Langit orkestra

17 0 0
                                    


"Kau serius mau ikut mendaki gunung bersama Alan dan teman-temannya ?" Tanya seorang teman kepadaku, aku mengangguk pelan. Dia tampak menyernyitkan dahinya saat mendengar pernyataanku, gila, mungkin itu yang ada di pikirannya. Aku tak ambil pusing dan segera kubereskan buku-buku dan alat tulisku lalu segera kumasukkan ke dalam tasku agar aku dapat segera pulang.
Aku berjalan di trotoar sendirian sembari mengingat-ngingat beberapa ketidaksetujuan temanku dengan keputusanku untuk ikut mendaki gunung bersama teman-teman lelakiku. Tidak seperti biasanya, begitulah yang ada di pikiran mereka. Aku yang biasanya hedon ketika masuk akhir pekan dan menghabiskan waktu liburku bersama teman-temanku di bioskop maupun mall-mall kali ini memilih untuk menghabiskan weekend-ku bersama kelompok pecinta alam sekolahku. Aku yang sangat suka makan enak dan merawat diri saat liburan harus berangkat mendaki karena kemauan sendiri. Itu sanggah mereka terhadap keinginanku. Tapi aku tak peduli. 

Aku tak segera pulang, aku ingin singgah terlebih dahulu di rumah sakit tempat Anisa teman baikku dirawat. Sudah hampir 3 minggu ia dirawat disana, kena tipes katanya. Hari ini masih hari kamis, tapi seperti biasanya, teman-teman sekelasku sudah sibuk membahas untuk menghabiskan waktu weekend-nya dimana. Alfat dan juga beberapa temanku yang terkenal "berkacamata tebal" di kelasku seperti biasa menghabiskan weekend-nya di tempat bimbingan belajar mereka. Lain cerita dengan Elisa dan teman segengnya, seperti biasa mereka meghabiskan weekend mereka dengan menghamburkan uang di mall dan juga bioskop dan biasanya sih aku juga diajak mereka tapi tidak kali ini. Juga ada Alan dan teman-temannya dari pecinta alam, mereka seperti biasanya akan menghabiskan waktu weekend mereka dengan traveling dan kali ini mereka akan mendaki gunung, aku akan ikut mereka kali ini. Aku sudah izin dengan orang tuaku den seperti biasa, mereka mengizinkan karena tahu aku akan tentu saja mengurung diri di kamar selama seharian jika keinginanku tidak diiyakan mereka.

Di sebuah penjual buah-buahan, aku membeli beberapa buah-buahan untuk Anisa, teman baikku itu. Sengaja kubeli banyak buah apel, karena Anisa sangat suka dengan buah apel. Aku akan memberitahunya hari ini, aku akan pergi mendaki bersama Alan dan teman-temannya. Kupikir dia tidak akan mngizinkanku, tapi aku akan tetap bersikeras agar aku dapat ikut. Biasanya aku akan mendengar apa katanya, tapi kali ini, aku ingin membuat keputusan sendiri.
"Apa kau bilang ? Kau akan mendaki dengan Alan ?" Kaget Anisa sembari memegang erat potongan buah apel yang kupotong. Ia memelototiku, pertanda ia tak suka dan tak setuju dengan keputusanku kali ini.

"Nad, kau lupa dengan kejadian yang menimpa kakakku ? Kenapa juga harus bersama Alan ? Bukankah sudah kubilang jika dia adalah lelaki brengsek dan juga playboy ? Aku tak akan menyetujui keberangkatanmu mendaki bersama dia ? Kenapa kau tidak ikut saja bersama Elisa ke mall ?" Tanya Anisa lagi memberondongiku dengan bertubi-tubi. Aku hanya tersenyum mendengar ia berbicara.

"Bukannya aku lupa Nis. Aku malah ingin berjanji untuk menuntaskan pendakian kakakmu yang tak sampai puncak itu. Lagipula, kenapa kau begitu sensitif jika aku menyebut nama Alan ? Aku berangkat bukan hanya dengan dia kok. Ada Aldo dan yang lain juga yang ikut bersamaku dan Alan" Aku mencoba meyakinkan sahabatku terbaik sepanjang masa dan seluruh dunia ini.

"Tidak Nad, aku takkan setuju. Aku kesepian disini Nad, dan kau memutuskan untuk menghabiskan weekend-mu bersama mantanku yang brengsek itu ?" Anisa memalingkan kepalanya dariku. Dia menolakku.

"Terserah kau, kali ini aku akan tetap kukuh dengan pendirianku. Maafkan aku sobat, bukannya aku tak mau mendengarmu, tapi aku hanya ingin sesekali menghabiskan weekend dan juga menikmati kebebasanku sebebas-bebasnya kebebasan" Aku pergi meninggalkan Anisa jauh.
Aku tak ingin berbalik melihat bagaimana wajah Anisa, tentu akan menyayat hatiku yang notabene aku merupakan satu-satunya orang yang ia anggap saudara dan satu-satunya saudara yang ia punya setelah ia harus kehilangan kakaknya saat mendaki gunung yang akan kudaki.Di perjalanan pulang menuju rumah, entah apa sebabnya aku jadi teringat kakakku, naldi. Aku seringkali dicibir olehnya. Katanya, aku terlalu mengikuti pola ekonomi keluarga kami. Aku sama sekali tak pernah sesekali menjadi diriku sendiri. Katanya aku hanya mengikuti orang lain dan mengikuti pola ekonomi keluarga kami yang memang bisa dikatakan lebih dari berkecukupan. Kakakku memang berbeda, dia adalah seorang mahasiswa sekaligus inspirasiku akhir-akhir ini. Dia begitu aktif menulis sebagai seorang jurnalis kampus. Dia menolak menerima pemberian orang tuaku, katanya orang tuaku hanya berkewajiban membayarkan SPP-nya, sisanya dia yang urus dirinya sendiri. Dia begitu aktif menulis, setidaknya dia telah menerbitkan 4 novel karyanya.

Hari ini hari sabtu, hari keberangkatanku. Semuanya sudah siap. Karpet, carrier yang kupinjam dari kakakku, aku pun tak tahu kalau dia punya carrier ternyata. Aku sudah mohon izin pada orang tuaku sebelum mereka berangkat kondangan. Aku juga sudah izin pada Anisa, yang meskipun dengan cemberut berat dan memalingkan wajahnya dariku tetap mengizinkanku pergi. Sisa satu orang yang aku belum minta izin padanya, kakakku. Sejak tadi pagi dia belum keluar, mungkin asyik menulis pikirku. 

Aku memberanikan mengetuk pintu kamarnya dan memanggil namanya. Lama ia menjawab dan akhirnya ia membukakan pintu kamarnya. Ia tersenyum padaku, "Kamu mau berangkat sekarang Nad ? Kakak banyak kerjaan. Jaga dirimu baik-baik. Tapi ada satu hal yang kakak ingin tahu, kenapa kau begitu ngotot mau mendaki gunung dan tidak lebih memilih untuk menghabiskan weekend-mu di mall seperti biasanya ?" tanya kakakku secara tiba-tiba.

Kuakui, begitu banyak yang menentang dan menertawakanku. Aku yang selalu saja memilih untuk perawatan ini memilih mendaki gunung. Aku yang seringnya merengek-rengek saat mau makan memilih untuk makan ala kadarnya. Aku yang kadang tidur pun harus ditemani mama memilih untuk tidur di tengah alam liar. Aneh memang. Tapi kali ini, aku bulatkan tekadkan hatiku dan menjawab pertanyaan kakakku, "Aku ingin melihat bintang dan bulan. Di jakarta ini, bulan dan bintang tak terlihat". Kakakku tersenyum lalu masuk ke kamar dan menguncinya lagi.
Aku bukan orang yang ahli dalam menulis puisi, berbanding terbalik dengan kakakku yang pecinta sastra. Tapi setelah aku sampai di puncak setelah kulewati berbagai rintangan di bawah, ada banyak hal yang kutemukan, satu hal yang membuatku teringat akan pesannya kakakku, "Liburan bersama teman tidak selamanya harus di mall". Aku tersenyum dan sepulangku dari pendakianku, aku memberikan kakakku sebuah puisi.


Cerita kemarin soreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang