Part 4

5.5K 343 3
                                    

.

.

.

Langit begitu cerah, kemilau terik matahari mengusir mendung yang bergelayut sejak pagi. Salsa masih berkutat dengan buku-bukunya. Pikirannya telah tenggelam bersama buku -buku di hadapannya.

Sebulan telah berlalu sejak peristiwa lamaran itu, dan sejak saat itu Salsa terus menangis setiap malam. Hatinya masih pilu akan takdir yang telah menunggunya tiga bulan lagi. Takdir yang seakan memberi harapan bagi kehidupannya kelak, namun juga takdir yang akan mengunci hatinya. Ada sebersit rasa bersalah yang tak kunjung hilang di hatinya. Salsa tak kunjung menemukan penawar bagi luka yang terlanjur menganga lebar.

"Salsa." Suara ibu memanggil namanya, membuyarkan konsentrasinya sesaat.

"Ya bu," jawab Salsa sedikit malas.

"Kamu siap-siap ya, hari ini kita akan ke Surabaya."

"Ke Surabaya? Untuk apa, bu?" tanya Salsa penasaran, pasalnya dia sama sekali tidak memiliki rencana untuk keluar rumah hari ini.

"Kita akan berkunjung ke rumah Ayyas. Sekalian cari baju pengantin buat kalian."

Salsa hanya terdiam, menelan ludah yang terasa pahit. Sama sekali tak terlintas dalam benaknya untuk bertandang ke rumah Ayyas. Apalagi memikirkan baju pengantin yang akan ia kenakan. Memikirkan hatinya sendiri saja sudah berat, apalagi urusan tetek bengek pernikahannya. Hal ini semakin menyadarkannya bahwa dia masih belum siap menjadi istri Ayyas.

Maka dengan langkah gontai Salsa segera membersihkan diri. Lalu dikenakannya gamis hijau muda yang telah ibu persiapkan untuknya. Salsa kembali mematut di depan cermin, mengamati wajahnya yang semakin tirus. Matanya masih terlihat sembab, segera dia poleskan bedak tipis untuk menutupi kesedihannya. Salsa tak ingin terlihat menderita. Cukup Tuhan dan hatinya saja yang tahu.

*****

Gedung-gedung bertingkat berjejeran di sepanjang kanan dan kiri jalan seperti tiang-tiang langit. Serta lalu lalang kendaraan dan manusia yang saling beriringan mengisi padatnya hari. Tak luput pepohonan yang berbaris di bahu jalan menjadi penyejuk di tengah kota.

Salsa masih menikmati susana kota yang dilihatnya itu. Sejenak melupakan pilu yang selama ini menghujam hatinya. Tersungging seulas senyum tipis di bibirnya. Kota yang indah pikirnya.

Dua jam perjalanan tak membuat matanya lelah memandang hamparan gedung dengan berbagai model bentuknya. Kini Avansa silver itu memasuki deretan rumah bergaya minimalis masa kini. Keluarga Salsa memang sengaja menyewa mobil untuk perjalanan kali ini, biar tidak capek alasannya. Kalau naik bis tentu akan ribet dengan barang bawaan yang Salsa sendiri malas menghitungnya.

Mobil pun berhenti di sebuah rumah yang tidak terlalu besar. Rumah model masa kini, dengan cat warna abu-abu menghiasi dinding depannya.

Keluarga Salsa turun dari mobil, diikuti Salsa yang masih malas bertemu Ayyas. Pak Lutfi dan bu Lutfi segera menenteng bawaan mereka, hasil bumi dari sawah yang mereka punya.

Kedatangan mereka disambut dengan ramah oleh keluarga Ayyas. Bahkan tak henti-hentinya calon ibu mertua Salsa memuji Salsa.

"Jadi, nak Salsa ingin bertemu Ayyas."

Terkejut. Wajah Salsa memerah karena malu. Dia bahkan tidak tahu mengapa orang tuanya menjadikannya alasan untuk menemui Ayyas.

"Kebetulan Ayyas sedang keluar, sebentar lagi dia juga pulang."

Huft.

Salsa menarik napas lega. Setidaknya masih ada waktu untuk melonggarkan hatinya yang bingung. Entah bagaimana sikapnya nanti jika harus bertemu dengan Ayyas. Belum ada persiapan bathin secara khusus, Salsa pun masih menerka-nerka bagaimana nanti reaksi Ayyas.

****

Orang yang ditunggu-tunggu telah datang. Duduk di samping Salsa di bangku taman samping rumah. Mereka hanya terdiam, membiarkan suasana semakin hening.

Salsa masih tak percaya, kini dia duduk bersama calon suaminya. Dia mencubit lengan kirinya berulang kali. Ada rasa bersalah yang membuat Salsa masih enggan hanya untuk sekedar menyapa Ayyas.

"Bagaimana kabarmu?" sapa Ayyas memecah keheningan.

"Baik."

"Kata ibu ada yang ingin kamu sampaikan."

Salsa mendengus kesal, lagi-lagi dia dijadikan alasan. Salsa hanya terdiam, bibirnya masih enggan untuk bersuara. Lama mereka hanya saling diam. Entah mengapa tiba-tiba terlintas di benak Salsa untuk membatalkan pernikahannya.

"Mas Ayyas mencintai saya?"

Ayyas terkejut mendapatkan pertanyaan dari Salsa. Pertanyaan itu menghujam tepat di dadanya. Ingin rasanya Ayyas mengutarakan isi hatinya bahwa dia sudah jatuh cinta pada Salsa sejak malam itu. Namun Ayyas ragu, dia merasa gadis di sebelahnya ini belum bisa menerimanya.

"Kalau, dik Salsa?"

Salsa terpaku, pertanyaannya telah membunuhnya sendiri. Senjata makan tuan. Salsa menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, bingung dengan pertanyaan yang kini harus dia jawab sendiri.

"Kenapa, dik Salsa diam? Katakan saja isi hati, dik Salsa. Saya menerima apapun yang dik Salsa katakan."

Salsa memandang wajah Ayyas lekat-lekat. Ada keteduhan di wajah tampan itu. Mata kelam itu seolah ingin melindunginya. Ugh, dia tidak boleh jatuh cinta pada lelaki di hadapannya ini. Tidak. Salsa membuang pandangannya pada rerumpun bunga lavender yang sedang bermekaran.

"Jujur, Salsa masih terkejut dengan kejadian malam itu. Salsa masih tak percaya sebentar lagi akan menjadi istri mas Ayyas. Tapi maaf, hati Salsa belum bisa sepenuhnya terbuka untuk mas Ayyas." Salsa mengutarakan isi hatinya. Berharap Ayyas akan menyerah. Semoga saja Ayyas menyerah, lalu membatalkan pernikahan mereka.

"Saya mengerti, tak mudah memang membuka hati untuk seseorang yang belum kita kenal. Saya bisa memahami perasaan dik Salsa, tapi saya juga akan terus menunggu hati itu terbuka untuk saya."

*******

Hikayat SalsabilahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang