTN yang akrab disebut dengan jalur undangan. Setelah mendapatkan penjelasan singkat dari guruku tersebut, kami yang pada awalnya yang hanya berpikiran bahwa kami hanya akan mampu untuk melanjutkan kuliah di STAIN, UIN, atau bahkan di rumah maupun di sawah saja. Kecuali aku tentunya yang selalu mengidamkan untuk bisa berkuliah di Al Azhar, Kairo, Mesir.

Teman-temanku mulai menimbang-nimbang dimana akan berkuliah, banyak yang mengidamkan untuk kuliah di Jawa. Aku pun tertarik sendiri untuk mendaftar SNMPTN, walau jujur awalnya aku tak tertarik sama sekali, di kepalaku hanya ada Al azhar bung. Tapi setelah kupikir beberapa waktu, melalui pertimbangan yang panjang kali lebar, melalui perenungan yang matang, mungkin orang tuaku takkan sanggup membiayai kuliahku di Al Azhar sana. Aku mendaftar SNMPTN diam-diam, bahkan ketika hampir penutupan pendaftaran aku baru sempat mendaftar, tepat pada hari ditutupnya pendaftaran aku baru mendaftar.

Singkat cerita, kami bertiga puluh orang, sedikit memang dan itu sudah digabung dengan perempuan untuk menambah jumlah kami. Dari kami bertiga puluh orang, yang mendaftar SNMPTN tepat setengahnya, lima belas orang. Ketika itu, hari pengumuman. Selesai UN, aku bersama seorang temanku mengecek pengumuman, yang kulihat dahulu adalah pengumuman temanku tadi, hasilnya, merah tertanda tak diterima. Temanku menggalau sedang aku masih komat kamit semoga Allah meluluskanku. Sekarang giliranku, jujur saja aku mulai sinis karena kegagal temanku tadi, dia mendaftar di Universitas negeri di Makassar sana sedangkan aku dengan nekad dan keinginan tak jelas mendaftar di salah satu universitas di Jakarta. Tentu saja yang kudapatkan adalah ucapan maaf, ternyata sakit juga, sakit sekali ternyata, walaupun aku tak berharap lulus tapi tetap saja rasanya begitu menusuk jantungku. Sempat aku tak bisa berkata-kata, aku ingin berteriak menggila, tapi kutahan. Kucoba menelpon dan mencari tahu tentang 15 temanku yang pun mendaftar SNMPTN. Hanya 15, mungkin bilangan kami tak sebanyak SMA dan sekolah unggulan lain yang bisa mendaftarkan muridnya hingga 200 orang. Silahkan tertawakan pesantrenku dalam jumlah keseluruhan. Tapi bila berbicara persentase, mungkin kamilah yang pantas berbangga. Bayangkan saja, bila sekolah umum, dari 200 orang tadi yang diterima di SNMPTN adalah 20 orang yang berarti hanya kisaran 10 persen, pesantren kami yang bahkan mungkin diknas tak ingat bahwa pesantren kami juga ada, berhasil meluluskan 4 orang dari 15 yang mendaftar SNMPTN, 26 persen bung.

Kubuka facebook-ku, tentu saja hari ini kebanyakan status bertemakan pengumuman SNMPTN, miris kulihat membaca beberapa status, ada yang bersedih, ada yang kebingungan, ada yang mengeluh, ada yang memaki-maki, dan beragam macam reaksi orang. Rasanya aku ingin protes kepada Allah, tapi kutahan, lalu kuputuskan untuk menulis sebuah surat, surat kepada yang tertolak SNMPTN,

Surat kepada yang tertolak SNMPTN.

Mungkin kemarin nasib belum menyapa kita. Wajar saja bila kita merasa kecewa, marah, dan terpuruk. Mungkin kemarin kita bisa sedih hingga menitikkan air mata. Wajar bila itu terjadi. Tapi, kita tak berhak untuk memaki, menghakimi, dan mengeluh Sang Pemilik Takdir. Karena kita hanyalah hamba yang hanya bisa menunggangi takdir, bukan mengendalikan dan buka jua menurutinya. Mungkin hati kita merasa bahwa Allah, kemarin tidak adil karena tidak meluluskan diri kita.
Tapi sadarkah kita ? Di balik kekecewaan kita membuat orang lain tersenyum. Di balik tertolaknya kita ada yang terterima. Boleh saja kita mengatakan ini tidak adil. Tapi sadarkah kita bahwa kepentingan kita terlalu kecil untuk Allah utamakan ketimbang kepentingan alam semesta yang telah IA kehendaki.
Kita bisa saja menyalahkan takdir, tapi disinilah Allah membenarkan bahwa kita harus lebih belajar apa itu perjuangan, apa itu peluh, apa itu perjalanan menuntut ilmu.
Ingatlah semua ada hikmahnya, Allah telah menunjukkan kuasanya, mungkin sebelumnya kita masih kurang berusaha, kita masih kurang berdoa, kita masih kurang bersyukur.
Yakinkan dalam hati kita, bahwa kemarin Allah telah menutup salah satu pintu, tapi IA juga telah membuka beberapa pintu yang lain. Tinggal kita yang memutuskan untuk memilih tinggal atau memasuki pintu takdir yang tak pernah kita tahu kemna ujungnya. Kawan, percayalah, tetaplah percaya, dan selalulah percaya bahwa pilihan Allah itu memang tak adil menurut kita, tapi itulah cara-NYA untuk mengajar kita di Universitas Kehidupan ini. Tetaplah tersenyum, tetaplah berjuang, tetaplah bermimpi, kaki kita masih bisa berjalan, wajah kita masih bisa tersenyum.

Cerita kemarin soreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang