Terkadang kita terlalu sibuk meratapi kesedihan, hingga lupa bahagia sedang menunggu gilirannya.
Anak laki-laki itu menatap bingung pada langit yang menjingga, menyebarkan kegelapan, menggelitik dengan kengerian. Dia ketakutan dan berlari pulang, meninggalkan pelataran rumah sakit dan bunga-bunga sakura yang dia tunggu-tunggu kemekarannya. Bumi mendadak begitu hening dan sepi, seolah tak ada siapapun yang tinggal disini. Dia mengendap-endap, masuk kepekarangan rumah perlahan.
"Kyaaaaaaaaaa!!!!"
Suara itu mengejutkannya, dia berlari kebalik semak, berusaha mengintip apa yang terjadi didalam rumahnya. Lewat jendela kecil, dengan mata yang menyipit, di usia nya yang masih balita, dia melihat sendiri, bagaimana ibunya ditampar, disiksa, dan di robek bajunya. teriakan demi teriakan terdengar.
"LEPASKAN IBU KU" air matanya mengalir di pipi, takut, dia takut, dia sedih, dia gemetar. Hanya berbekal batu, dia berusaha menyelamatkan Ibunya. Tangannya berusaha memukul saat para penjahat itu menjambaknya. Dia meraung saat mereka melemparnya dengan mudah ke dinding. Ibunya menangis, mereka tertawa. Dunia yang benar-benar tidak adil.
Ayahnya yang baru pulang kerja, dengan membawa kapak untuk menebang kayu berusaha menyelamatkan, namun percuma...
Darah mengalir deras, membentuk sungai
Tangisan seolah menjadi lagu pengantar tidur tenang untuk selamanya
Tawa para penjahat makin menjadi,
Dia masih terlalu kecil untuk paham.. apa yang sebenarnya sedang terjadi...
Lemah, memeluk kaki sendiri, gemetar, menangis kedinginan.
Perhatian para penjahat itu kembali kepada ibunya yang sudah setengah telanjang, dilecehkan, tidak dihargai, miskin......
Ayahnya meraih tangannya, dia hanya menatap ngeri pada wajah laki-laki yang selalu jadi pahlawan baginya. Wajah yang akhirnya putus asa dan penuh luka. "larilah, kemanapun, lari lah, sejauh mungkin."
"a-aku ti-.."
"lari!"
Berdiri tegak dia menatap ayahnya yang terbaring berlumuran darah, menatap ayahnya yang seoalah berdoa 'semoga kau selamat, sayang'. Dengan air mata nya yang semakin deras dia meninggalkan rumah, dengan segala ke gundahan dan ketakutan dia mengikuti perintah dari orang yang paling dia hormati.
Kemanapun... Sejauh mungkin....
Hanya tempat yang sering dia datangi sejak kecil yang dia rasa akan membuatnya aman, hanya tempat nya menghabiskan waktu sejak kecil yang dia ingin untuk jadi tempat terakhir yang dia kunjungi dihidupnya. Kepalanya yang terbentur ternyata menghasilkan darah, tubuhnya tidak lagi seimbang. Paru-parunya tidak lagi bisa menangkap oksigen... dia tersungkur, dia terjatuh, dihadapan pohon-pohon sakura...
Sakura kun menatap mataku yang sudah berkaca-kaca, dia menyeka bulir lembut yang meluncur begitu saja diujung mataku. "Pohon-pohon sakura yang kasihan melihatnya, mencoba menyelamatkannya.. kelopak-kelopaknya menutupi tubuh si anak, memberi energi magis dan membuat si anak terlahir kembali..." Sakura kun mengusap lembut kepala ku.
"Tapi, dia tidak terlahir sempurna, hidupnya tergantung pada bunga sakura, tidak semua manusia dapat melihatnya, hanya manusia kesepian yang punya luka dihati saja. Namun selebihnya dia hidup, mendengarkan, melihat, mempelajari, seperti manusia lainnya. Dia berusaha melangkah, dan melupakan masa lalunya.."
"Apa dia hidup bahagia sekarang?" aku akhirnya bicara setelah hampir satu jam hanya mendengarkan cerita Sakura kun.
"Ya, dia bahagia.." Senyum Sakura kun mengembang, hanya saja matanya mengisyaratkan segudang kesedihan, membuat ku semakin larut pada legenda yang dia ceritakan. "Banyak orang di dunia ini yang mengalami hal lebih pahit dari pada kamu, Yume chan. Berbahagialah..."
Menurut cerita Sakura kun, ibu anak laki-laki yang dia ceritakan itu, perawat sukarelawan yang tidak di gaji dirumah sakit, sedangkan anak laki-laki yang sering ikut ibunya bekerja itu selalu merawat pohon-pohon sakura dibelakang rumah sakit bersama ibunya, tidak peduli pohon itu sedang mekar atau tidak, mereka selalu merawat nya dengan sukahati. Oleh karna itu, pohon-pohon sakura pun membalas budi.
Aku menyeka air mata ku, dan merapihkan kembali seragam sekolah ku. Hari ini aku memang bangun kepagian, kebiasaan di Indonesia masih sulit dihilangkan. Aku sudah siap untuk pergi kesekolah sejak jam 6. Akhirnya aku menemui Sakura kun dan memintanya menceritakan apa pun. Saat dia bilang akan cerita tentang rumah sakit, aku pikir akan cerita seram, tapi malah cerita sedih begini..
"kalau begitu, aku berangkat dulu. Te-terimakasih ceritanya.."
"Kiwotsuketekudasai-Hati hati dijalan.." dia melambaikan jemarinya, aku hanya mengangguk dan berjalan pergi
***
"Yumeeee chan" lengan itu langsung saja hinggap di bahu ku tanpa ragu. Rambut sebahunya dapat ku lihat jelas disamping ku. Namanya Ichinose, dan dia memaksa ku memanggilnya "Chichan".
Sejak kejadian aku tersenyum sedikit demi sedikit orang-orang mulai berbicara pada ku. Chichan yang paling heboh, dia langsung memeluk ku dan mengambil keputusan tanpa meminta persetujuan ku "mulai sekarang kita teman!"
Dunia ku mulai bergerak, walau hanya satu senti, walau hanya beberapa mili, tapi aku rasa memang sudah waktunya aku melangkah maju. Tidak untuk melupakan masa lalu, hanya untuk menyimpan nya rapat dalam ingatan-ingatan ku.
Aku kembali tersenyum mendengar ocehan chichan yang panjang. Dia menceritakan apa pun kepada ku. Apa yang dia alami hari ini, apa yang terjadi kemarin setelah pulang sekolah. Dia tidak peduli walau aku hanya diam mendengarkan, seolah baginya begitu juga sudah cukup. Terkadang saat istirahat dia menarik ku kesana kemari, berebut roti melon dikantin, duduk dibawah pohon-pohon rimbun. Dia tidak pernah membiarkan aku sendiri.
"Mengurus Hikaru itu seperti mengurus bayi kau tahu? Kamarnya sangat berantakan. Dan itu menyebalkan bagi ku." Dia mengerucutkan bibirnya kesal.
Dari ceritanya beberapa hari lalu, aku tau dia adalah sahabat kecil Suzuki kun. Cowok itu juga sering menemani saat Chichan sedang bermain dengan ku.
"Pfft..." aku menahan tawa mendengarnya lagi-lagi mengeluhkan Suzuki kun. Laki-laki yang penuh kesempurnaan itu dijelek-jelekan oleh sahabatnya sendiri.
"Kamu menertawakan ku?! Aaah, kamu jahat sekali Yume chan! Sebagai ganti nya kamu harus mentraktir ku takoyaki kapan-kapan!"
Dia merapatkan lagi jarak kami. Rumah nya dengan rumah sakit searah, membuatnya semakin mengekori ku kemana pun juga. Bahkan saat matahari mengeluarkan semburat malu-malunya, dan para burung lelah pulang kesangkarnya.
"Ah yumechan, bagaimana kabar saudara mu? Pasti sulit ya mengalami hal seperti itu? Apa kau baik-baik saja?"
Aku berhenti melangkah. Kalimat itu, kalimat yang banyak ditanyakan. Kalimat yang aku benci. Kalimat yang selalu aku hindari. Aku menatapnya tajam. Dia ikut berhenti saat sadar aku berhenti. Bergeming. Untuk beberapa saat kami terdiam. Saling menatap. Kenapa dia menanyakan hal yang seperti itu saat aku mati-matian berjalan maju? Kenapa dia mengingatkan ku lagi?
"Aku membenci mu." Aku berlari melewatinya.
"Eh?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Sakura
RomanceAku terdiam melihat pesona mu, mata gelap mu menghipnotis tubuh ku. Aku tidak tertarik pada cinta, tidak saat ini. Aku harus menanggung banyak hal sendirian. Jadi satu-satunya yang selamat dalam sebuah kecelakaan bukanlah hal menyenangkan. Semua ter...