PART 7

9.4K 619 34
                                    

BAIKLAH!!!!!

saya mohon maaf yang sebesar- besarnya karena telah menelantarkan cerita ini.

tapi tunggu, saya punya alasan tentu saja. saya sedang sibuk kuliah beberapa bulan ini. dan tampaknya beberapa bulan kedepan juga akan begitu. 

saya berterima kasih pada kalian yang masih setia membaca dan memberikan comment serta vote pada cerita abal- abal saya ini. 

ini tentu saja tidak seberapa, karena saya tau kalau part yg saya post ini terlalu pendek. jadi saya minta maaf untuk itu juga.

jangan lupa di comment dan vote yaaaa. saya juga menerima saran dan kritik. jgn segan- segan untuk mengobrol dengan saya :)

__

PART 7


"Apa? Kau ngomong apa tadi? Pura- pura gimana?!" Aku berseru histeris mendengar pernyataanya tadi. Salah, lebih tepatnya perintah Ares yang selalu tidak mau ditolak.

"Tidak usah teriak juga! Kau sama sekali tak berubah." Dia menggosok- gosok daun telinganya. Ish, lebay banget.

"Aku nggak mau." Aku melangkah menjauh darinya yang duduk di sofa ruang tamuku. Sengaja aku menghidar agar tidak melihat matanya yang tajam penuh paksaan itu.

"Oh, ayolah Wulan. Dia taunya kita masih bersama. Lagian kau senang kan balik lagi sama aku?" Holy shit, Ares benar- benar kesambet. Aku hanya menggeleng- gelengkan kepala mendengar penuturan atas kepedeannya itu.

"Sejak kapan kau jadi pede begini ha? Kesambet setan dimana?"

"Sialan! Aku nggak kesambet setan. Ini benar- benar mendesak, Wulan. Jangan sampai aku memohon." Aku bisa merasakan Ares duduk dibelakangku yang sedang pura- pura melap piring padahal piringnya udah kering.

"Sekali tidak tetap tidak. Kau tahu kan mama benci banget sama aku. Aku nggak mau buat mama makin benci dengan cara bohong begini."

"Dia nggak akan benci. Mama juga pasti setuju kok. Please, Wulan. Kau sayang kan dengan oma." Hmm, wanita renta yang menjodohkanku dengan Ares. Dia sangat penyayang.

"Gak bisa, Res. Lebih baik kau bicara jujur saja padanya." Aku berbalik dan menatap dirinya yang tak banyak berubah. Wajah yang dulu dan sekarang tetap menatapku dingin, tanpa ada rasa cinta. Bahkan sampai kami berpisah. Memang benar hanya aku yang peduli.

"Ayolah." Ares tetap memohon padaku. Shit, aku paling susah untuk menolak permintaannya.

"Aku nggak mau menyakiti orang yang kusayang, Res." Termasuk diriku juga.

"Jadi kau rela oma menangis?" Aku mengangguk pasti. Sekilas aku dapat melihat kilatan amarah dimatanya yang hitam.

"Lebih baik begitu." Aku tidak mau sakit lagi.

"Memang benar kau adalah wanita paling egois." Setelah itu dia beranjak pergi tanpa menoleh kearahku yang sudah menitikkan air mata.

***

Masih dengan jelas terngiang di kepalaku perkataan Ares sore itu. Yah, mau bagaimana lagi. Sepertinya wanita egois sudah jadi nama keduaku bagi keluarga Ares.

"Wulan!" Aku menoleh kearah belakang dimana tampak seorang pria dengan balutan kemeja warna biru muda. Oh tidak lagi. Kenapa aku harus bertemu mantan abang iparku disini?!

"Hei, lama nggak keliatan. Dari mana?" Oh tidak, dia menghampiriku.

"Eh, i—iya bang. Dari rumah, bang. Abang gimana kabarnya? Kak Helmi sama anak- anak gimana?" Dengan terpaksa aku harus berbasa- basi dengan bang Kean.

"Kami baik kok. Mau kemana? Kalo searah biar bareng abang aja."

Gawat!

"Eh? Mau ke kantor bang. Tapi mampir dulu ke toko roti." Aku melirik kikuk pada mantan abang iparku.

"Kalo sarapan ya makan nasi dong, Wul. Kok makan roti. Sekarang kerja dimana?"

"Eh, itu bang tadi telat bangun makanya gak sempat masak. Sekarang jadi penulis bang. Ini mau ke kantor editornya buat ngomongin perkembangan novel." Bang Kean mengangguk- anggukkan kepalanya. Tangannya sebelah ia masukkan kedalam saku celana kainnya.

"Wah, enak dong jadi penulis gak mesti kerja di satu tempat. Bisa nulis di rumah atau kafe." Duh! Lama banget. Perutku udah melilit dari tadi.

"Eh iya bang. Tapi yang nggak enaknya kalo udah dikejar deadline." Bang Kean terkekeh.

"Itu sih selalu berlaku bagi kerja kantoran kayak abang. Oh iya, oma datang ke rumah. Dia nanya- nanya tentang kamu. Kenapa kamu nggak mampir ke rumah sih? Kia sama Hera juga udah kangen berat sama kamu. Katanya kehilangan teman gossip terbaik." Masalah itu lagi. Bahkan sampai sekarang aku masih memikirkan masalah itu. Tidak perlu diingatkan lagi.

"Eh, iya bang. Nanti kalo aku gak sibuk, aku bakalan mampir kok bang. Kemaren juga sempat ketemu kak Kia sama Hera."

Dan mereka sepertinya tidak kangen berat sama aku. Malah mengacung- acungkan handout diary sialan ku.

"Ooh, sudah ketemu mereka? Apa mereka juga memperlihatkan beberapa kertas padamu?" bang Kean menyeringai padaku. Dasar nggak abang nggak adik sama aja. Kenapa mereka harus memberitahukan hal itu pada bang Kean. Sialan! Double sialan! Dasar nenek lampir. Mak kunti sialan.

"Tenang saja. Rahasiamu aman bersama kami bertiga. Salah berempat. Istriku juga tahu." Bang Kean terkekeh melihat ekspresi wajahku yang siap mengeluarkan segala caci maki yang ada didalam otak mungilku.

Memang orang itu harus diberi pelajaran. Gara- gara dia aku jadi menderita di tangan ketiga kakak dan adiknya. Memang manusia alien. Sialan!

"Jangan menyumpah didalam otakmu, Wulan. Kau sama sekali tak berubah." Aku menoleh pada bang Kean. Sedari tadi aku terlalu fokus pada segala cacian yang ada didalam kepalaku.

"Pulanglah. Oma sangat merindukanmu. Tidak perlu berpura- pura menjadi istri Ares. Beritahu oma dengan perlahan. Anak itu juga harus diberi pelajaran. Seenak- enaknya membuat permainan dengan mantan isterinya. Kami mendukungmu Wulan."

"Hmm, akan kupikirkan bang. Mungkin aku akan mampir ke rumah, errm saat mama tidak ada di rumah mungkin." Bang Kean terkekeh, entah apa yang lucu dari kata- kataku. Dia menggeleng- gelengkan kepalanya.

"Segitu takutnya kamu sama mama, Wul? Mama memang sudah kelewatan, tapi aku yakin dalam hatinya pun dia tidak rela kau berpisah dengan anak kesayangannya. Hanya saja Ares yang bersikap begitu menggelikan. Sehingga terpaksa mama melakukan itu padamu."

Okay. Aku tak mengerti apa maksud bang Kean. Tapi toh itu bagus jika mama tidak membenciku. Mungkin kecewa. Ya, siapa yang tidak kecewa? Bahkan aku pun kecewa. Aku hanya mengedikkan bahu.

"Tak masalah, bang. Lagi pula aku sudah terbiasa dengan sifat kekanak- kanakkan Ares. Dia selalu seperti itu bukan?" bang Kean hanya terkekeh mendengar pernyataanku.

"Baiklah. Aku harus pergi. Jangan lupa mampir ke rumah." Aku hanya mengangguk seraya tersenyum pada bang Kean. Huft! Coba saja suamiku bang Kean. Pasti aku bakalan sejahtera dan dapat kasih sayang, jiah?! Kasih sayang? Kayak apaan aja dah, Wul.

"Kau ngomong apa sama abangku?" aku terperanjat mendengar suara malaikat pencabut nyawa dari arah belakangku.

"Ebuset?! Kamu kalo mau muncul ngomong- ngomong dong! Bikin jantungan aja." Dia hanya mengedikkan bahunya yang lebar itu. Aku jadi bertanya- tanya berapa banyak wanita yang sudah bersandar disana.

"Lebay!" Kemudian ia membalikkan badan dan meninggalkanku. APASIH?

DASAR MANUSIA ANEH!

__

My Perfect EXTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang