Chapter 5 : Decline

31.6K 1.7K 19
                                    

"JANGAN HARAP AKU AKAN MENERIMAMU DAN MEMANGGILMU IBU, KARENA BAGIKU MESKI IBU TELAH TIADA TAPI IA TAK TERGANTIKAN OLEH SIAPAPUN!"

Aku mengerti, sangat-sangat mengerti perasaan Bia ketika ada seseorang yang baru, masuk dan hadir dalam lingkaran kehidupannya secara tiba-tiba, itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk menerimanya dengan tangan terbuka. Apalagi menerima diriku yang sama sekali belum ia kenal dan asing baginya, tiba-tiba saja muncul dihadapannya dan telah menikah dengan ayahnya, menjadi istrinya dan otomatis menjadi ibu sambung baginya. Wajar saja jika ia marah dan kesal seperti itu. Mungkin ia belum rela jika posisi ibu kandungnya yang telah meninggal tergantikan. Apalagi pernikahan kami ini tidak ia ketahui sebelumnya.

Tapi jujur saja aku tidak bermaksud untuk menggantikan posisi ibunya, baik di hati Mas Bram atau di hati Bia sendiri dan anak-anak lainnya. Karena sampai kapanpun posisi ibu kandung takan pernah bisa tergantikan. Almarhumah akan selalu ada baik di hati Mas Bram ataupun anak-anak.

Akupun menyadari siapa diriku di rumah ini. Tidak lebih hanyalah sebagai seorang ibu sambung dan istri yang tidak di harapkan di rumah ini. Dan aku tidak akan memaksakan kehendak mereka untuk menyukaiku, biarlah mereka mencintaiku dengan sendirinya dengan setulus hati mereka dari yang paling dalam, tanpa ada paksaan, biarkan mereka menyukaiku dan mencintaiku dengan proses dari waktu ke waktu secara alami.

Dan diriku, ketika memutuskan untuk menikah dengan Mas Bram, aku telah bertekad dengan segenap jiwa untuk menyayangi dan mencintai mereka seperti anak-anakku sendiri, seperti anak yang lahir dari rahimku sendiri.

Tapi walaupun diriku sudah berlatih beribu-ribu kali untuk mendengar kata-kata barusan yang terlontar dari bibir mungilnya Bia, berlatih untuk sebuah penolakan. Supaya aku siap, supaya aku kuat ketika diriku menghadapi semua ini. Tapi kenapa rasanya masih saja terasa sakit sampai seperti ini.

Namun, rasa sakitku sedikit terobati ketika Bara mendekatiku dan memelukku sekali lagi, lalu ia berbisik di telingaku "Jangan sedih, Bara senang ada ibu di rumah ini. Maafkan kak Bia ya! Dan Biarkan Bara memanggilmu Ibu."

Aku menangkap sebuah kasih tulus yang terpancar dari manik matanya yang kecil di balik kaca matanya. Ia tersenyum hangat kepadaku. Dan menghapus setetes air mata di sudut mataku. Dan mengucapkan kata-kata yang mampu membuat hatiku tenang sekaligus senang "Bara senang ada ibu."

Lalu aku membalas senyuman dan pelukannya dan berkata "Ibu juga senang bertemu denganmu."

"Ibu, sssttt...!" Bara menempelkan jari telunjuk dibibirnya "Jangan bilang-bilang ka Bia kalo aku ngobrol sama Ibu ya." Bara berkata dengan penuh permohonan kepadaku.

"Kenapa?" Tanyaku.

Ia kemudian mendekati telingaku dan berbisik "Kak Bia ga bakalan suka aku berbicara sama Ibu."

Dahiku mengernyit menampakan kerutan, berpikir, mencerna ucapan Bara yang di bisikan di telingaku, dan setelah aku mengerti maksudnya, akupun mengangguk menyetujuinya sambil berkata "Baiklah."

Setelah melakukan pinky promise denganku, Bara pun beranjak pergi meninggalkanku sendiri diruangan ini.

Aku mencoba berdiri walau terasa berat kaki ini untuk menopang tubuhku, kakiku terasa lemas setelah kejadian yang menimpaku barusan, dengan gontai ku langkahkan kaki ini menuju kamar yang tadi aku tempati.

Aku menghela nafas panjang, teringat kembali perkataan Bia dan sikap dingin Mas Bram padaku. Apa yang harusku lakukan untuk mencairkan ketegangan ini. Aku hanya tak ingin suasana canggung dan kaku seperti ini di hari pertama aku tinggal di rumah ini sebagai istri dan ibu bagi anak-anak Mas Bram.

Tidak mudah memang untuk membuat mereka menyukaiku, apalagi Bia yang semenjak awal sudah menolakku secara mentah-mentah. Namun aku selalu percaya lambat laun mereka akan menyukaiku dan mencintaiku, karena naluri seorang anak kecil sangatlah peka dan tak bisa di bohongi, mereka akan tahu apakah aku tulus mencintai mereka dengan segenap hati atau hanyalah sebuah kepura-puraan untuk menarik simpati mereka saja.

Namun kata-kata Bia sore tadi masih saja terngiang di telingaku, bagaikan sebuah nyanyian yang mengalun dari kaset kusut nan rusak, sakit dan sangat perih di dalam hati ini.

Aku sama sekali tidak tahu harus berbuat apa untuk menghadapinya, ini semua membuatku shock dan juga bingung. Dan ini sesuatu yang baru dalam kehidupanku. Menikah, dan langsung menjadi seorang ibu. Baru beberapa hari aku memulai kehidupan dengan berumah tangga, namun Tuhan telah mengujiku dengan cobaan-cobaan yang menimpaku.

Betapa Tuhan sangat baik kepadaku, memberikan anugrah sekaligus cobaan di saat bersamaan. Aku menikah, aku telah menjadi istri, aku mempunyai suami, sekaligus aku mempunyai anak dan menjadi ibu. Aku bahagia, namun di sisi lain kebahagianku beriringan dengan kesedihan, suamiku dan anak pertamanya tidak menyukaiku dan tidak menginginkanku!

Hatiku sakit, apalagi ketika suami yang sangat kau harapkan untuk membantu dan menolongmu, memberikan penjelasan, sama sekali tidak berbuat apa-apa dan tidak mengatakan sepatah katapun untuk membela dan menolongmu.

Bukan berarti aku ingin di bela, tidak! Aku hanya ingin Mas Bram memberikan sikap tegasnya sebagai ayah dan memberi tahu dan pengertian kepada anaknya, bahwa apa yang telah ia lakukan kepadaku sangatlah tidak sopan. Berbicara dengan orang yang lebih dewasa dengan berteriak di hadapannya bukanlah sikap yang baik, apalagi ia adalah seorang gadis. Yang seharusnya mempunyai tatak rama dan sopan santun.

Tapi Mas Bram hanya diam saja, dia sama sekali tidak memperdulikanku, membiarkan Bia berteriak dengan lancang di hadapanku dan di hadapannya. Ia tidak melakukan pembelaan apapun untuk menyelamatkanku darinya. Ia membiarkan harga diriku jatuh, di permalukan secara telak di hadapannya.

Wanita mana yang tidak sakit hatinya ketika mendapat perlakuan seperti itu, sungguh dua kali lipat rasa sakit yang timbul di dalam hati ini.

Apalagi yang bisa ku lakukan selain menumpahkannya dalam sebuah tangisan. Menangis sendiri, mengunci diri di kamar mandi, meratapi nasib yang alangkah kejamnya kepadaku.

Sejujurnya, aku bukanlah tipe orang yang suka menangis, namun sialnya rentetan kejadian yang membuat sesak dada ini, membuatku menjadi wanita yang lemah dan cengeng seperti ini. Akupun seperti tak mengenali diriku sendiri.

Aku menangkupkan ke dua telapak tanganku, menutup mukaku, menangis tanpa suara di keheningan malam tanpa bintang.

Air mata ini tak henti-hentinya menetes. Kala teringat kejadian sore tadi dan sikap yang di tunjukan oleh Mas Bram, Tak ada pembelaan atau pembenaraan darinya untukku. Dia diam, pergi meninggalkanku begitu saja, yang disusul oleh Bia anaknya yang melihatku sejenak dengan tatapan permusuhan dan kebencian di matanya.

Ya Tuhan! Sungguh aku tidak tahu akan seperti apa rumah tangga ini kedepannya. Sanggupkah aku bertahan bersamanya, berlayar mengarungi kehidupan ini dalam bahtera rumah tangga yang tak sejalan dan tak tentu arah ini, menghadapi semua badai kehidupan sendiri tanpa ada tangan yang terulur untuk menolong. Sementara sang nahkoda hanya diam dan tidak memperduliakan awak penumpangnya. Membiarkan diriku mati pelan-pelan dalam kesedihan dan kepedihan.

Aku tak mampu berbuat apa-apa. Terlambat bagiku untuk menyesali dan kembali. Kini aku sudah berada di tengah lautan samudera kehidupan bersamanya. Tak ada gunanya rasa sesal ini, yang harus ku lakukan saat ini bukanlah merubah arah angin. Tapi mencairkan hati sang nahkoda dan bekerjasama dengannya, bersama-sama mengarungi biduk rumah tangga ini supaya selamat dari hempasan badai dan terpaan topan kehidupan.

***

Adakah Aku di Hatimu [Tersedia E - Book di Google Play]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang