Hidup dan Segelas Kopi

500 21 14
                                    

Sebuah cerita dari AioShio

--------

Aku duduk termangu di meja ini. Menatap lalu-lalang orang-orang yang sedang berjalan dari balik jendela cafe ini. Dari tempatku duduk, aku juga dapat melihat keseluruhan aktivitas yang ada di cafe ini. Terkadang, gemerincing lonceng berbunyi memenuhi setiap sudut cafe ini tatkala pintu terbuka ataupun tertutup saat seseorang masuk atau keluar dari cafe ini. Tak ayal suara canda tawa pun ikut menggema.

Menunggu, adalah hal yang paling aku benci selama aku hidup. Dengan menunggu, aku serasa membuang-buang waktuku yang berharga. Time is money, ingat? Tapi menunggu di saat-saat seperti ini adalah hal yang aku tunggu-tunggu, bukan yang aku benci. Coba tebak, aku sedang menunggu siapa. Pacar? Tentu saja bukan.

Suara derit kursi yang ditarik membuyarkan lamunanku. Aku menatap dia yang kini telah duduk di hadapanku. Di balik penampilannya yang saat ini cukup berantakan-kemeja yang lengannya digulung, dasi yang dilonggarkan serta rambutnya yang sedikit acak-acakan-senyum yang selalu dia berikan untukku tak pernah lepas dari bibirnya.

"Kenapa lama banget, sih?" gerutuku.

"Sabar dong, Ai. Jalanan lagi macet," lapornya padaku.

Aku hanya mencibir menanggapinya. "Sekarang, apa?"

Dia tertawa geli mendengar nada malas dalam ucapanku. Kemudian, tangannya terangkat untuk memberi kode kepada pelayan agar menghampiri meja kami. Setelahnya, pelayan itu pergi dari meja kami.

"Apa yang mau kamu lakukan hari ini?"

Aku hanya mengangkat bahuku tak acuh.

"Gini aja," dia kemudian meraih gelas kopi panas milikku dengan uap yang masih mengepul di atasnya. Entah itu sudah gelas ke berapa yang aku minum siang ini.

"Kamu lihat kopi ini," dia menunjuk kopi panas milikku. "Kamu tau sendiri, bukan, bahwa rasa kopi ini pahit?"

Aku mengangguk pelan, menyetujui ucapannya.

Dia kemudian melanjutkan, "Tapi, kenapa kamu tetap menyukainya dan meminumnya setiap saat, bahkan sampai menghabiskan bergelas-gelas kopi? Dan kamu ... menjadi seperti maniak kopi?"

Aku sedikit berpikir. "Karena aromanya yang khas, maybe?" jawabku ragu.

Dia menggeleng. "Kamu salah."

"Salah?" aku membeo.

"Iya, salah." Dia memperjelas kata-katanya.

"Kamu menyukai kopi ini bukan hanya sekedar aromanya yang khas ataupun kafein yang membuat seseorang addicted terhadapnya sehingga ingin mencicipinya lagi dan lagi." Dia menjelaskan.

"Aromanya memang khas, tapi semua orang gak mungkin terpikat hanya dengan aromanya aja, bukan?" tanyanya yang kutanggapi dengan anggukan setuju.

"Aroma ..." Dia menghirup aroma yang menguar dari kopi itu. "... khas," lanjutnya.

"Di balik aromanya yang khas, kopi ini mempunyai misteri."

"Misteri?" aku mengangkat sebelah alisku.

"Ya, misteri. Jika seseorang menghirup aroma kopi ini, maka tentu saja dia akan penasaran bagaimana dengan rasanya. Dan, orang itu pasti akan mencicipinya. Tegukan pertama, rasa pahit yang pekat akan mengisi setiap sisi indra perasanya. Bahkan, bisa saja orang itu memuntahkan kopi ini dan tak akan mau lagi mencobanya lagi."

"Namun saat tegukan kedua, rasa pahit itu sedikit tersamarkan dengan rasa khas yang ada di dalamnya. Lagi, lagi dan lagi, rasa pahit itu tersamarkan dan pada akhirnya, orang itu akan menemukan suatu rasa khas yang terkandung di dalam kopi ini. Aromanya yang khaslah yang ikut andil dalam memikat penikmatnya untuk pertama kalinya."

"Lalu?" Sungguh, aku tak mengerti apa yang ingin dia utarakan sebenarnya.

"Ah, mungkin kamu bingung dengan apa yang aku ucapkan sedari tadi." Dia tertawa kecil. "Tapi, ada satu makna yang sebenarnya ingin akus ampaikan dari segelas kopi ini."

"Apa?" aku membuka suara saat dia tak kunjung membuka suara.

"Kopi ini-" ucapannya terhenti saat seorang pelayan datang membawa pesanan dirinya.

Cokelat hangat, minuman kesukaannya. Dia maniak cokelat, sama sepertiku yang maniak kopi. Bahkan di saat matahari sedang bersinar terik seperti ini, dia tetap memesan cokelat hangat dibandingkan cokelat dingin ataupun minuman dingin lainnya;. Iya, sama sepertiku yang tetap saja bertahan untuk memesan kopi panas di cuaca terik ini. Kami memiliki kesamaan, bukan? Sama-sama bebal.

Dia menghirup aroma cokelat yang menguar dari gelas itu, menikmatinya sebentar kemudian meneguk cokelat hangat itu. Senyum puas tercetak di bibirnya setelah dia menikmati beberapa teguk cokelat hangat itu.

"Sama seperti biasa, enak," gumamnya puas.

"Jadi ... ?" Aku masih menunggu sambungan dari kalimatnya tadi.

"Sampai mana kita tadi?" tanyanya tanpa dosan.

Aku mencibir. Jika sudah berurusan dengan cokelat, dia seakan lupa segalanya

"Oh, iya. Kopi ini ibaratkan hidup kita. Kita hidup di dunia yang fana ini pasti penuh dengan rintangan, dan rintangan itu nggak cuma satu atau dua kali, bisa aja berkali-kali dan silih berganti. So, coba kamu hubungkan penjelasanku tadi dengan rintangan ataupun badai yang terkadang menerpa kehidupan kita."

Aku berpikir sejenak. Dan saat aku menemukan titik kesimpulan dari apa yang dijelaskannya tadi, aku tersenyum lebar menatapnya.

"Tegukan pertama bagai rintangan pertama bagi kita. Jika penikmat kopi itu mampu melewati rasa pahit yang pekat saat pertama kali mencobanya, maka itu ibaratkan kita yang harus bisa menghadapi dan melalui rintangan hidup. Bernar, bukan?"

Dia tertawa kecil. "Yap, tepat sekali."

"Dan satu lagi, apabila penikmat itu dapat terus meminu kopi ini, maka tentu dia akan kebal, bukan? Nah, itu artinya kita juga harus tegar dan tak mudah goyah dalam melalui rintangan hidup ini, mengerti?"

Aku pun tertawa kecil. "Yes, Sir."

"Tapi, apa hubungannya dengan aroma yang khas serta rasa yang khas saat akhirnya si penikmat itu menemukan rasa yang khas itu?"

"Ah, rupanya kamu masih belum mengerti semuanya," gumamnya. "Begini, Ai. Aroma dan rasa yang khas itu kita ibaratkan sebagai hikmah yang terkandung dalam setiap rintangan hidup ini. Kenapa rasa khasnya akan terasa di akhir, karena hikmah yang kita dapatkan itu bukan di depan rintangan, melainkan di akhir rintangan, mengerti?"

Aku mengangguk paham.

Dia melirik jam tangan yang berada di pergelangan tangannya kemudian berkata, "Ah, sepertinya aku harus cepat-cepat pergi."

Aku menaikkan satu alisku, pertanda bertanya.

"Aku ada meeting selepas makan siang ini."

Aku merengut sebal. "Apakah mereka lebih penting dari pada aku?"

Dia terkekeh kecil. "Jangan merengut seperi itu."

Dia berdiri kemudian mengecup keningnku sekilas lalu berbisik, "Selamat berjumpa di rumah, Sayang."

Aku mengulas sedikit senyum menanggapi bisikannya, pertanda aku masih sebal kepadanya.

"Cepat pulang, aku ingin melihat istriku di rumah saat pulang nanti." Setelah mengucapkan kata itu, dia berlalu pergi.

Jika kalian bertanya siapa dia sebenarnya, tentu saja dia suamiku.

-------

Haihaihai... Maaf kalau banyak typo(s) bertebaran. Please vote dan komennya.

Silahkankunjungi juga akunku @AioShio »»https://www.wattpad.com/user/AioShio

AnalogiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang