.
.
.
Sang mentari masih malu-malu untuk menampakkan dirinya. Langit masih mendung, gerimis pun enggan untuk berhenti sejak semalam. Walau tidak begitu deras, tetapi tetap melumpuhkan aktifitas di awal hari.
Salsa masih enggan keluar kamar. Hatinya begitu rapuh, ingin rasanya dia bersandar pada seseorang. Seseorang yang mampu mengerti akan kegundahan hatinya. Lalu terlintas dalam benaknya seseorang yang amat mengerti dirinya. Salsa meraih handphone yang sejak semalam tak tersentuh.
"Aku ingin bertemu."
Sebuah pesan singkat Salsa kirim ke nomor orang itu. Lantas bergegas dia membersihkan diri.
*******
Pagi itu di sebuah taman, Salsa duduk di sudut bangku di bawah pohon mangga. Wajahnya masih terlihat sendu, ada kantung mata yang melingkari mata lelahnya. Sesekali dia memandang ujung jalan, menanti kedatangan seseorang. Tak peduli dengan gerimis yang masih turun ke bumi, membasahi pakaiannya.
Tak lama datanglah seseorang yang ditunggu oleh Salsa, seorang lelaki yang seumuran dengannya. Senyum lantas menghiasi bibir mungilnya.
"Pagi," sapa laki-laki itu.
"Pagi juga," balas Salsa.
Laki-laki tersebut kemudian duduk di sebelah Salsa. Pandangan mereka bertemu. Ada rindu yang tiba-tiba menyusup di hati keduanya.
"Ada apa? Kenapa matamu sembab? Kamu habis menangis ya?" tanya laki-laki itu.
Salsa hanya mengangguk.
"Kenapa?"
Salsa menggeleng.
Hening. Tak satu pun dari mereka yang berbicara. Hanya sesekali terdengar dengusan napas Salsa.
"Dir ...," lirih Salsa.
"Ya?"
"Entah dari mana aku harus memulainya." Salsa memainkan ujung jemarinya.
"Katakan saja."
Salsa kembali terdiam. Dia berusaha untuk mengumpulkan kekuatan hatinya.
"Aku dijodohkan."
Laki-laki itu terkejut dengan ucapan Salsa.
"Kau serius, Sa?"
"Iya ... semalam mereka melamarku."
"Dan kau menolaknya?"
Salsa mendengus pelan, menggelengkan kepalanya.
"Tidak. Aku menerimanya. Dan tiga bulan lagi kami menikah."
Sebutir air mata menetes dari sudut mata Salsa, ini sangat berat untuknya. Suasana kembali hening, sehening taman yang sepi karena gerimis. Mereka saling mengusik pikiran mereka masing-masing.
"Maafkan aku, Dirga ...," pinta Salsa.
Laki-laki yang dipanggil Dirga hanya terdiam. Matanya hanya menatap bunga kamboja di depannya.
"Aku tak bisa menolaknya." Bibir Salsa bergetar.
"Kenapa?" Hanya kalimat itu yang keluar dari bibir Dirga.
"Dia anak dari teman baik bapakku. Bapak telah merencanakan ini semua dengan temannya itu sejak kami masih kecil. Dan aku tak bisa melukai hati bapak. Aku hanya ingin menjadi anak yang berbakti."
Salsa terisak, dia sudah tak mampu lagi membendung air matanya. Hatinya benar-benar terluka seperti yang Dirga rasakan.
"Bagaimana dengan kita?" tanya Dirga pelan. Ada nada kepasrahan dalam suaranya.
"Aku tak tahu, Dir. Tapi jujur, aku tidak mencintai laki-laki itu. Di dalam hatiku hanya ada kamu, Dir." Tubuh Salsa terguncang menahan gemuruh di dadanya.
Dirga hanya tersenyum, menggeleng pelan sebelum menatap Salsa.
"Tapi nanti kamu juga akan mencintainya Sa, setelah kalian menikah nanti."
"Aku tidak yakin."
Kembali mereka terdiam.
"Jadi? Sekarang hubungan kita sudah selesai?" Dirga membuka keheningan di antara mereka berdua.
"Maafkan aku. Tapi setidaknya kita bisa berteman, kan?" harap Salsa lemah.
"Mungkin."
"Maafkan aku. Maaf telah melukai hatimu. Maaf sudah mengecewakanmu. Maaf telah mengkhianati cinta kita. Maaf ...."
Dirga hanya tersenyum kepada Salsa. Dipandanginya gadis di sampingnya itu. Mungkin ini terakhir kalinya dia bisa menikmati wajah lembut Salsa.
"Aku harus pergi." Dirga lalu berdiri untuk pergi.
"Dir ...," Salsa menggenggam tangan Dirga.
"Terima kasih untuk kebersamaan kita selama empat tahun ini. Aku tak akan pernah melupakannya."
Dirga hanya tersenyum, menutupi perasaannya saat ini. Hatinya benar-benar hancur. Tapi dia tak ingin lemah di depan Salsa. Lalu dia melepaskan genggaman Salsa di tangannya.
"Jaga dirimu baik-baik. Dan jangan menangis lagi. Aku harus pergi."
Dirga meninggalkan Salsa yang masih berdiri memandangi kepergiannya. Ada bulir bening di sudut matanya. Dirga benar-benar rapuh. Dia hanya menarik napas untuk menenangkan hatinya.
Sedangkan Salsa masih terus memandangi kepergian Dirga hingga punggungnya hilang di sudut jalan. Kakinya lemas, lantas dia terduduk kembali di bangku taman. Kembali potret kebersamaan mereka memenuhi pikirannya.
"Maafkan aku, Dir ...," lirih Salsa.
Kembali air mata mengalir dari sudut matanya. Dia benar-benar kehilangan orang yang sangat mengerti dirinya. Orang yang telah menemani hari-harinya selama empat tahun ini.
#####
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat Salsabilah
Spiritual(REPOST) NOVELLET. "Ketika takdir yang tak kau inginkan harus kau jalani. Menghabiskan sisa perjalanan hidupmu bersama dengan seseorang yang sama sekali tidak kau kenali. Apa yang akan kau lakukan? Sementara hatimu telah bertepi di dermaga orang la...