Part 8

5.1K 310 2
                                    

.

.

.

.



Langit yang cerah, kelam sempurna berhias sinar rembulan dan kerlingan para bintang. Perlahan angin berhembus membelai tubuh yang letih. Salsa masih setia di sisi Ayyas, tak pernah sekali pun dia meninggalkan Ayyas. Salsa ingin memenuhi janjinya sendiri, untuk terus memperjuangkan pemilik hatinya itu.

Salsa merawat Ayyas dengan sabar, sesekali dia berbicara kepada Ayyas. Salsa yakin Ayyas pasti mendengarkannya. Dan Salsa selalu berharap agar Ayyas segera bangun dari tidur panjangnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit. Ini adalah malam ketiga Ayyas koma. Dan selama itu pula Salsa tak pernah jauh darinya. Salsa bersandar di bahu suaminya, merebahkan kepalanya di sisi kanan Ayyas. Menahan kantuk yang mulai menerpa.

"Kamu ndak capek mas tidur mulu ... ndak pengen melihat wajah istrimu ini?" Goda Salsa seraya tangannya menggenggam erat jemari Ayyas.

Terlintas dalam benak Salsa tentang dongeng sang putri tidur. Salsa tersenyum geli. Namun perlahan dia menautkan bibirnya ke bibir Ayyas. Hanya tiga detik. Dan itu mampu membuat tubuh Salsa bergetar hebat. Ini adalah kali pertama dia melakukan ciuman.

Selang beberapa menit, perlahan genggaman jemari Salsa semakin erat. Ayyas mulai menggerakkan jemarinya, Salsa begitu terkejut dan bahagia. Lama mata Ayyas baru dapat terbuka sepenuhnya.

"Mas ... mas Ayyas .... Kamu sudah sadar mas ...?"

Ayyas masih terdiam, pandangan matanya masih kabur. Akan tetapi mendengar suara Salsa yang selalu dia rindukan mampu menengarai dengan siapa dia saat ini. Ayyas tersenyum ketika pandangan matanya terhenti pada sosok Salsa, wanita yang kini ada di sampingnya itu telah menemaninya dan menggenggam erat tangannya.

"Aku panggilkan dokter ya mas ...." Salsa hendak pergi, namun Ayyas semakin mempererat genggamannya.

"Terima kasih."

Salsa semakin bingung dengan sikap Ayyas.

"Untuk apa?"

"Untuk waktumu di sini menemaniku. Aku merasakan kamu selalu di sampingku dan menggenggam tanganku. Entah ini mimpi atau halusinasiku belaka."

Bulir bening mengalir dari kedua sudut mata Salsa. Salsa lalu duduk dan menatap sendu kepada suaminya itu.

"Kenapa menangis? Maafkan kata-kataku tadi. Aku tak bermaksud membuatmu menangis ...." Ayyas mengusap air mata Salsa.

"Kamu tak perlu minta maaf, Mas, aku hanya merasa terharu. Kamu dapat merasakan kehadiranku meskipun sedang koma," jelas Salsa pelan.

"Aku ingin melihat senyummu itu, dik ... kamu terlihat jelek kalau menangis."

Salsa tersipu, dia tahu Ayyas hanya menggodanya seperti biasanya. Tapi kali ini terasa lain bagi Salsa. Ada rasa yang baru di hatinya. Salsa kemudian tersenyum untuk Ayyas.

"Aku panggil dokter ya mas ...?"

Salsa lalu berdiri.

"Aku mencintaimu mas ... jangan tinggalkan aku lagi," bisik Salsa pelan di telinga Ayyas dengan kecupan di pipi kanannya. Salsa lantas berlari meninggalkan Ayyas yang masih terkejut dengan sikap Salsa barusan. Ayyas lalu tersenyum, perjuangannya tidaklah sia-sia.

*******

Setelah seminggu menjalani perawatan di rumah sakit pasca koma, hari ini Ayyas diperbolehkan pulang. Keadaan Ayyas terus membaik. Ini karena Salsa selalu di sampingnya. Ayyas merasa Salsa adalah obat yang paling mujarab baginya.

Salsa memutuskan untuk tetap tinggal di Surabaya. Menemani dan merawat Ayyas. Salsa ingin mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk Ayyas. Menebus semua sikapnya selama ini.

Mereka menempati rumah mungil yang Ayyas beli sejak mereka menikah. Namun Salsa tak pernah mengetahuinya, jika selama mereka menikah Ayyas tinggal sendirian di rumah ini. Salsa berpikir jika Ayyas masih tinggal dengan orang tuanya.

Hari demi hari mereka lalui dengan indah. Salsa sudah tak canggung lagi berduaan dengan Ayyas. Komunikasi di antara keduanya pun semakin membaik. Seiring berjalannya waktu mereka menjadi semakin dekat.

Tak terasa satu bulan sudah Salsa tinggal bersama Ayyas. Kesehatan Ayyas benar-benar telah pulih. Ayyas sudah tiga hari ini masuk kerja. Semangatnya kian membuncah ketika Salsa selalu mendampinginya.

Malam ini langit begitu cerah. Sinar bulan purnama seakan menambah elok singgasana langit. Kemerlap bintang bak berlian yang bertaburan di permadani langit. Serta semilir angin yang berhembus perlahan melengkapi episode sang waktu.

Di dalam kamar terdapat dua insan yang sedang menatap langit dari bahu jendela dengan mesra. Keduanya saling berpelukan, seolah tak ingin terpisah jauh. Salsa menyandarkan kepalanya di bahu Ayyas. Matanya tak henti menatap episode sang langit. Bibirnya tersenyum tiada henti, menyadari kedekatannya bersama Ayyas belakangan ini.

"Terima kasih, Mas, kamu sudah mau menungguku."

"Itu adalah janjiku padamu dik ...."

"Kini hatiku telah sepenuhnya terbuka untukmu, Mas. Bagiku kamu adalah masa depanku. Kamu adalah surgaku, Mas ...." Salsa menegadahkan kepalanya, menatap Ayyas.

Ayyas pun membalas mata Salsa.

"Jadi ...?" tanya Ayyas dengan tersenyum dan tatapan syahdunya.

Salsa hanya membalasnya dengan anggukan kepala. Seolah mengerti dengan maksud Salsa. Perlahan Ayyas mengecup kening dan kedua pipi Salsa. Hati Salsa berdesir, jantungnya semakin berdetak lebih cepat. Ada gairah yang mulai merambati tubuhnya.

Ayyas pun lantas menyapukan kecupannya di bibir Salsa yang mungil itu. Perlahan diresapinya bibir ranum Salsa. Napas keduanya semakin memburu. Ayyas lantas menggendong Salsa menuju singgasana mereka. Menyalurkan hasrat dalam kewajiban yang tertunda.

Dan malam pun menjadi saksi peleburan dua jiwa nan dimabuk asmara, dalam keheningan rembulan purnama. Mengabarkan kegembiraan yang terpancar di wajah keduanya.

*****



Hikayat Salsabila
Vita Savidapius

Hikayat SalsabilahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang