Hari Kedua

10.8K 292 11
                                    

Lagi, hari ini aku harus sekolah. Ingin rasanya bisa libur seumur hidup. Tapi harus bersyukur bisa sekolah.

Dia ada di depan kelasku. Aku mengabaikannya dan seolah-olah tidak melihatnya.

Sial, hari ini ada pelajaran matematika. Aku benar-benar harus segera SMA dan memilih jurusan IPS!

Dia masuk ke ruangan kelas. Dia menatapku, aku tak mempedulikannya. Aku tidur di dalam kelas.

Dia mendekat ke arahku, dia membangunkanku dan menyuruhku ke ruang BP, hebat!

Yes, hari ini tidak perlu belajar matematika, dan pelajaran setelahnya adalah fisika jadi double beruntung.

Di ruang BP sangat membosankan.
Tibalah saatnya waktu pulang sekolah tapi aku harus pulang lebih lama satu jam karena dihukum.

Setelah satu jam berlalu aku ke kelas untuk mengambil tas ku, dan dia ada di dalam kelas sedang duduk di bangku ku.

"Aku mau ambil tas ku dan pulang, aku lelah dihukum karena mu." kataku. "Kau tak boleh sebelum kau menciumku." dia tersenyum licik.

"Enak saja, tidak akan!" kataku membentaknya. "Aku hanya bercanda ayo senyum, maaf soal yang kemarin." dia mencubit pipiku.

Dia berdiri dan membawa ranselku. Apa sih mau guru itu? Aku mengikutnya hanya sekedar ingin mengambil tasku tapi dia masuk ke dalam mobilnya.

"Ayo masuk! Kita pergi karaoke supaya hatimu tenang. Jika tak mau aku pergi bersama cewek yang kemarin." dia tertawa terbahak-bahak.

Baiklah, dia berhasil membuatku harus ikut dengannya aku tak mau dia bersama cewek lain.

Kami berangkat dan tiba di karaoke ter elit di kota ini. Kami pun masuk ke dalam ruangan karaoke.

Di dalam ruangan karaoke, dia teruk menatapku, tanpa berkedip, aku merasa sangat lelah.

"Boleh aku bersandar di bahu mu? Aku sangat lelah." kataku.

Dia memegang kepala ku dan memiringkan kepala ku dan kini kepala ku bersandar di bahunya dan dia merangkul ku.

Aku memang sangat lelah, aku tidur sekitar 15 menit sementara dia aku tak tau, mungkin dia hanya menyanyi.

Ketika aku bangun dia belum mengetahuinya, dia mengusap lembut rambutku yang terurai.

Tak lama kemudian dia mencium keningku dengan penuh ketulusan dan seperti saat mama mencium keningku.

Aku merasa sangat nyaman berada di bahunya. Aku segera bangun dan mengusap mataku.

"Maaf." kataku menunduk malu. "Tidurlah, kau sangat lelah." dia merangkul ku.

"Aku mencintaimu, Victoria." dia mengucapkannya dengan penuh ketulusan dan dia mencium tanganku.

Hati ku benar-benar berbunga mendengar perkataannya dan pipiku pasti sudah matang. Maksudku, memerah.

"Aku juga." aku menduk malu. Aku tak berani menatap matanya. "Juga apa?" katanya menggodaku.

"Aku juga mencintaimu." kataku berbisik. "Apa? Aku tak mendengarnya." dia masih menggodaku.

"Tidak bisa diulang." aku mengeluarkan lidah dan mengejeknya.

"Oke, sekarang kamu mulai mengejek ya, lama-lama aku gigit lidahmu." dia tertawa mesum.

Aku tak suka perkataannya, aku diam dan tak mau berbicara dengannya dan aku segera menjaga jarak.

"Maaf, aku hanya bercanda." katanya menatapku tajam. "Aku tak suka candaanmu, itu tak lucu." aku memutar bola mataku.

"Iya maafkan aku. Tak akan aku ulangi." dia mendekat dan merangkul ku erat.

Aku hanya diam tanpa kata, aku bahkan tak bisa marah dalam waktu yang lama kepadanya.

Ini aneh, sungguh aneh, aku benar-benar butuh psikiater!

Apakah aku benar-benar mencintainya? Tidak mungkin dia terlalu tua untuk ku. Dia cocoknya menjadi om ku.

"Aku ingin pulang." kataku. "Asalkan kau memaafkanku, dan tersenyumlah." dia mencubit pipiku.

Aku tersenyum tipis dan dia mengantarku pulang ke rumah.

"Pertahankan senyuman manismu, aku tak mau melihatmu marah, apalagi sedih. Love you sayang." katanya saat aku akan turun dari mobil.

Aku hanya menatapnya dan tersenyum dan aku masuk ke dalam rumah.

Moment With My TeacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang