5 : What If?

1.6K 163 4
                                    

Aku merasakan sesuatu yang terasa halus -- seperti berbulu tetapi sedikit tajam.

Apa mimpi bisa merasakan? Entahlah.

Alam bawah sadarku kembali ke habitatnya. Mataku pun kubuka perlahan, menangkap pandangan yang mengejutkanku.

Ittoki yang tertidur di sebelahku, tetapi dengan posisi terduduk.

Salah tingkah, aku pun menahan malu pun segera sadar terhadap 'bulu' yang kuanggap mimpi ternyata adalah rambut Ittoki.

Tidak berbeda jauh dengan sikap salah tingkahku, wajahnya pun memerah.

"A-aku-- aku hanya menemanimu semalam karena padam listrik j-jadi--"

Belum sempat kurespon, ia menghilang dalam sekejap. Aku menatap jam alarm. Pukul 07.12 pagi. Kutatap pintu kamarku yang menjeblak terbuka.

"Sudah bangun?"

Aku menatap Ichinose yang bertanya kepadaku dengan ekspresi datar. Astaga. Wajah baru bangun tidurku.

"Hm,"jawabku. Ichinose duduk di sebelahku, memegang pipiku. Aku terkejut menatapnya menyentuh tepat di bagian luka di pinggir bibirku.

"Apa kau tidak apa-apa?"

Keringat dingin mengucur di pelipisku. Dingin, dingin sentuhannya/ditendang/skip. "T-tidak apa, hehe. Masalah Ittoki jauh lebih penting dibandingkan lukaku,"

"Masalahnya sudah beres,"

"Hah?" Aku melongo. Sepertinya aku salah dengar. "Sudah beres, katamu?"

"Ya, beres,"ucapnya singkat padat jelas. Padahal kemarin aku begitu khawatir ditambah lagi kejadian padam listrik itu.

"Kemarin padam listrik,"aku tahu bahasan ini tidak penting apalagi aku baru memberitahunya hari ini.

"Itu disengaja. Sekarang situasinya sudah benar-benar aman bagi kita, jadi tenanglah,"

Ichinose menatapku lekat-lekat, mengunci kebingunganku terhadap bisakah-aku-meyakini-semua-yang-ia-katakan, dan pada akhirnya aku mendesah.

"Baiklah kalau begitu, tapi aku ingin Ichinose-san memberitahuku bagaimana hal ini bisa beres,"

"Aku akan memberitahumu tepat setelah--"

"Little lamb-chan,"

"E-eto, apa seharusnya kalian keluar dulu? Aku akan bersiap-siap jadi--"

"Baiklah. Gunakan pakaian ini jam 7 malam, ok?"

Sebuah kotak putih berukuran 30 x 20 cm berbalut pita merah pun ia letakkan di pangkuanku. Aku membuka kotaknya. Sebuah mini dress berwarna krim.

"Acara apa sih?"sungutku tidak habis pikir begitu aku melihat gaun indah yang kujepit dengan kedua jari-jariku.

Ichinose menepuk bahuku. "[Reader]-san bukankah kau ingin kuliah?"

Impian gemerlap yang disebut Ichinose memang out of the blue, tetapi aku selalu menginginkan harapan satu itu. Aku mengangguk tetapi menunduk sedetik kemudian.

Aku si gadis jobless -- semi gelandangan ketika berada di kota besar setelah selesai diopname, beruntung dipertemukan oleh Princafé dan menuntut lebih?

Aku sudah cukup bersyukur bisa hidup di sini dan tidur di dalam ruangan.

Nay, deskripsi hidupku.

Ichinose beranjak dari kasurku. "Impian itu bukan hanya angan-angan,"

Aku memiringkan kepalaku. "Bagaimana bisa?"

Ia tersenyum penuh arti, membuatku mengernyitkan dahi tanpa menemukan jawaban.

Princafé [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang