PART 2

9.1K 567 21
                                    

--


Aku langsung menutup leptop ku—lebih tepatnya membanting—dan memasukkannya kembali kedalam tas ranselku. Lalu menghabiskan kopi hitamku dan meninggalkan satu lebar uang seratus ribu. Dengan terburu- buru aku meninggalkan mejaku tanpa menoleh kearahnya lagi.


Biru Regastya Triwulan. Masa lalu yang tak ingin kukenang kembali.


"Wulan!!"


Demi jeruk Bali yang bundar, kenapa dia mesti mengejarku?!


"Wulan!!"


Dengan kalap aku langsung masuk kedalam taksi yang sedang berdiam dipinggir trotoar.


"Jalan pak! Cepetan, saya lagi dikejar- kejar psikopat nih!"


Dengan panik aku menepuk- nepuk sandaran kursi kemudi. Aku menatap Biru yang semakin dekat dengan taksi ini dan pacarnya yang mengejar dibelakang tanpa menyadari bahwa roknya sedikit terangkat.


"Tapi bu, dibelakang sudah ada penumpang saya."


Aku menegakkan dudukku dan menatap tempat duduk sampingku. Holy apple, orang yang menempati kedudukan pertama yang sangat sangat tak ingin kujumpai.


Ares Wira Bratayuda.


Aku meringis untuk yang kedua kalinya karena tatapan matanya tak juga berubah dari dua tahun lalu saat kami berpisah, dingin.


Dasar apple, orange. Kenapa juga aku bisa berjumpa dengan dua mantan ku? Satu mantan pacar saat aku kuliah, satunya mantan suamiku. Apa hari ini adalah hari tersialku? Ingatkan aku untuk mendekam dirumah saat hari Rabu.


Aku mengalihkan tatapanku kearah jendela dimana Biru sudah mengetok- ngetok jendela mobil. Supir taksi yang duduk di depanku bergidik ngeri, aku tahu dia pasti takut kalau kaca jendela taksinya akan pecah kalau digedor- gedor seperti itu.


"Wulan?! Kita harus bicara!"


Kembali kutatap Ares yang masih memandangku dingin seakan berbicara keluar kau dari sini sekarang juga. Demi kopi hitam, apa aku harus keluar dari taksi dan menghadapi mantan yang terobsesi padaku? Yang benar saja!


Aku meremas ujung kemejaku dan menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya. Aku menganggukkan kepalaku dan mencoba untuk keluar dari taksi laknat ini. Ingatkan aku untuk tidak naik taksi ini lagi.


"Jalan pak."


Aku melongo kearah jendela. Seakan mendengar suara malaikat penolongku, aku menoleh kearah Ares dan meraih tangannya kemudian berterima kasih sambil menundukkan tubuhku. Sampai kemudian dia menarik tangannya dengan paksa seakan merasa jijik dengan tanganku. Aku hanya bisa tersenyum kecut padanya.


Taksi yang kami tumpangi berhenti disebuah taman kecil dekat dengan area perhotelan. Dengan gaya angkuhnya, Ares berkata:


"Turun kamu."


Singkat, padat dan jelas. Aku cukup tercengang sebenarnya. Walaupun kami sempat menikah selama dua tahun karena perjodohan, tapi dia tidak pernah berlaku seperti ini padaku. Aku merasa diusir dari taksi ini. Aku merasa kalau ia tak sudi lagi dekat denganku.


Dengan wajah pias aku turun dari taksi, padahal rumahku masih jauh lagi. Aku masih bisa menatap wajah dinginnya yang dulu sempat membuat jantungku berdetak kencang, bahkan sampai sekarang aku tak pernah melupakannya.


"Jika kau melihat aku dimanapun itu, jangan sekali- kali kau tunjukan wajahmu padaku. Berlakulah seperti kita tak saling kenal."


Setelah berkata seperti itu, ia meninggalkanku ditengah terik matahari siang. Bahkan aku belum sempat berterima kasih padanya. Dasar manusia gua! Manusia angkuh, egois, nyebelin!


Dengan memaki- maki Ares aku menunggu taksi berhenti didaerah taman ini. Tapi tak kunjung ada taksi yang lewat. Waduh, masa aku mesti jalan kaki?! Kan gak lucu!! Siang bolong begini mesti jalan kaki.


Sambil menghentak- hentakkan kakiku, aku berjalan menyusuri trotoar untuk mencari taksi. Memang Ares sialan! Gak punya hati. Kenapa coba dia mesti turunin aku dijalanan sepi. Memang manusia es sialan!


***


Sampai dirumah aku langsung memasuki kamarku dan mendarat dengan mulus di tempat tidur. Meluruskan kakiku yang masih terasa pegal karena harus berjalan beberapa meter hingga bertemu supir taksi.


Memang hari Rabu pembawa sial. Aku harus mendekam dirumah kalau hari Rabu, biar gak kena sial. Tapi kalau dipikir- pikir sangat amat kebetulan kalau aku bertemu dengan Ares. Dari sekian banyak orang yang kukenal, kenapa mesti Ares yang kujumpai? Begitu juga dengan mantanku, si Biru. Si psikopat sinting, tukang selingkuh, stalker sejati.


Aku mendesah dengan panjang. Bertemu dengan Ares kembali membuka luka lamaku. Benar katanya, aku harus menjauhi dia jika kami bertemu lagi. Aku tak mau terluka untuk yang kesekian kalinya.


***

My Perfect EXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang