PART 3

8.3K 532 9
                                    

--


"Nah, kalau begini kan bagus. Kalimatnya juga cocok. Baiklah aku akan menerbitkan novelmu ini. Tapi ingat, kau harus cepat- cepat buat sequel- nya. Bulan depan paling tidak sudah harus ada dua part."


"Yaelah, Mas. Nggak bisa santai dulu yah? Baru juga selesai ini, masa udah disuruh kerja rodi lagi. Nggak kasihan sama tubuhku nih, udah kebanyakan kafein Mas."


Aku memasang wajah memelas pada Mas Danu yang masih membolak- balikkan kertas A4 milikku. Mas Danu menggeleng- gelengkan kepalanya tanda ia tak setuju. Dia pasti tahu tabiatku kalau lagi menulis novel.


"Yang ini saja lama selesainya, kalau kau minta waktu buat santai bisa- bisa gak muncul- muncul sequel cerita ini."


Ya, aku memang sangat lama dalam menulis cerita. Walaupun Mas Danu sudah memaksa- maksa aku untuk cepat menyelesaikan tulisanku tapi tetap saja aku harus menunggu mood menulisku muncul. Kalau aku menulis tanpa mood-ku bisa- bisa hasil tulisanku jelek.


Aku mulai menulis sejak SMA, hanya saja tidak pernah kukirim ke penerbit. Baru dua tahun yang lalu aku mulai mengirim hasil karyaku ke penerbit. Ya, sejak aku bercerai dengan Ares si Manusia Es Batu.


Aku hanya bisa membalas perkataan Mas Danu dengan cibiran dalam hatiku. 


Dasar om- om gak laku. Sukanya merintah aja. Ngeselin. Pengen banget rasanya kupotong lidah tajamnya itu. Memang manusia egois


"Aku tahu kau sedang mengataiku, Wulan." Aku hanya mendengus padanya, tahu bahwa percuma saja kalau aku mengelak.


"Ya sudah, bagaimana kalau nanti malam kutraktir kau makan?"


Aku terperangah mendengar perkataannya. Tumben dia baik begini. Selama dua tahun mengenal Mas Danu, tak pernah dia sebaik ini.


"Wah, ada kabar baik apa sampai kau mau mentraktir aku makan?"


Mas Danu hanya tersenyum dan menatapku. Tunggu dulu, sikapnya sangat aneh hari ini. Sebenarnya ada apa dengannya?


"Aku menemukannya, Lan."


"Ap—ooh. Dimana?"


"Nanti kuceritakan. Kau tunggu disini dulu ya, aku mau keruangan Pak Surya sebentar."


Dua tahun mengenal Mas Danu membuatku tahu tentang dirinya. Dibalik pekerjaan kami sebagai editor dan penulis, kami merupakan sahabat baik. Aku tahu apa yang sebenarnya dibicarakan oleh Mas Danu.


Mbak Irma, mantan tunangan yang selalu dicari- cari Mas Danu. Entahlah, yang kutahu Mas Danu dan Mbak Irma—aku tak pernah bertemu dengan Mbak Irma—hampir menikah, namun Mas Danu tak pernah mau memberitahukan alasan batalnya pernikahan mereka. Tapi aku yakin Mas Danu sangat mencintai Mbak Irma.


"Sudah selesai?"


Mas Danu baru saja masuk ke ruangannya kembali sambil menenteng kertas A4 ku. Dia tersenyum padaku seraya mengambil jaket miliknya.


"Ayo."



***



Aku makan dengan hikmat sambil sesekali mendengar Mas Danu bercerita tentang bagaimana ia bisa bertemu dengan Mbak Irma.


"Jadi, bagaimana kelanjutannya? Kalian akan menikah?"


Aku mulai angkat bicara setelah menghabiskan makananku. Wajah Mas Danu berubah menjadi 3L, Lesu, Lemah, Lunglai. Aku mengangkat alisku melihat perubahan wajah Mas Danu. Tumben dia sangat ekspresif. Biasanya kaku kayak patung.


"Tampaknya Irma gak mau bertemu denganku, Lan. Aku mesti gimana?"


Aku menghela nafasku. Tahu bahwa sahabatku sedang terkena masalah percintaan. Aku mengambil air putih yang ada diatas meja dan meneguknya.


"Ya kejar dong. Kalau Mas cinta dengannya ya Mas harus memperjuangkannya."


"Tapi kalau Irma tak ingin diperjuangkan, aku harus bagaimana?"


Wajah Mas Danu semakin pias. Aku jadi kasihan padanya. Makanya jangan selalu menggunakan kata- kata tajam padaku, dasar manusia lidah tajam. Kena karma kan kau!


"Wulan!!"


Aku hanya nyengir mendengar amarahnya. Sudah kubilangkan Mas Danu ini cenayang. Bisa baca pikiran orang.


"Mas percaya nggak kalau Mbak Irma masih cinta sama Mas?"


Mas Danu menganggukkan kepalanya. Aku yakin dia juga membaca pikiran Mbak Irma.


"Mas, wanita itu beda dimulut beda di hati. Kalau Mas yakin Mbak Irma masih cinta dengan Mas, ya Mas harus terus memperjuangkan cinta Mas."


Mas Danu tersenyum dan meraih tanganku yang ada di atas meja. Dengan sangat anehnya dia mencium tanganku sambil mengucapkan kata terima kasih secara beruntun.


"Oh, ini kelakuan kamu setelah bercerai dengan anak saya? Memang bagus kalian bercerai. Kamu sama sekali tak pantas untuk anak saya."


Aku terdiam membeku di tempat dudukku. Aku tahu suara ini. Suara mantan ibu mertuaku. Salah satu orang yang beralih membenciku setelah bercerai dengan Ares. Ya, hampir semua orang mengatakan bahwa perceraian ini akibat keegoisanku. Aku bahkan sudah dicerca habis- habisan oleh keluarga besar Ares. Dan sekarang setelah dua tahun menghilang, aku kembali bertemu dengan keluarganya.


"Tau begini, aku tak akan sudi menjodohkan anakku denganmu. Wanita tak tahu malu."


Setelah mencercaku, mantan ibu mertuaku melangkahkan kaki anggunnya meninggalkan restoran ini.


"Wulan, kau baik- baik saja kan?"


Aku menggeleng. Jelas aku tidak baik- baik saja.



Aku sakit.


***

My Perfect EXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang