Chapter 9 : Sebuah Kunjungan

31.5K 1.8K 84
                                    


"Kata orang benci dan cinta itu sangat tipis sekat pembedanya."

***

"Apa maksudmu!?" Mas Bram memutar bola matanya jengah, ia nampak tak senang, Intonasi suaranya begitu tinggi, ada nada ketersinggungan disana. Merasa tidak terima dengan yang ku katakan barusan.

"Kau yang lebih tahu maksudnya!" Saat ini, emosiku tak bisa lagi di kendalikan "Sesuatu yang dipaksakan tidak akan baik akhirnya dan aku tak ingin itu terjadi, akupun tak ingin kau merasa terpaksa menjalani ini semua, pernikahan ini tidak akan berjalan baik jika diawali dengan keterpaksaan. Tidak akan ada kebahagian di dalamnya, salah satu pihak di antara kita hanya akan tersakiti dan menyakiti, pernikahan ini tidaklah sehat, bukan lagi ibadah yang akan kita tuai tapi justru yang akan kita dapatkan adalah dosa, karena kita sudah mempermainkan janji suci di hadapan Tuhan. Dan pernikahan bukanlah sebuah permainan."

Aku menarik napasku pelan, mencoba untuk bersikap tenang kembali, menerima dan sabar apapun keputusan yang akan ia ambil "Keputusan ada di tanganmu, mas. Aku ikhlas jika ini demi kebaikan bersama."

Mas Bram mendengus kesal, gurat amarah terlihat jelas di wajahnya, ia mungkin tidak menyangka jika aku secepat ini akan mengatakan hal itu, beberapa kali ia terdengar menarik nafasnya dalam kemudian dengan angkuh ia melipat tangan di dada, mengatur kembali ritme nafas yang membuncah karena amarah "Kau pikir berpisah itu mudah seperti membalikan telapak tangan. Heh! Jika semudah itu, akupun akan melakukannya sejak hari pertama kita menikah."

Lagi dan lagi, perkataannya selalu berhasil menohok hati ini. Tak bisakah ia berbicara dengan lembut kepadaku?

"Tapi." Ia menggantungkan perkataannya, diam sejenak "Jika ini adalah keinginanmu, dengan senang hati aku akan melakukannya."

"Mas!" Seruku dengan nada suara yang cukup tinggi "Sudah kukatakan aku akan menerima apapun keputusanmu, bukan keinginanku untuk berpisah seperti yang mas pikir."

"Tapi kau yang..."

Tok,,,

Tok,,,

Tok,,,

Tiba-tiba suara ketukan pintu melerai ketegangan di antara kami dan menghentikan ucapan yang ingin di katakan oleh mas Bram. Mas Bram melangkah ke arah daun pintu.

"Ada apa, mbok?" Tanya mas Bram dengan intonasi suara yang kembali lembut dan sopan, sesaat setelah membuka pintu.

"Maaf den Brama kalau si mbok mengganggu, itu, di depan ada Ibu."

"Ibu!?"

Sama halnya dengan mas Bram, akupun terkejut dengan kedatangan ibu yang tiba-tiba, segera ku hapus air mata yang masih membasahi pipi ini.

"Baik, mbok. Saya segera ke sana."

Mas Bram nampak bingung dan juga kalut, ia kemudian melihat ke arahku "Nanti saja kita lanjutkan pembicaraan ini!" Tanpa berkata apapun lagi, ia segera melangkah menuju ruang keluarga untuk menemuai ibunya, ibu mertuaku yang datang secara tiba-tiba tanpa memberitahu kami terlebih dahulu. Dan Aku berjalan, mengekor di belakang mas Bram.

"Bu."

Mas Bram segera meraih dan mencium telapak tangannya dengan hormat, begitu juga denganku, melakukan hal yanh sama dengan apa yang dilakukan oleh mas Bram.

"Bagaimana kabar ibu?" Tanyaku, memaksakan sebuah senyuman senatural mungkin.

"Baik, sayang." Ia memelukku kembali.

"Kenapa ibu tidak memberitahu kami dulu jika akan datang." Tanya mas Bram sedikit kesal.

"Kenapa, tidak boleh!?"Mata ibu membelalak kesal.

Adakah Aku di Hatimu [Tersedia E - Book di Google Play]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang