Chapter 3 : Jodoh Yang Tak Di Sangka

39.9K 1.9K 39
                                    

Adakalanya jodoh datang tanpa diundang, datang tiba-tiba tanpa kita duga sebelumnya dengan orang yang tidak pernah kita sangka, langsung dituntut untuk menikah sesegera mungkin padahal kita hanya bertemu beberapa kali saja, itupun dalam situasi yang tidak bisa dikatakan baik. Dan kini itulah yang saat ini terjadi kepadaku!

Aku dituntut menikah lebih tepatnya dijodohkan dengan lelaki yang mengenalkan namanya Bram ketika ia dan keluarganya berkunjung ke kediaman orang tuaku beberapa waktu lalu. Aku sama sekali tak menyangka jika kedatangannya waktu itu selain untuk ber-silaturahim, mereka yang adalah orang tuaku dan orang tuanya telah bersekongkol sebelumnya untuk mempertemukan dan menjodohkan kami dan tak tanggung-tanggung menentukan jadual pernikahan. Ketika aku mengajukkan protes mereka sependapat "Menikah itu baik dan tidak baik menunda niatan baik, bukankah lebih cepat lebih baik."

Saat itu ingin rasanya aku menenggelamkan diri kedasar lautan yang paling dalam, menyembunyikan diriku didalam perut bumi untuk menghindar. Bukannya aku tak ingin menikah, ingin sekali malah, tapi caranya tidak seperti ini! Bayangkan saja menikah dengan lelaki yang baru ditemui, lelaki yang sama sekali tidak kalian kenal sedikitpun, kepribadiannya, sikapnya, sifatnya, semua buta tentang dirinya. Bagaimana bisa menikah jikalau begitu!? Lupakan dulu untuk urusan cinta!

Soal cinta, ibu bilang cinta akan tumbuh seiring waktu berjalan, cinta akan datang dengan sendirinya, cinta akan muncul tanpa diminta, Jika bertanya adakah pernikahan yang berhasil tanpa cianta di awal, ibu dan bapak adalah contohnya, jadi tak perlu merisaukan soal cinta karena cinta bukanlah dasar dari sebuah pernikahan. Begitulah kata ibu ketika aku berusaha untuk mengurungkan pernikahan ini.

Aku belum gentar, aku belum menyerah, seribu cara aku lakukan untuk menggagalkan penikahan yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini, setidaknya beri aku waktu dan dirinya untuk saling mengenal satu sama lain, beri aku ruang waktu untuk melihat lebih jauh karakter dan kepribadiannya, sedikit saja beri aku waktu untuk menilai dirinya.

Dan yang lebih membuatku kecewa, Bram, dia sama sekali tidak peduli dan tak mendukungku ketika aku mengutarakan semua ini padanya, dia apatis, tak acuh, masa bodoh mau kapanpun pernikahan ini akan dilaksanakan, pada akhirnya tetap akan menikah juga. Bram andalan terakhirku untuk menunda pernikahan ini membuatku putus asa karena sama sekali tidak ada yang berpihak kepadaku. Orang tuaku, orang tuanya, mereka terlalu senang dengan perjodohan ini.

Dan aku hanya bisa pasrah, menyerahkan segalanya pada Tuhan yang mempunyai takdir hidup setiap manusia. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menuruti kemauan mereka, selain mengikuti kehendak mereka. Dan aku tak bisa mengelak lagi, hatiku luluh ketika mereka menjadikan si kembar Bagas dan Bagus sebagai alasan dan tujuan diadakannya pernikahan ini "Bagas dan Bagus masih kecil, mereka butuh kasih sayang, mereka butuh belaian seorang ibu."

Iya, Bram atau Arjuna Bramastya Wijaya adalah ayah dari si kembar Bagas dan Bagus, dia adalah anaknya ibu Retno dan Pak Budi, dia lelaki yang aku temui secara tidak sengaja didepan resepsionis dan pintu kamar tempat Bagas di rawat di rumah sakit waktu itu. Dia calon suamiku, calon imamku yang tak pernah aku sangka jika dia adalah jodoh yang telah Tuhan siapkan untukku, jodoh yang Tuhan kirim berikut paket lengkap didalamnya, karena tak hanya Bagas dan Bagus saja anaknya, jika tak salah namanya Bia dan Bara, kakak dari dari si kembar.

Aku tidak tahu apakah aku harus senang dengan pernikahan ini, senang yang akhirnya aku tak perlu risau lagi ketika ditanya sudah menikah atau belum, senang ketika akhirnya aku melepas masa lajangku, aku tidak tahu. Karena hatiku sedikit ragu untuk memulai sebuah perjalanan baru ini, sebuah perjalanan yang sekali untuk selamanya, pernikahan!

Ibu menguatkanku dengan berbagai nasehat dan pengalam hidupnya "Tak ada yang bisa memprediksi jalan hidup kita kedepannya, Aini. Tidak ada yang tahu siapa jodoh kita, bahkan kita juga tidak tahu kapan kematian akan menghampiri kita. Semuanya misteri, seperti dirimu dan nak Bram, tidak ada yang menyangka dan menduga jika kalian akan berjodoh, namun semuanya sudah di atur oleh Allah. Allah mempertemukan jodohmu melalui si kembar dan campur tangan bu Retno, yang melihatmu begitu menyayangi keduanya, bu Retno menginginkan yang terbaik untuk cucu-cucunya dan ketika ia melihatmu dan berinteraksi untuk pertama kalinya dengan Bagas hatinya berkata jika dirimulah yang pantas menjadi ibu bagi cucu-cucunya dan istri untuk anaknya."

Bak gayung bersambut, ibu yang risau melihat anak gadisnya yang masih lajang diusia dua puluh delapan tahun, ia langsung mengiyakan dan mengamini permintan bu Retno untuk mempersuntingku, menjadikanku sebagai ibu pengganti bagi cucu-cucunya, menjadi istri bagi anaknya tanpa merundingkannya denganku, tanpa mempedulikan perasaanku, tanpa memberitahuku terlebih dahulu.

Oke! Aku tak punya kesempatan untuk lari lagi.

Dan disini, hari ini di hadapan penghulu kami mengucap janji suci ikatan pernikahan untuk setia selamanya saling berbagi dan saling menyayangi satu sama lainnya. Mengikat kehidupan bersama seorang lelaki yang kini menjadi suamiku. Ya! Sekarang aku sedang melangsungkan pernikahan. Melepas masa lajangku, dan kini orang-orang tidak akan memanggilku dengan sebutan perawan tua lagi. Aku sudah menikah dengan lelaki pilihan orang tuaku.

"Sah!"

Pak penghulu mensahkan pernikahan kami ketika mas Bram selesai mengucapkan ijab kobulnya dengan lancar tanpa terbata-bata, yang diikuti oleh saksi, keluarga dan kerabat serta teman terdekat kami. Mensahkan ijab kobul yang diucapkan lelaki yang berada disampingku yang sekarang sudah sah menjadi suamiku menjadi imam untukku. Dan akupun telah resmi menjadi istri dan ibu.

Ya. Aku seorang ibu, walaupun bukan ibu kandung karena mereka tidak lahir dari rahimku. Aku bukan pula sebagai ibu pengganti untuk mereka karena bagiku posisi ibu kandung kedudukannya tak bisa digantikan oleh siapapun. Siapapun diriku bagi mereka. Aku akan menyayanginya seperti anak-anakku sendiri, merawat dan membesarkan dengan tanganku sendiri, akan kupastikan setiap kebutuhannya tercukupi. Akan kupastikan jika mereka tumbuh dengan baik dan sehat, dan aku akan mencintai mereka dengan segenap hatiku, itu janjiku.

Acara pernikahan kami yang sederhana ini sudah selesai, tamu-tamu pun satu persatu mulai pergi. Tinggal Orang tua, keluarga dan kerabat yang masih ada. Aku merasa tidak tahu apa yang harus Aku lakukan setelah resepsi pernikahan ini selesai. Dari sudut mataku, aku melirik ke arah Mas Bram yang sedari tadi tak lelah menyalami para tamu, bibirnyapun tak berhenti tersenyum, namun mata itu tidak bisa membohongiku, pancaran mata itu membuatku sadar akan satu hal, iapun tak menyukai dan menyetujui pernikahan ini. Dan jika ia tidak menyukai pernikahan ini kenapa dirinya harus menyetujuinya, kenapa ia harus menuruti permintaan orang tuanya!?

Dari awal, ketika orang tua kami membicarakan perjodohan ini, aku tahu, mas Bram sama halnya denganku sama sekali tidak menyukai ide perjodohan ini. Namun ia sama sekali tidak mengatakan apapun, tidak mengiyakan, tidak pula menolaknya. Dia, Mas Bram hanya mengikut semua apa yang dikatakan oleh orang tuanya. Bahkan seperti yang telah kukatakan sebelumnya ia tak membantuku untuk mengurungkan niatan orang tua kami.

Aku tidak tahu sebenarnya siapa yang menikah. Aku dan Mas Bram atau kedua orang tua kami, karena merekalah saat ini yang terlihat amat bahagia. Bahagia karena akhirnya aku menikah, bahagia karena akhirnya cucu-cucunya punya ibu. Haruskah aku ikut bahagia dn tersenyum seperti mereka orang tuaku dan orang tua mas Bram yang telah menjadi orang tuaku juga, tetapi bagaimana aku bisa bahagia dan tersenyum jika yang menjadi pendampingku, suamiku tidak bahagia dengan pernikahan ini. Aku tak mungkin bahagia dan tersenyum di atas kesedihan orang lain.

Aku pernah bertanya kepadanya, kepada mas Bram sehari sebelum pernikahan ini dilangsungkan mengenai perjodohan ini dan dia dengan tak acuhnya hanya mengatakan kepadaku sesuatu yang membuat nyaliku menciut, langkahku terasa berat untuk memulai pernikahan ini, karena aku merasa jalanku tak akan mulus dan tertatih untuk membina biduk rumah tangga yang terasa pincang jika hanya aku sendiri yang berdiri untuk menegakan dengan kokoh pernikahan ini, sementara mas Bram sama sekali tidak peduli.

Dan ia berkata "Aku bisa apa, percuma saja mengemukakan pendapat, toh pada akhirnya ibuku tetap akan memaksaku untuk menikahimu. Namun ada beberapa hal yang perlu kau tahu, aku menikah bukan untuk mencari seorang istri, aku menikah bukan mencari seorang ibu untuk anak-anak ku, aku menikah hanya karna ingin Orangtua ku bahagia di masa tuanya, membuat dia tenang dan bukankah kaupun sama seperti ku? jika kau ingin membatalkan perjodohan ini silahkan, dan jika kau ingin melanjutkan perjodohan ini juga silahkan, karena bagiku keduanya sama saja, tidak masalah dan tidak ada bedanya sama sekali. Keputusan ada ditangan mu."

***

To Be Continud...

Adakah Aku di Hatimu [Tersedia E - Book di Google Play]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang