Goresan di Atas Kertas

660 24 9
                                    

Sebuah cerita dari fitriyana_ilmi

---------

Mungkin apa yang aku ceritakan akan terdengar terlalu berlebihan dan begitu mendramatisir. Namun, semua tinta yang menggores di atas kertas ini memang nyata, benar-benar terjadi kepadaku. Tinta yang menggores di atas kertas inilah yang menjadi bukti, bukti atas semua darah yang telah mengucur melumusi perihku. Tinta yang mengotori kertas putih inilah, lukisan dari keterpurukanku.

Aku dan hanya aku seorang yang merasakannya. Merasakan semua sakit bertabur pilu, yang secara perlahan menoreh dan melukai ego yang selama ini kujunjung tinggi. Aku dan hanya aku yang mengerti. Mengerti semua hujaman kepahitan yang kian menumpuk menyebarkan sembilu.

Keterpurukan akan kehilangan sosoknya menjadikanku sebuah tubuh tanpa jiwa. Ya, inilah aku, aku yang hanya meninggalkan separuh atma. Seolah hidup tanpa asa, karena harapan yang melambung kini terkubur bersama dirinya.

Aku tahu, aku adalah orang paling bodoh karena terus saja terpuruk atas kepergiannya. Aku memang bodoh, karena terus saja mengasakan dia ada di sisiku. Aku bodoh, aku memang bodoh.

Semua luka yang menganga saat ini adalah hasil dari semua kebodohanku. Jika saja aku berani untuk melangkah maju dan merelakan dia, semua luka ini tidak akan menyakitiku. Jika saja aku berani untuk hidup tanpa dia, semua keterpurukan ini akan cepat berakhir.

Namun, aku hanyalah aku yang terlalu tergantung padanya. Aku, hanyalah aku yang hanya terfokus padanya. Dan aku, hanyalah aku yang menjadikannya tujuan hidupku.

Lantas, di saat dia pergi, aku akan kehilangan tujuan itu. Aku akan kehilangan semua pengharapan yang selama ini kudambakan. Ya, aku hanyalah serpihan kenangan pahit yang tersisa, di antara semua kenangan cita yang terkubur dalam.

"Melamun, lagi?"

Seorang gadis dengan tubuh tinggi semampai duduk di sebelahku. Aku tidak menanggapi ucapannya, masih terfokus dengan perasaan pilu juga rindu yang kian merebak, mengisi seluruh kepalaku. Kulemparkan seulas senyum tipis ke arah gadis itu, lantas kembali dengan kegiatan yang selama setahun terakhir aku lakukan.

"Udahlah, Kak. Kakak jangan sedih lagi, dong. Nanti Kak Ian nggak tenang di sana."

Gadis itu, Melati Mahendra-adik dari Derrian Mahendra, laki-laki yang selama ini selalu hadir di dalam mimpiku-menatapku sendu. Yah, aku tahu. Aku memang seorang gadis yang menyedihkan.

"Kakak nggak kenapa-kenapa, Melati. Kamu jangan berlebihan kayak gitu ah."

Dan lagi, aku selalu menampilkan senyuman palsu untuk membodohi semua yang ada di sekelilingku. Memang inilah aku, seorang gadis yang penuh dengan kepalsuan.

"Kak Ola nggak bisa bohongin aku. Aku kenal Kakak udah lama banget, aku tahu kapan Kak Ola bohong dan kapan Kak Ola jujur sama aku."

Lagi, aku melemparkan senyuman tipis ke arah Melati. Bagaimana mungkin? Hanya dengan sebuah senyuman palsu pun perasaan sakit ini kian menjalar dan menaburkan kepedihan. Apakah ini pertanda jika aku tidak diizinkan untuk tersenyum, barang sekali saja?

"Kak, aku mau ngasih sesuatu buat Kakak. Tapi, Kak Ola kudu janji sama Melati, Kak Ola nggak boleh nangis lagi."

Kulayangkan tatapan bertanya ke arah gadis di sampingku. Entah kenapa, aku merasa jika 'sesuatu' itu berhubungan dengan Derrian. Dan lagi, perih ini kembali menjalari sekujur tubuhku. Sekuat tenaga, aku berusaha untuk menutupi kepedihan yang mendera tubuhku dan memunculkan seulas senyum tipis.

"Astaga, Melati. Kakak nggak nangis kok. Janji deh. Kamu mau ngasih apa?"

Melati merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Di tangannya sekarang, terdapat sebuah amplop kecil dengan warna aqua. Gadis itu, memberikan amplop tersebut kepadaku.

"Itu, kemarin Mama nemuin di kamar Kak Ian. Surat itu buat Kakak. Kakak janji ya, gak boleh nangis lagi. Melati nggak bisa lama-lama, ada urusan sebentar lagi. Kak Ola semangat, ya. Melati pergi dulu."

Sepeninggal Melati, dengan tangan bergetar, aku mulai membuka surat tersebut.

Dear, Ola

Hai, sayang. Aku nggak tahu harus nulis apa buat kamu. Tapi, kalau boleh, aku minta satu hal sama kamu. Jangan nangisin aku, ya. Apa pun yang terjadi, aku nggak akan rela air mata kamu jatuh buat cowok kayak aku. Air mata kamu terlalu berharga buat nangisin cowok macam aku. Terus nih, kalau kamu nangis, aku takut nggak akan ada bahu yang bisa kamu gunakan buat bersandar kayak biasanya.

Ola, jangan tangisin aku lagi. Jangan pula terlalu terpaku sama kepergianku. Kamu tahu? Di sekitar kamu, aku yakin ada seseorang yang rela berkorban buat kamu. Buka hati kamu, jangan terlalu tenggelam sama dunia kamu sendiri. Di sini, aku selalu jagain kamu.

Kalau kamu kangen sama aku, ingat satu hal yang selalu kita lakuin, bukan? Cukup dengan melihat langit malam dan carilah satu bintang. Jangan mencari bintang yang paling terang, tapi cukup cari satu bintang yang pertama kali kamu lihat, dan kamu akan menemukan aku di sana.

Kalau kamu kangen sama suara aku, dengar deruan angin yang menerpa rambut indahmu. Cukup pejamkan mata kamu, dan kamu akan menemukan suaraku di sana.

Dan, satu hal yang harus kamu tahu. Ketika kamu merasa sendirian, maka berkacalah. Dan lihat ke dalam mata kamu. Lihat pula ke dasar hati kamu. Dan di sanalah aku berada. Aku akan selalu bersemayam di mata dan di hati kamu.

Jadi, kamu jangan nangis lagi. Kalau sampai satu tetes air mata jatuh ke pipi kamu, aku gak akan mau lagi ngunjungin mimpi kamu. Kamu harus bahagia dengan seseorang di sana. Cukup ingat aku sebagai masa lalu kamu dan kamu akan menemukan seseorang yang nantinya menjadi masa depan kamu.

Berbahagialah, Ola

Love, Ian

Saat itu juga, pertahananku runtuh. Air mataku menetes. Semua luka yang selama ini aku tahan keluar juga, mencuat secara bersamaan dan membawa perih yang kian menjadi. Dadaku sesak, badanku lemas seperti tanpa tulang.

Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya? Bagaimana mungkin aku bisa dengan mudah menggantikan posisinya?

Luka ini kian menganga lebar. Luka yang sebelumnya belum sembuh benar, kini kian menjadi perih karena sembilu yang dengan pelan-pelan mulai mengiris tipis-tipis hatiku. Yah, sudah kukatakan sebelumnya, aku memang berlebihan. Sangat berlebihan.

"Ian, setidaknya izinkan aku menangisi kamu hari ini saja. Aku berjanji, mulai besok, aku akan menjadi Ola yang baru. Ola yang tidak akan pernah menangisi kepergian kamu. Tapi, Ola yang setiap hari akan mendoakan kebaikan untuk kamu. Tunggu aku, suatu saat, kita akan bertemu lagi di sana, di sisi-Nya."

Aku memeluk surat yang berada di tanganku erat-erat. Air mata masih enggan untuk berhenti menetes. Badanku pun ikut bergetar hebat. Isakan tangis tak jarang menerobos keluar dari bibirku.

Untuk Ian. Aku, Viola Angelica, berjanji tidak akan menangisi kepergiannya lagi. Mulai saat ini, Ola adalah orang yang baru.

Seperti sebuah goresan tinta pada kertas, aku adalah sebuah sajak yang terbentuk dari goresan penuh pilu. Aku adalah sebuah sajak yang penuh luka namun membawakan arti bagi siapa pun yang membacanya. Aku, bukanlah goresan tinta yang mengotori kertas. Tetapi, aku adalah goresan tinta di atas kertas yang akhirnya membentuk suatu simfoni penenang jiwa. Aku, sebuah goresan di atas kertas, hanya goresan namun menawarkan satu perasaan bagi siapa pun yang mengerti. Aku, si Goresan di atas kertas.

AnalogiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang