11 : Second Journey

1.1K 122 2
                                    

"Hei!"seruku sekali lagi. Laki-laki itu tidak sadarkan diri. Melihat luka tubuhnya yang membiru membuatku cemas. Juga dengan orang di sekelilingku, kini tidak bisa berbuat apa-apa.

"Aku.. tidak apa-apa,"

Kedua bola mataku seakan meluncur keluar ketika aku melihat bibir laki-laki itu bisa bergerak.

"Mikaze-san. Sebentar lagi kita akan sampai terminal dan aku akan menghubungi rumah sakit terde--"

Ia memegang pipiku. "Tidak perlu. Aku hanya perlu ke ruang kesehatan di Saotome University saja nanti,"

"Mungkin dia ada benarnya, [Reader]-chan. Kita lihat dulu kondisinya di sana,"Ittoki menepuk bahuku pelan. Mungkin ia tidak ingin melihatku panik.

Aku mengangguk, membiarkan Mikaze-san menyandarkan tubuhnya kepadaku. Sebenarnya apa yang terjadi kepada laki-laki ini, aku dibuat bingung olehnya.

Karena di dalam benakku, kini hidupku terombang ambing dengan banyaknya orang-orang yang terlibat di sekitarku.

☆☆☆☆☆

Ruang kesehatan bisa dikatakan tidak ada siapapun. Dokter saja tidak ada. Mikaze-san pun duduk di ranjang.

"Apa yang menyebabkan tubuhmu membiru?"tanyaku mengernyitkan dahi.

Mikaze mendekatkan dahinya dengan dahiku. Posisi kami sama-sama duduk sehingga ia dengan mudah dapat melakukannya. Jemarinya melekat di bahuku.

"Bukankah jika pingsan seperti tadi bisa dikatakan demam?"tanyanya dengan intonasi datar. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Aku bisa merasakan nafasku beradu dengannya.

"T-tapi tubuhmu tidak panas,"jawabku tergugup. Ittoki belum kembali sejak mencari dokter yang bisa memeriksanya, sedangkan aku tidak mungkin membiarkannya sendirian.

Mikaze-san memegang jemariku, meletakkannya di tengkuknya. "Kalau dari sini, bisa kau bandingkan suhunya?"

"Lebih baik kau baring saja. Aku akan mencarikanmu balsem,"ucapku beranjak dari kursi di dekatnya. Laki-laki ini, berwajah innocent tetapi melakukannya dengan santai seperti Jinguji.

"Mikaze,"panggilan tanpa honorifik membuatku menoleh begitu suara itu bersamaan dengan pintu kesehatan yang terbuka. Aku bersyukur menatap Mikaze yang kembali terbaring. Sulit untuk membayangkan jika dalam posisi sebelumnya ada yang melihat kami dan terlanjur salah paham.

"Saya adalah dokter kesehatan Saotome University. Kalian ada kelas, kan?"suara itu terdengar berat sekaligus ketus diikuti oleh kehadiran Ittoki di dekatnya. Tersemat nama di dada kirinya.

Camus.

"Iya. Kulihat beberapa bagian tubuh Mikaze-san cukup membiru,"terangku menunjuk Mikaze.

"Dia sudah sering menjadi pasienku. Kalian boleh kembali masuk ke kelas masing-masing,"sepertinya dokter Camus tidak ingin menjelaskan tentang masalah Mikaze, alih-alih menyuruh kami kembali ke kelas.

"Sepuluh menit lagi kelasku dimulai. Duluan, [Reader]-chan,"Ittoki melangkah lebih dulu masuk ke lift yang baru saja terbuka.

Aku menatap arlojiku. Seleksi babak kedua masih dimulai setengah jam lagi. Entah kenapa aku penasaran dengan laki-laki turquoise itu. Kakiku masih ingin melangkah balik ke ruang kesehatan.

Aku tanpa sadar telah berada di depan pintu ruang kesehatan. Sekilas aku bisa mengintip di dalam melalui kaca pintu. Mataku melebar. Dokter Camus kini sedang membalut tubuh Mikaze yang kini topless. Padahal tadi aku melihat hanya lengan dan lehernya yang membiru.

Princafé [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang