Tanpa Tajuk

319 18 3
                                    

Sebuah cerita dari izaddina

--------

Seperti sungai yang mengalir, aku menjalani hidup dengan tenang. Kelewat tenang, malah. Banyak orang yang kesal dengan gaya kalemku dalam menghadapi hidup ini. Mereka kira, aku meremehkan masalah-masalah yang harus kuhadapi.

Justru yang heran itu aku. Hidup sudah runyam, kenapa harus dibuat tambah rumit?

Pokoknya hidup bagiku itu seperti sungai yang mengalir, lah. Jalan terus, kalau ada batu halangan ditabrak saja. Peduli amat dengan pendapat orang lain, yang penting aku mengalir dan bermuara pada tujuan akhir yang pasti. Selama tindakanku tidak merugikan orang lain, kenapa harus peduli kata orang?

Itu prinsipku biasanya. Namun, kali ini aku menemui aral melintang yang amat besar, terlalu besar hingga aku tak bisa mengalir di celahnya sedikitpun.

Nama penghalang itu adalah nilai akhir.

"Faruq Izzudin?"

Kepalaku serasa tak sanggup untuk diangkat sedikit pun. Masalahnya ini menyangkut harga diri dan nama angkatan. Tak hanya aku yang nelangsa, angkatanku juga akan malu karena gagal mempertahankan anggotanya.

Kalau kau belum bisa menebak, aku terancam di-drop out dari sekolahku yang sekarang.

"Faruq, tatap mata Ibu."

Dengan takut, aku menengadahkan kepala. Ibu kepala sekolahku duduk di sana, memerhatikanku dengan tatapan mengintimidasi. Raut wajahnya yang ramah selalu seakan sirna tak berbekas kali ini. "Bisa tolong jelaskan kenapa nilai semester duamu terjun bebas?"

Andai aku tidak ingat umur, sudah pasti aku menangis. Selama ini beliau selalu membangga-banggakan diriku, dan sekarang lihatlah deretan angka merah di buku raporku. Apa yang pantas dibanggakan dari hal itu?

"Faruq Izzudin, jawab pertanyaan Ibu!"

Aku tersentak mendengar intonasi Ibu Kepala Sekolah. Sepertinya beliau betul-betul marah kepadaku. Bilang aku seperti cewek, tapi aku tidak suka keadaan seperti ini.

Sekolah bukan hal yang bisa dipandang sebelah mata. Setenang-tenangnya aku mengerjakan soal ujian, selama ini aku selalu serius dalam mempelajari bahan-bahan yang ada di sana. Apa ada sekolah yang mau menerima murid dengan nilai terjun bebas, apabila aku dikeluarkan?

"FA-RUQ-IZ-ZUD-DIN!" Ibu Kepala Sekolah menggebrak meja. "Mana ketegasannmu sebagai ketua OSIS yang sering bicara di depan orang lain? Mana kemampuanmu saat menghadapi masalah teman-temanmu? Mana kesungguhanmu untuk belajar? Mana buktinya?!"

Sungguh, aku tak sanggup berkata apa-apa; bibirku seakan terkunci. Kenapa bisa aku begini? Apakah aku terlalu lalai saat mengarungi hidup, sehingga tak menyadari masalah-masalah kecil yang kini membendung langkahku?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 04, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AnalogiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang