Satu

15.8K 399 2
                                    

Malam ini hujan begitu derasnya mengguyur bumi. Suara gemuruh yang terkadang diselingi sambaran kilat pun tak kunjung mereda. Aku duduk terpaku menatap seraut wajah indah yang terselip dalam dompet usangku. Senyum yang teramat manis itu selalu bisa menyejukkan hatiku. Dia telah merebut tiap detak dari jantungku. Aku memang mencintainya. Tulus. Tanpa ternodai keinginan birahi untuk sekedar mengecup bibir tipisnya atau merengkuh tubuh indahnya. Aku hanya ingin mencintainya saja.

Kututup dompetku lalu kubaringkan tubuhku. Mataku menerawang ke atas langit-langit kamar kontrakanku. Hidup sendiri memang tak enak. Tapi aku tak ada pilihan lain. Selepas kepergian kedua orang tuaku, tak ada lagi yang bisa kupertahankan. Berbekal peninggalan mereka, kuputuskan hijrah ke kota. Mencoba bekerja dan syukurlah bisa kuliah seperti harapan mendiang orang tuaku. Siapa sangka itu pula yang mempertemukanku dengan gadis pemilik senyum terindah. Zivana Angelica. Zia, teman sekampus yang berujung menjadi sahabatku. Hanya saja dia tak tahu kalau aku menganggapnya lebih dari itu.

Tok! Tok!

Kudengar pintu rumah kontrakanku diketuk. Aku bangkit, melangkah tergesa karena bunyinya semakin keras.

"Zia..?!"

Aku terbelalak. Gadis yang baru saja memenuhi isi kepalaku kini muncul di depan pintuku. Bajunya basah kuyup. Zia langsung menerjang masuk dan duduk di kursi kayu di ruang tamuku.

"Boleh pinjam bajunya, Ren? Dingin banget ini." katanya menggigil.

"Oh, iya." aku segera tersadar dari sekian detik lamunanku. Untung saja Zia tak menyadari aku yang tengah menatapnya.

Setelah berganti baju, Zia duduk di sebelahku sambil menyeruput teh panas yang kubuat untuknya. Kulirik jam dinding. Jam sembilan. Apa gerangan yang membawanya kemari malam-malam begini?

"Halo?! Rendi..?"

Zia mengibaskan tangannya di depan wajahku. Aku terkejut. Huft! Sekarang aku ketahuan melamun.

"Ngelamunin apaan sih?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Aku malam ini boleh nginep sini ya, Ren?"

Aku terkejut dan langsung menatapnya. "Kamu kenapa?" tanyaku hati-hati.

Zia diam. Lalu menatapku sejenak. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca.

"Zia, ada apa?" tanyaku khawatir.

"Rendi..." Zia justru terisak-isak di lenganku.

Aku bingung tak tahu harus bagaimana. Apa yang terjadi padanya? Tak tahan lagi, kubelai lembut rambutnya yang masih basah.

"Ren, aku hamil..."

Aku terhenyak. Seakan ribuan pisau menusuk tepat ke jantungku. Tanpa sadar aku mendorong tubuhnya dan langsung bangkit. Zia terkejut dan menarikku kembali duduk. Aku hanya menatapnya tak percaya.

"Aku kabur dari rumah."

Kalimat berikutnya dari mulut Zia membuatku semakin terkejut. Kenapa gadis yang kucintai jadi begini?

"Aku takut Papa akan murka, Ren. Aku nggak berani bilang."

"Dan cowok brengsek itu?" tanyaku dengan sorot mata tajam.

Zia makin terisak. "Hans menghilang begitu saja. Aku nggak bisa menghubunginya."

Rahangku mengeras. "Kamu udah cari ke rumahnya?"

"Rumahnya kosong. Kata pembantunya, Hans nyusul ortunya ke luar negeri."

Aku mengepalkan tanganku.

"Itulah kenapa aku nggak pernah suka kamu berhubungan sama dia, Zi. Hans itu brengsek! Dia cuma bermanis-manis di depan kamu biar kamu takluk sama dia."

"Maafin aku, Ren. Selama ini aku nggak dengerin kamu." ucapnya menyesal dengan tangis yang semakin menjadi.

Mataku redup menatap wajahnya. Kuelus perlahan bahunya.

"Ya udah, kamu istirahat dulu. Besok kita bicarain lagi. Untuk sementara kamu di sini dulu, jangan ke mana-mana. Nggak usah ke kampus."

Zia mengangguk. "Makasih, Ren. Kamu memang sahabat yang baik."

Aku tersenyum getir. Tahukah kamu, Zia? Hatiku sakit mendengar kesucian martabatmu telah dinodai si brengsek itu. Hatiku sakit melihat dirimu tercampakkan seperti ini. Zia, ingin rasanya aku merengkuhmu untuk menghapus kepedihanmu.

>>

CINTAKU UNTUKMU, ZIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang