Hari ini benar-benar membuat Raka merasa sangat lelah. Lelah hati dan juga lelah pikiran. Perasaannya juga dibuat berantakan hanya karena seorang Cinta. Wanita tercintanya yang sudah benar-benar ditaklukkan olehnya. Raka tak pernah menyangka jika usaha kerasnya selama ini akan berbuah manis dengan cepat. Cinta bukan seorang wanita biasa. Bagi Raka, Cinta bukanlah wanita yang saat ini bergentayangan di dunia yang hampir kiamat ini. Cinta berbeda. Daya tariknya sungguh kuat. Cantik, energik, pintar, tangguh dan mandiri. Masih banyak lagi yang tak bisa Raka sebutkan dari dalam diri Cintanya. Semua yang ada dalam diri Cinta sangat berharga untuknya. Raka tak akan pernah melepaskannya hingga napasnya terhenti. Itulah janjinya ketika Cinta mengijinkannya untuk menjadi kekasihnya.
Raka membelokkannya ke jalan Seno Raya. Komplek yang dilewatinya ini bagi masyarakat sekitar lebih dikenal dengan sebutan Komplek BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara). Karena dahulunya di sini merupakan kantor BAKIN. Namun sekarang lebih dikenal dengan sebutan Komplek Kasatrian Soekarno-Hatta. Tepat di depan pintu gerbang utama masuk perkantoran BIN terdapat patung Soekarno Hatta yang menjulang.
Raka mulai memasuki komplek BIN, tempat di mana ia bekerja saat ini. Terlihat pagar tinggi yang ditutup oleh rimbunnya pohon bambu, seolah menyembunyikan gedung-gedung perkantoran BIN. Kantor itu dikelilingi oleh pagar besi yang membatasi jalan umum dengan jalan lingkungan kantor. Keberadaan patung Soekarno Hatta di depan kantor BIN, mempermudah dalam mengenali intelegence compound yang menjadi Markas BIN.
Mobil Raka mulai memasuki pintu gerbang sebelah selatan. Hanya berjarak beberapa meter, mobilnya mulai memasuki akses utama. Pos penjagaan petugas keamanan internal, yang disebut 'Garda'. Setiap orang yang akan masuk ke lingkungan itu, kecuali pegawai, akan diperiksa identitas dan barang bawaannya untuk didata dan untuk ditinggal. Khususnya barang-barang yang memang terlarang sesuai ketentuan internal.
Dengan kecepatan standar, mobil Raka kembali melewati pos penjagaan berikutnya. Pos yang menjadi akses untuk masuk ke perkantoran BIN. Tepat di sudut jalan masuk antara komplek pemukiman anggota BIN dan komplek perkantoran yang dibatasi pagar besi dengan rimbunan pohon bamboo terdapat tulisan di papan besi permanen yang berbunyi 'For your eyes only'. Pesan itu dimaksudkan untuk semua orang yang berkepentingan masuk di komplek BIN, terutama keluarga besar BIN. Melalui tulisan tersebut, disampaikan bahwa apa yang dilihat hanya untuk diri sendiri.
Setelah melalui beberapa akses penjagaan, akhirnya mobil Raka mulai masuk ke blok perkantoran dan memarkirkannya di tempat parkir yang sudah disediakan. Suasana perkantorannya tidak hiruk pikuk sebagaimana instansi pemerintah lainnya. Hal ini dikarenakan BIN hanya melayani 'Single client', yaitu Presiden, bukan 'Public service'.
Raka berjalan menuju ruang kerjanya sembari mengangkat tangan kirinya untuk melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul tujuh lebih empat puluh menit. Jam delapan malam nanti Raka harus bertemu dengan atasannya. Ia meletakkan ID card-nya di depan alat mesin pemindai data di samping pintu masuk ruangan kerjanya. Kemudian meletakkan ibu jarinya di mesin finger print. Pintu pun terbuka secara otomatis. Beberapa pasang mata menatap Raka, membuatnya menyunggingkan senyuman khasnya. Tim Raka itu hanya terdiri dari tujuh orang. Semua berasal dari latar belakang yang berbeda. Mereka semua adalah agen inteligen BIN. Masing-masing dari mereka selalu mempunyai dua dunia yang berbeda untuk berkamuflase. Tak terkecuali dengan Raka.
Berkamuflase sebagai seorang pengacara muda yang juga mempunyai sambilan sebagai dosen, membuat Raka sedikit kewalahan. Raka memang bekerja di sebuah kantor yang memberikan jasa hukum. Kantor itu lebih berkonsentrasi pada bidang hukum bisnis. Walau terkadang di sana juga memberikan jasa hukum yang lain. Refanda Assegaf & Co. Atau biasa dikenal dengan sebutan RAC. RAC diambil dari nama ibu Raka, pemilik RAC. Kantor itu masih berada di bawah pengawasan ibu Raka, Refanda Asegaf. Karena ibunya juga, akhirnya Raka mengundurkan diri sebagai anggota pasukan elite TNI AU, Denbravo 90. Sekarang lebih dikenal dengan sebutan Satbravo 90.
Setelah Raka mengundurkan diri dari keanggotaan TNI AU, BIN merekrutnya. Raka memang telah menjadi incaran BIN selama dirinya menjadi anggota TNI AU. Semua karena kecerdasan dan juga keterampilannya. Entah apa yang sudah BIN lakukan kepadanya saat itu. Semua hasil tes lulus dengan nilai sempurna. Tes yang sama sekali tidak Raka ketahui kapan pelaksanaannya, karena semuanya bersifat sangat rahasia.
Setelah duduk di kursi kerjanya, Raka segera menyalakan benda persegi panjang berlayar datar di hadapannya. Kedua jemari tangannya tampak lincah menekan beberapa angka dan huruf dari keyboard untuk bisa masuk ke akses BIN. Jemari tangan kanannya mengetuk-ngetuk meja sambil menunggu semua data yang dimasukkannya terproses.
“Bang Kapten, ini data yang Lo minta,” ucap Reihan sambil menyodorkan sebuah map, sebelum duduk di samping Raka.
Al-Dzaky Reihan Muhammad. Suami dari sepupu jauh Raka, Mika, adik dari Abyan. Reihan adalah hacker andalan di tim Raka. Lulusan terbaik dari Oxford University, England. Sama seperti Raka, selama Reihan menempuh pendidikannya, BIN selalu mengintai dan mengawasinya. BIN tidak akan pernah menutup mata pada beberapa anak muda Indonesia yang cerdas dan memiliki keterampilan ekstra yang unik.
“It's awesome, Rei.” Raka memuji hasil penemuan Reihan.
Reihan terkekeh sambil membenahi posisi kaca matanya. Kaca mata yang selalu dipakai untuk melindungi matanya dari radiasi cahaya layar komputer.
“Oia Bang, sudah jam delapan. Tadi Komandan sudah mencari Lo ke sini,” tutur Reihan mengingatkan.
Raka mengangguk. Kemudian memberikan map itu kembali kepada Reihan untuk menyimpannya, lantas segera beranjak dari tempat duduknya. Dan melangkah pergi menuju ruang atasannya. Raka yakin, pemanggilannya kali ini masih berhubungan dengan kesalahan informasi saat dirinya menyerbu sebuah kapal yang telah diyakini sebagai kapal milik Kendra CS. Digeseknya ID card yang sempat mengalung di lehernya di mesin scan data.
Alyandra Rakabuming Bagaskara. Access granted.
Pintu segera terbuka otomatis. Raka melangkahkan kakinya untuk masuk ke ruangan atasannya. Sebuah papan kecil bertuliskan ‘Satrio Dewanto, S.H.’ menghiasi meja kerja atasannnya. Kursi kebesaran atasannya itu berputar menghadap ke arah Raka. Sebuah senyum simpul terukir di wajah tampan atasan Raka yang tak lagi muda itu.
“Duduk!” titahnya kepada Raka.
Raka mengangguk kemudian duduk di kursi di depan meja kerja atasannya.
“Unit Athena dibubarkan,” kata Rio yang membuat Raka terkejut.
Unit Athena adalan nama tim Raka saat ini, “Hah!” hela Raka menahan emosi.
Rio menatap Raka dengan tatapan tajamnya. Raut wajahnya terlihat santai. Raka merasa heran dengan reaksi santai atasannya itu.
“Dan saya diberi kesempatan untuk membuat tim baru di luar BIN,” cerita Rio yang membuat Raka menatapnya tak percaya, “kamu akan ikut bersama saya, Raka, seperti biasa.”
“Ini surat tugas kamu,” ujar Rio sembari menyerahkan surat tugas kepada Raka.
Raka mengambil sebuah amplop panjang berwarna coklat yang disodorkan oleh atasannya, Rio. Ia pun segera membukanya.
“Apakah Komandan yang membawahi langsung Unit 9 ini?” tanya Raka yang disambut anggukan oleh Rio.
“Bernaung di bawah BIN dan bekerja sama dengan Mabes Polri. Kita akan bermarkas di sana,” jelas Rio.
Raka mengangguk paham sebelum helaan napas beratnya berembus, “Bagaimana dengan status saya? Saya seorang pengacara, Ndan. Komandan jelas, masih berstatus sebagai anggota kepolisian. Tidak akan ada yang mencurigai Komandan,” tutur Raka yang membuat Rio tersenyum.
“Tidak ada peraturan yang ditentukan untuk merekrut anggota tim yang akan saya buat. Pengecualian untukmu, Raka.” Rio kembali menjelaskan.
“Identitas kamu sebagai mantan anggota Denbravo 90 yang akan menguatkan posisimu di sana. Bagaimana Kapten Alyandra Rakabuming Bagaskara? Sudah siapkah kembali untuk bertugas di luar matra udara?” cerca Rio.
Hampir empat tahun Raka meninggalkan Denbravo 90. Walaupun kegiatannya sekarang tak jauh berbeda dengan kegiatannya selama menjadi seorang prajurit, namun ada perasaan khawatir yang menyelimutinya saat ini. Tapi ia tak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Keduanya saling beradu pandang dengan tatapan tajam menyeruak. Seakan saling mencoba membaca pikiran lawan bicaranya.
“I know what's on your mind Raka,” tebak Rio yang disambut Raka dengan mengulum senyum.
“Ready?” tanya Rio kembali.
“No doubt, Commander!” balas Raka lugas.
“Be professional Raka! It's so important to us!” peringat Rio tegas.
“UKI 9 (read: yuki nine) harus bisa menuntaskan semuanya. Walau nanti, kita akan beradu dengan beberapa pasukan elite khusus lainnya. Dan kemungkinan untuk bekerjasama dengan mereka sangat besar, karena kasus ini sudah berada di level darurat,” jelas Rio kembali dan hanya dibalas sebuah anggukan kepala oleh Raka.
“Cari data sebanyak-banyaknya sebelum kita meninggalkan Unit Athena! Besok Unit Athena akan dibubarkan. Semua anggota tim akan dikembalikan ke posisi mereka masing-masing. Instruksikan kepada seluruh anggota Unit Athena! Besok pagi kita bertemu kembali. Saya harus menjemput beberapa orang yang akan saya masukkan ke UKI 9,” perintah Rio menambahkan.
“Siap Komandan!” sahut Raka tegas.
Raka menjabat tangan Rio sebelum meninggalkan ruangan. Ia tak tahu, entah harus senang atau sedih karena akan berpisah dengan Unit Athena yang sudah berjalan hampir dua tahun. Terlebih Reihan yang selalu memudahkan pekerjaan Raka. Meskipun Raka juga seorang hacker, namun ia tak selihai Reihan dalam meretas apapun.
Raka kembali melangkah ke ruang kerjanya. Sesampainya di sana, Raka memberitahu kepada semua partner kerjanya tentang apa yang telah dibicarakannya dengan Komandan Rio. Semuanya terlihat bersedih. Namun mereka tetap harus kembali bekerja sesuai dengan instruksi Rio.
---
Raka menyandarkan kepalanya di kepala kursi kerjanya. Diangkatnya tangan kirinya untuk melihat jam tangan. Pukul setengah satu malam. Ia mengambil iPad-nya. Kemudian menyentuh sebuah aplikasi untuk bisa melacak keberadaan wanita tercintanya, Cinta. Raka sengaja memasang alat pelacak berukuran super micro kecil di smartphone, iPad dan juga jam tangan kesayangan Cinta. Tentunya tanpa sepengetahuan Cinta. Raka melakukannya saat meminta Cinta untuk menginap di apartemennya kala itu. Dahulu, ia memang selalu mengintai Cinta dari jauh, dan saat ini ia tak bisa melakukannya lagi. Karena pekerjaannya yang semakin membuatnya sibuk. Untuk itulah, Raka sengaja memasang alat pelacak di benda-benda kesayanganan Cinta agar dirinya selalu bisa mengetahui keberadaan wanita tercintanya.
Di benda berlayar flat yang sedang Raka pegang saat ini, terlihat jelas posisi keberadaan Cinta sekarang. Cinta masih berada di club.
“Rei, Lo bisa meretas CCTV di 69 Club nggak?” bisik Raka kepada Reihan.
Reihan mengangguk diiringi senyuman manis khasnya. Senyuman meledek yang sangat menyebalkan bagi Raka.
“Tolong langsung sambungkan ke iPad gue!” titah Raka.
Raka meletakkan kembali iPad-nya di meja sambil menunggu hasil dari Reihan yang beraksi di dunia maya.
“Sudah Bang,” ucap Reihan.
Raka mengangguk. Ia segera mengambil iPad-nya kembali. Senyum bahagia terukir jelas di wajah Raka ketika melihat hasil kerja Reihan. Di layar datar itu, Cinta terlihat sedang mengambil tasnya yang dititipkannya kepada Ricky. Raka terbelalak saat melihat pergerakan aneh di layar datarnya.
“Oh shit!” umpat Raka saat melihat seorang lelaki mencolek pantat Cinta.
Rahangnya mengeras seketika. Tangan kanannya langsung mengepal dengan sempurna. Darahnya pun seakan mendidih. Namun dalam hitungan detik kekehannya. Wanitanya membanting dan menginjak lelaki itu dengan keras.
“Good girl!” seru Raka.
“Kapten, are you okay?” tanya Ryu kepada Raka.
Raka mendongak lantas menatap Ryu yang sudah duduk di hadapannya. Semua rekan kerjanya ternyata sudah menatapnya dengan lekat. Ruang kerja di sini hanya berisi sebuah meja oval besar yang dikelilingi oleh beberapa kursi dan juga komputer berlayar datar di atasnya. Semuanya bekerja santai di sini. Raka tersenyum malu.
“I think, I drive myself crazy,” jawab Raka yang membuat semua rekannya tertawa.
“Kita makan pagi yuk! Lapar nih,” ajak Gaza.
Raka menatap para partner kerjanya bergantian. Mereka saling menyunggingkan senyum.
“Sudah selesai semua?” tanya Raka memastikan.
Mereka mengangguk dan menjawab pertanyaan Raka dengan serempak, “Yes, Sir!”
“Let's go!” ajak Raka.
Semua beranjak dari tempat duduknya. Bergiliran keluar ruangan lantas bersama-sama menuju tempat parkir.
---
Mereka semua memutuskan untuk makan di sebuah restoran cepat saji yang berbuka 24 jam. Memakan pizza bersama pagi dini hari, sekaligus sebagai acara pembubaran Unit Athena. Walau tak di hadiri oleh atasannya, Rio. Jika di luar kantor seperti sekarang, para lelaki itu akan terlihat seperti mahasiswa konyol yang sedang kelaparan.
“Arah jam dua Bro!” ujar Ryu kepada rekan kerjanya.
Semua saling melirik kearah yang Ryu maksud.
“Anjiiir …. Aunty giyang,” sahut Regi.
Tawa keras pun membahana. Raka menggeleng-gelengkan kepalanya. Baginya, semua rekan kerjanya adalah adik-adiknya sendiri. Umur mereka semua sepantaran dengan Reihan. Raka adalah yang tertua di sini. Bukan hanya karena umur saja mereka menghormati Raka, tapi karena Raka adalah chief leader mereka di Unit Athena.
“Bos, sibuk banget sama itu iPad. Kayak ngelonin bini aje,” ledek Umay kepada Raka.
Raka menatap Umay dengan tatapan tajam bak elangnya. Membuat Umay mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Kekehan pun terdengar jelas dari rekan kerjanya yang yang lain.
“Itu mah si Abang lagi melacak keberadaan bininya,” timpal Reihan yang membuat semua terkekeh sembari melanjutkan untuk makan.
Tangan Raka masih aktif menyentuh beberapa huruf dan angka di layar datar yang dipegangnya. Mempraktekkan apa yang sudah Reihan ajarkan untuk dapat meretas jaringan CCTV yang diinginkan. Dan ternyata tidak semudah teorinya. Saat ini Raka sedang meretas CCTV di resto Jepang, Shabu Slim. Tempat di mana Cinta berada. Senyumannya kembali terbit saat aksi kenakalan berhasil.
Di layar iPad Raka, tampak Cinta sedang mengobrol dengan seorang lelaki. Ada rasa cemburu yang hebat ketika Raka melihatnya. Darahnya mendidih seketika. Rahangnya pun mengeras melihat keduanya tampak begitu akrab. Jantungnya berdebar keras, mencoba meredam emosinya sendiri. Ia pun mencoba untuk memperjelas tampilan gambar itu. Jari telunjuk dan ibu jari kanannya saling menarik berlawanan arah umtuk memperjelas gambar. Matanya reflek terbelalak. Kepalanya menggeleng-gelengkan tak percaya.
“Oh shit!” umpat Raka.
Kedua mata Raka pasti tak salah melihat. Cinta bersama dengan atasannya, Rio. Ia mengumpat berulang kali di dalam hatinya.
“Kenapa Bos?” tanya Ezi.
Raka mendongak lantas menggeleng, “Nggak kenapa-kenapa,” sahut Raka asal.
Reihan menaikkan salah satu alisnya, dan disambut tatapan tajam dengan sedikit gelengan kepala dari Raka. Raka kembali menatap benda berlayar datar digenggaman tangannya.
Rio memberikan sebuah gambar kepada Cinta. Membuat Raka mengembuskan napas beratnya. Gambar itu terlihat jelas di mata Raka, walau pun berukuran kecil. Raka mengetahui gambar itu. Rasa takut mulai menjalar di seluruh aliran darahnya saat ini. Jantungnya seperti sedang berlari maraton. Detaknya begitu kencang. Sesaat kemudian Rio memberikan iPad-nya kepada Cinta dengan sebuah tulisan di layarnya. Raka tak bisa membacanya kali ini. Semoga dugaannya salah.
“Oh, no!” pekik Raka sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Rio memberikan sebuah amplop kepada Cinta. Amplop yang berukuran sama seperti yang Rio berikan kepadanya beberapa jam lalu. Raka pun segera teringat ucapan Rio kala itu.
“Be professional Raka! It's important to us.”
“Double shit!” umpat Raka kesal.
Komandan Rio pasti sudah mengetahui hubungannya dengan Cinta saat ini. Raka mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Saat ia mendongakkan kepalanya, semua rekan kerjanya menatapnya dengan intens. Helaan napas berat Raka pun berembus. Kemudian menyapu bibir atas dan bawah dengan lidahnya.
“I have to go,” ucap Raka memecahkan keheningan, “gue yang bayar,” lanjutnya kembali.
Raka memanggil seorang pelayan kemudian memberikan kartu debitnya kepada pelayan itu.
“Ada apa, Bang?” tanya Reihan.
“Cinta dalam bahaya!” sahut Raka yang disambut tatapan bingung dari semua rekan kerjanya.
Sesaat kemudian pelayan itu kembali, dan meminta Raka menekan beberapa angka pada sebuah alat pembayaran. Kemudian pelayan itu memberikan dua buah kertas kecil kepada Raka, setelah sebuah kertas kecil keluar dari alat pembayaran.
“See you,” pamit Raka sambil beranjak pergi meninggalkan rekan kerjanya.
Raka segera berlari nenuju tempat parkir mobilnya. Sesaat setelah masuk ke dalam mobil, ia segera menekan pedal gas mobilnya untuk meninggalkan pelataran restoran cepat saji itu.
---
Raka menghentikan mobilnya di seberang jalan Resto Jepang, Shabu Slim. Kedua matanya kembali fokus ke layar iPad-nya. Cinta dan Komandan Rio sudah mulai beranjak dari tempat duduk mereka. Beberapa menit kemudian Cinta berdiri di depan restoran itu. Jemari tangan Raka segera mengetik pesan untuk kekasihnya, Cinta.
Raka mengembuskan napasnya setelah mengumpat kesal di dalam hatinya. Ia membalas pesan Cinta yang telah menolak tawarannya untuk dijemput hanya dengan sebuah sticker yang memberikan ciuman. Cinta pun membalasnya dengan mengirim sticker Coni yang memberikan ciuman juga. Raka memilih memerhatikan Cinta dari jauh. Sesaat setelah Cinta memasukkan smartphone-nya ke dalam tas, ia menerima sebuah telpon. Raka melihat Cinta sedikit ragu untuk mengangkat panggilan itu. Kedua matanya menatap kekasihnya dengan lekat dan tajam. Tangan Cinta mengusap kasar pipinya. Raka terdiam memandang Cinta yang sedang menangis dari balik kaca mobilnya. Pikirannya langsung tertuju kepada bunda Cinta.
“Cinta!!!” pekik Raka kaget ketika melihat Cinta hampir saja tertabrak sebuah mobil SUV.
Cinta berlari kencang tanpa memedulikan sekitar. Raka pun segera menyalakan mesin mobilnya untuk mengikuti kemana Cinta pergi. Mobilnya meminggir ke tepi jalan saat melihat Cinta terjatuh. Raka menghela dan mengembuskan napas beratnya kembali, lantas mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Ia tak mungkin turun untuk membantu kekasihnya itu. Cinta akan mencurigai keberadaannya nanti.
“Argh!” teriak Raka seraya memukul stir mobilnya dengan keras.
“Bangun, Sayang!” ucap Raka dari dalam mobil ketika Cinta memegang lututnya sebelum terbangun.
Cinta terlihat mengambil sesuatu, sesaat setelah bisa berdiri dengan tegak. Ia kembali berlari dengan tertatih.
“Maafkan aku, Sayang,” ujar Raka menyesal.
Raka merasa tak berguna kali ini. Ia mengikuti langkah kecil Cinta yang berlari di trotoar dengan tertatih-tatih. Ia mengetahui kemana tujuan Cinta berlari saat ini.
---
Setelah memarkirkan mobil, Raka segera bergegas menyusul Cinta ke ruangan bundanya. Otaknya kali ini sudah penuh oleh bayangan Cinta dan juga bundanya. Raka berlari secepat mungkin. Tak peduli penampilannya yang sudah kacau sedari tadi. Langkahnya melambat. Melihat Cinta duduk di ruang tunggu bersama suster Ana yang sedang mengobati luka di lutut kekasihnya. Napas Raka tersengal-sengal. Ia mencoba mengatur napasnya agar terlihat normal. Setelah napasnya sedikit normal, ia mendekati wanitanya yang sedang meringis menahan sakit.
“Hai Sayang, kamu kenapa?” tanya Raka basa-basi.
Cinta mendongak menatap Raka yang baru saja datang. Rasanya ia ingin menumpahkan segala rasa sesak di dadanya kepada Raka. Hati Raka serasa teriris saat menatap mata sendu Cinta. Sisa-sisa air mata Cinta masih bisa terlihat dengan jelas di kedua mata tajamnya. Bukan hanya itu saja, Raka juga merasa bersalah karena dirinya yang terus menerus membohongi Cinta selama ini. Hanya rasa cintanya dan juga rasa sayangnya kepada Cinta yang tidak pernah mendusta. Entah kapan semua ini akan terbongkar. Raka sudah menunggu saat-saat itu. Menceritakan semua tentang siapa dirinya yang sebenarnya. Cinta tersenyum menahan sakit.
“Jatuh tadi,” cerita Cinta singkat.
Raka mengulum senyumnya. Kemudian duduk di sebelah kekasihnya, Cinta.
“Kamu ini, kayak anak kecil aja sih, Sayang. Lain kali, hati-hati ya!” ujar Raka menasehati.
Cinta mengangguk patuh. Tangan kanan Raka mengusap pucuk kepala Cinta dengan penuh sayang. Kemudian menarik kepala Cinta ke dalam dekapannya. Sedari tadi Raka sudah ingin memeluk kekasihnya itu. Melihat Cinta yang terjatuh di hadapannya dan tak bisa membantunya, membuatnya semakin merasa bersalah.
“Parah ya, Sust?” tanya Raka kepada suster Ana yang sedang memberi obat pada luka Cinta setelah membersihkan luka itu.
Suster Ana tersenyum, “Lumayan, lututnya terkoyak.”
Raka mengangguk paham. Cinta menatap lututnya yang sedang diobati oleh suster Ana dengan tatapan sendunya.
“Selesai,” ucap suster Ana setelah menutup luka Cinta dengan balutan perban karena lukanya yang sedikit besar.
“Yuk, suster antar kamu untuk bertemu dengan dokter Reisha! Dia pasti sudah menunggu kamu, Ta,” kata suster Ana.
Cinta mengangguk. Kemudian menoleh ke samping kirinya, ke arah Raka. Raka mengetahui jika ada sesuatu yang sedang terjadi kepada ibunda kekasihnya itu. Namun ia mengurungkan niatnya untuk menanyakannya.
“Temani aku ya, Ka!” pinta Cinta yang disambut anggukkan dan senyum manis dari Raka.
“Iya, Sayang. Aku pasti menemani kamu,” sahut Raka.
Raka beranjak dari tempat duduknya terlebih dahulu. Kemudian mengulurkan tangan kanannya untuk membantu Cinta berdiri. Cinta sedikit kesulitan berjalan. Mungkin luka di lutut Cinta sudah mulai terasa sakit saat ini. Sesekali Raka memandang Cinta yang sedang meringis menahan sakit karena lutut kaki kanannya yang terluka. Tangan kanan Raka merangkul pinggang Cinta sedangkan tangan kirinya memegang tangan kiri Cinta untuk menuntun berjalan.
Suster Ana berjalan di depan Raka dan Cinta. Sesampainya di depan ruangan dokter Reisha, suster Ana masuk terlebih dahulu. Setelah mendapat ijin, kemudian mempersilahkan mereka berdua untuk masuk ke ruangan dokter Reisha.
“Silahkan duduk,” kata dokter Reisha sambil tersenyum, sesaat setelah Raka dan juga Cinta masuk ke dalam ruangannya.
“Bagaimana kondisi Bunda saya, Dok?” tanya Cinta kepada dokter Reisha.
“Kondisi Ibu Kalila semakin menurun. Dan saat ini, hidup beliau hanya bisa bergantung pada alat-alat bantu medis saja,” jelas dokter Reisha yang membuat Cinta mengeratkan genggaman tangannya dengan tangan Raka.
Raka menatap genggaman tangan itu. Tangan kekasihnya mulai terasa dingin. Membuat Raka menjadi semakin khawatir.
“Bukannya Bunda sempat sadar tadi?” tanya Cinta yang disambut anggukan oleh dokter Reisha.
“Benar, Ibu Kalila memang sempat tersadar tadi selama beberapa menit sebelum kondisinya memburuk kembali. Beliau sempat memanggil-manggil nama Illy.” Dokter Reisha menceritakan kondisi bunda Cinta dengan detail, membuat air mata Cinta mulai menetes.
“Jadi, hidup Bunda hanya bergantung dengan alat-alat yang menempel di tubuhnya saja?" ulang Cinta.
Dokter Reisha mengangguk menjawab pertanyaan Cinta yang sama dengan penjelasannya beberapa detik yang lalu.
“Secara medis, Ibu Kalila telah dinyatakan meninggal,” kata dokter Reisha.
Deg.
Raka dan Cinta seperti sedang terhantam batu meteor besar saat ini. Kepala mereka terasa berdenyut. Hati serasa mencelos. Jantung pun seakan tak berfungsi dengan normal dalam hitungan detik. Membuat napas keduanya tercekat di tenggorokan.
Raka melirik Cinta dari samping. Air mata Cinta telah mengalir dengan deras. Berulang kali Cinta mencoba menghapus air matanya, namun cairan bening dari matanya itu tak kunjung mereda. Raka mengusap punggung kekasihnya dengan perlahan.
“Jadi, bagaimana tindakan selanjutnya, Dokter?” tanya Raka mengambil alih percakapan ketika melihat Cinta sudah tak mampu lagi berbicara.
“Karena telah meninggal secara medis, maka semua keputusan kami kembalikan kepada keluarga Ibu Kalila. Membiarkan Ibu Kalila terus bergantung hidup dengan alat-alat bantu medis, atau mengikhlaskan Ibu Kalila dengan cara melepaskan semua alat-alat bantu di tubuhnya,” jelas dokter Reisha kembali.
“Mengikhlaskan? Dan melepas alat-alat bantu? Dokter meminta saya untuk membunuh Bunda?!” pekik Cinta emosi.
Helaan napas berat Raka berembus. Ia tahu bahwa ucapan dokter Reisha saat ini seperti seorang hakim yang sedang memberikan vonis mati.
“Begini Mbak Cinta, itu semua hanya saran saja. Semua keputusan ada di tangan Mbak Cinta dan juga Mas Raka. Kami tidak akan pernah melepas alat-alat bantu tersebut tanpa seijin keluarga. Kasus seperti ini sudah sering terjadi. Melepas alat-alat bantu bukan berarti membunuh pasien. Hanya saja, kita membebaskan pasien dari penderitaan rasa sakit. Dan mencoba untuk mengikhlaskan, agar pasien bisa pergi dengan tenang.” Dokter Reisha kembali menjelaskan dengan sabar.
“Adakah solusi yang lain, Dokter?” tanya Raka kembali.
“Beberapa kasus serupa yang pernah saya temui, ada salah satu cara yang bisa dilakukan tanpa harus melepas alat-alat bantu penunjang. Mereka yang telah dinyatakan meninggal secara medis biasanya sedang menunggu sesuatu. Percaya atau tidak, tapi hal ini sering terjadi. Adakah keinginan Ibu Kalila sebelum beliau sakit yang belum sempat Mbak Cinta lakukan?” tanya dokter Reisha kepada Cinta.
Cinta menggeleng menjawab pertanyaan dokter Reisha.
“Biasanya setelah keinginan pasien dilaksanakan, pasien akan meninggal dengan tenang tanpa harus melepaskan alat-alat bantu medis yang terpasang di tubuhnya,” lanjut dokter Reisha.
Raka mengangguk pertanda mengerti. Ia pernah mendengar cerita seperti itu.
“Ada yang mau kamu tanyakan lagi kepada dokter Reisha?” tanya Raka kepada Cinta.
Cinta menggeleng. Ia kembali menyeka air matanya yang masih saja menetes. Akhirnya Raka pun pamit kepada dokter Reisha.
Sepanjang perjalanan menuju ruangan bunda, Cinta hanya terdiam. Tatapan matanya kosong. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Cinta menggenggam tangan Raka dengan erat. Tangannya masih dingin, namun sudah tak sedingin saat di dalam ruangan dokter Reisha kala itu. Raka mengusap-usap rambut kekasihnya dengan perlahan. Mencoba menenangkan Cinta dengan caranya sendiri.
---
Raka mengerjapkan kedua matanya dengan perlahan. Kaki kirinya sudah mulai terasa pegal. Tangan kanannya terangkat untuk memijat tengkuknya yang terasa tegang dan membuatnya sedikit pening. Ia membenarkan posisi jaketnya yang digunakan untuk menyelimuti bagian kaki Cinta.
Ditatapnya wajah letih Cinta dengan lekat. Tangan kanannya kembali terulur untuk menyibakkan beberapa rambut yang menutupi wajah cantik wanita tercintanya. Kedua mata Raka tak pernah lepas memandang wajah cantik Cinta yang sedang tertidur lelap dengan berbantal salah satu pahanya. Ia melirik jam tangannya, pukul jam enam pagi. Dua jam Cinta tertidur seperti ini. Pantas saja, ia merasa salah satu kakinya sudah tak karuan.
Raka terkejut saat salah satu tangan Cinta tiba-tiba terangkat dan turun seperti sedang memukul. Mata Cinta segera terbuka. Dadanya naik turun. Napasnya terdengar tak beraturan. Raka segera memegang kedua tangan kekasihnya.
“Sayang, kamu kenapa?” tanya Raka penasaran.
Cinta menatap Raka tanpa berkedip. Kemudian ia segera terbangun. Keduanya saling beradu pandang satu sama lain.
“Ada apa, Ta? Kamu bermimpi buruk?” tanya Raka memastikan dan dibalas Cinta dengan menggelengkan kepalanya.
“Minum dulu, Sayang!” perintah Raka sambil memberikan sebotol air mineral kepada Cinta.
Cinta meraihnya dan menenggak minuman itu. Ia tampak seperti orang yang sangat kehausan.
“Aku tengok Bunda dulu ya,” ujar Cinta.
Raka menaikkan salah satu alisnya. Dada Cinta masih naik turun. Napasnya pun masih belum teratur.
“Mau aku temani?” tawar Raka.
Cinta menggeleng. Tatapannya masih sama, kosong. Entah kesadarannya sudah kembali atau belum setelah terbangun dari tidurnya. Raka mengangguk seraya tersenyum. Ia menatap punggung Cinta yang mulai menjauh dari pandangannya. Bunda berada di ICU, untuk itulah Raka dan Cinta tidak bisa menunggunya di dalam sana. Mereka menunggu di ruang tunggu yang telah disediakan. Beruntung, ruang tunggunya mirip seperti cafe dengan beberapa sofa yang terpisah.
Raka meluruskan kedua kakinya, lantas men-stretching kan badannya ke kiri dan ke kanan. Kedua tangannya ditarik ke atas kepala. Setelah selesai, ia menyandarkan kepalanya di kepala sofa sembari memejamkan kedua matanya kembali. Sedari kemarin, Raka hanya tertidur beberapa jam saja. Tak ada waktu untuk menikmati ranjang king size yang super empuk di apartemennya.
Kedua mata Raka kembali terbuka, saat sebuah pelukan mengerat di perutnya. Dahinya mengerut sambil membalas pelukan Cinta. Kedua mata Cinta terpejam. Ia memeluk Raka dengan sangat erat. Seakan takut jika kekasihnya, Raka, akan pergi meninggalkannya.
“Sayang, kamu kenapa?” tanya Raka cemas.
Cinta bergeming. Tangan kanan Raka terangkat untuk mendongakkan kepala Cinta agar bisa melihat wajahnya.
“Sayang, ada apa? Bunda nggak kenapa-kenapa kan?” tanya Raka yang masih bingung dan cemas.
Cinta menatap Raka dengan lekat. Kemudian menggelengkan kepalanya. Membuat Raka semakin bingung. Tangan kanan Raka mengusap pucuk kepala Cinta dengan lembut.
“Ada apa, Ta? Hmmm?!” ulang Raka kembali.
Cinta masih menatap Raka dengan tatapan takut nan sendu. Tangan kanannya meremas ujung kemeja Raka yang sudah keluar dari posisi rapinya.
“Raka, pinangan kamu sama aku yang waktu itu masih berlaku tidak?” tanya Cinta yang membuat Raka terdiam membeku.
“Aku mau menikah denganmu, Raka. Sekarang,” pungkas Cinta.
Raka terperanjat dibuatnya. Ia hanya bisa terdiam membeku karena terlalu terkejut seraya menatap Cinta dengan tajam. Jantungnya sudah merosot jatuh sepertinya. Hingga lidahnya seakan tak mampu lagi untuk berucap.
CintaRaka®
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia
ActionSebagian part sudah unpublished. Cerita ini sudah tersedia dalam bentuk novel dan e-book. Jun30,2015 ©