Chapter 6

16 0 0
                                    

Matahari masih menyinari bumi dengan terang saat Cassie dan Austin sampai di sebuah mall besar yang tidak pernah di kunjungi oleh Cassie.

Pukul 12 lewat mereka sampai di tujuan, mereka langsung menuju tempat yang mereka rencanakan sebelumnya. Mall yang dipenuhi dengan beberapa remaja yang menghabiskan waktu mereka di hari senggang dengan berkumpul dengan teman-teman atau bahkan pacar. Teman? Apa Austin dan Cassie bisa di sebut teman? Mereka bahkan baru mengenal satu sama lain sekitar seminggu yang lalu. Tetapi sekali lihat, orang akan mengira kalau Austin dan Cassie berpacaran tetapi terkadang apa yang kita lihat belum tentu benar.

Mall yang dalam kondisi padat membuat Austin dan Cassie merasa kesusahan untuk mencapai tempat yang mereka tuju. Setelah berdesakkan dengan para pengunjung mall yang padat, mereka akhirnya sampai ke tujuan yang juga penuh dengan pengunjung.

"Rame yah." kata Cassie dengan suara yang agak besar, suara kecil tidak akan terdengar di ruangan yang penuh dengan suara musik. Ia menjepit rambutnya ke belakang telinga, bergegas untuk menjelajahi setiap sudut ruangan yang penuh dengan album-album dari bermacam-macam penyanyi.

Selama beberapa menit mencari, ia tetap tidak menemukan album idolanya. Dengan teliti, ia membongkar beberapa rak-rak yang sebelumnya tersusun rapi tetapi menjadi berantakan karena ia bongkar. Hampir setengah jam, ia sudah mencari albumnya di sepenjuru tempat tetapi ia juga tidak menemukan albumnya. Dengan lesu, ia mencari Austin yang sedang mendengarkan musik melalui headphone yang tersedia.

Austin memutar kepalanya saat merasakan ada yang menepuk bahu sebelah kanannya. "Yah?" ia menaikkan alis sebelah kirinya lalu mencabut head phone yang melekat di kepalanya. Ia membawa pandangannya untuk menatap genggaman Cassie tetapi ia tidak melihat tangan Cassie menggengam apapun, yang berarti ia tidak menemukan barang yang ia mau.

Cassie menatap Austin tepat di mata sambil mengungkapkan apa yang sedang ada di pikirannya. "Kalau kamu tidak keberatan, err...boleh antar aku untuk pergi ke sini lagi gak minggu depan?"

Austin hanya tersenyum lalu menganggukan kepalanya.

*
Cassie menatap pantulan dirinya di cermin, menatap kulit putihnya yang sangat kontras dengan pakaian yang sedang ia pakai. Walaupun pakaian yang sedang ia pakai sangat kontras dengan warna kulitnya, ia tetap memakai pakaian yang berwarna hitam itu.

Hitam, warna kesukaannya yang berarti keanggunan dalam arti positif dan kesedihan dalam arti negatif. Keanggunan? errr...tidak tau sih. Kesedihan? Tidak perlu ditanyakan lagi sepertinya, ia sering merasakan hal itu bahkan mungkin setiap saat. Mitos juga mengatakan bahwa pecinta warna hitam biasanya lebih suka menyendiri, kalau itu sih emang iya.

Cassie mengambil tas selempang yang tergeletak di tempat tidur lalu mengecek isi tasnya. Merasa ia lupa membawa pena kesayangannya, ia mengambil sebuah pena di laci meja belajarnya.

Ia berencana untuk pergi ke cafe terdekat di rumahnya. Sebenarnya sih ia tidak perlu ke cafe untuk mengetik sebuah cerita yang sedang ia rencanakan untuk di publish. Tetapi ia butuh inspirasi untuk novel pertamanya. Novel pertama yang akan ia buat sebagus mungkin.

Cassie memanggil pembantu rumah tangganya yang sedang menyiram tanaman di depan rumah. "Bik, Cassie pergi dulu ya?" tanya Cassie yang di jawab anggukan dan senyuman dari pembantu rumah tangganya.

"Hati-hati yah."

*

Lonceng berbunyi saat Cassie membuka pintu sebuah cafe yang bertema vintage, tema yang biasanya membuat orang bisa berpikir lebih santai. Tidak tau alasannya kenapa, ia suka berkunjung ke cafe yang memiliki tema vintage. Mungkin karena kebanyakan cafe yang bertema vintage lebih sering mengalunkan beberapa musik untuk menenangkan pikiran. Dengan dekorasi yang kebanyakan berwarna gelap, membuat Cassie makin menyukai tempat seperti ini. Ia sudah bilang bukan kalau ia suka warna gelap?

Sebenarnya sih, ini kedua kalinya ia menggunakan waktu luangnya untuk mengetik cerita di cafe bertema vintage ini. Cafe ini juga tidak terlalu jauh dari rumahnya, mungkin ia hanya perlu mengendarai sepeda selama 5 atau mungkin 10 menit. Iya, ia pergi ke cafe ini dengan sepeda kesayangannya, mubajir kalau ia harus menyuruh supir untuk mengantarnya ke cafe yang bisa di tempuh tanpa mobil. Menggunakan sepeda juga lebih sehat, dan juga ia bukan tipe gadis yang suka bermalas-malasan dirumah.

Ia menghirup aroma kopi yang sangat terasa di ruangan ini, sambil mengedarkan pandangannya untuk mencari tempat favoritnya. Biasanya ia lebih suka duduk di sudut tetapi tempat yang biasanya ia dudukki sudah di tempati oleh sepasang kekasih. Yah mau bagaimana lagi, tempat tersisa hanya disebelah sepasang suami istri dengan anak kecil yang mungkin masih berumur 4 tahun.

Dengan pelan, ia meletakkan macbook-nya di atas meja yang tadinya berada di pegangannya, melepaskan tas selempang yang tersampir di bahunya lalu mengeluarkan beberapa kertas dan pena dalam tasnya. Ia lalu menarik kursi, meletakkan tas di atas pangkuannya.

Setelah ia mengklik tombol power, ia mengedarkan pandangannya untuk melihat sekitar. Pandangannya terhenti saat ia melihat seorang gadis kecil yang berada di sebelahnya sedang memakan ice cream dengan semangat. Sangkin semangat, ice cream yang berwarna coklat itu mewarnai pipinya. Secara teknis, ia teringat akan masa-masa dulu. Saat mom tidak pernah berhenti untuk merecokinya dengan beberapa kata-kata karena cara makannya yang tidak sopan. Sambil tersenyum, ia mengganti pandangannya untuk menatap sepasang kembar yang sedang berdebat mengenai satu hal. Mereka tetap melanjutkan debatan mereka meski makanan sudah berada di depan mereka. "Bagaimana sih rasanya punya kakak?" umpatnya dalam hati. Kalau ia memiliki seorang kakak, mungkin ia tidak akan merasa kesepian saat mom dan dad meninggalkannya.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pelayan lalu meletakkan sebuah buku menu di meja. Cassie tidak repot-repot untuk membuka buku menu yang terletak di meja, langsung saja ia mencetuskan minuman yang sedang ada di pikirannya. "Caramel macchiato." jawabnya dengan senyuman menghias di wajah.

Pandangan Cassie menuju kepada pintu utama cafe ini, ia merasa terganggu dengan keributan yang muncul dari luar, sudah ia bilang bahwa ia suka suasana yang sepi tanpa keributan. Tidak terlalu sepi juga sih, setidaknya tidak ada teriak-teriakan yang terjadi.

Ia menyentuh permukaan macbook-nya lalu mulai mengetik beberapa kata yang muncul dari pikirannya. Saat ia sedang berusaha menyimpulkan sebuah kata yang  susah ia jelaskan, lonceng berbunyi menandakan ada seseorang yang membuka pintu utama cafe ini. Saat ia mengarahkan pandangannya kepada pintu, ia menatap seseorang yang membuatnya mendengus.

"Ugh... Dia lagi... Dia lagi."

*

A little secretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang