4

313 11 1
                                    

"eyy vik, itu ngumpulin apaan?" tanya luvena kpd viko yang sedang mengambil kertas anak anak.

"kepo lo" ucap viko sembari senyam senyum dan membuat luvena bingung.

"dih gitu ya sekarang sama gue... oke kita slek!" ucap luvena dengan jelas dan cemberut.

"yaudah mau berapa menit?" ucap viko ttp dgn senyam senyum.

"1 abad" ucap luvena singkat dan jutek.

"jangan lama lama doang, kan lo tau gue gabisa jauh jauh dari lo hehehe" goda viko yang berhasil membuat luvena blushing.

Kini wajah Luvena memerah seperti tomat yang sudah masak. Tapi tetap saja Viko menggodanya sampai-sampai Luvena tidak bisa ngambek dengan Viko.

"Apaan sih, Vik? Gombal aja sih lu!" ucap Luvena dengan nada kesal tetapi masih tersenyum.

"Gue gak gombal kok. Emang kenyataannya 'kan gue gak bisa jauh dari lo."

Luvena tidak membalas, hanya memalingkan wajah sambil mengerutkan bibir. Pipinya terasa panas–makin memanas kalau bisa. Perutnya terasa aneh, seakan ribuan kupu-kupu bertebangan di situ. "Udah ah," Bisiknya malu. "Gombal doang gak ngaruh kalau lo sendiri gak serius."

Viko tergelak. Sungguh, perempuan di depannya itu terlalu tsundere. Dan itulah daya tariknya. "Oh, jadi lo berakting agar susah didapat ya? Tenang aja, Luv. Gue bakal buktiin ke lo kalo gue serius sama lo!"

Tidak ada jawaban kecuali tamparan kecil di wajah lelaki itu.

Adelia menatap mereka berdua dengan bosan. "Sumpah, kalo lo berdua gini mulu, ingetin gue besok untuk nikahin lo berdua." Ucapnya dengan nada datar yang padahal di hatinya panas.

"ihh del apaan sih" ucap luvena yang pipi merahnya sudah mulai memudar.

Adira mendengar ucapan sahabatnya itu,hanya terkekeh. "Haha, ya ampun del. Tapi kalo gue lupa ingetin lo, entar gue aja yang ngegantiin lo."

Adelia menaikkan sebelah alisnya. "Serius lo bakal inget, Ra? Utang mi ayam kemarin aja lo pasti lupa."

"Anjrit, gue baru inget," Perempuan itu menepuk dahinya. "Sorry banget, Del. Gue bayarnya besok aja ya? Ya? Plis, hari ini gue gak bawa duit..."

Dia hanya mendecak. "Tuh, kan."

Mendengar hal itu Viko dan Luvena menoleh ke arah mereka. hanya tersenyum dengan wajah tanpa dosanya itu.

Luvena hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kedua sahabatnya itu. Tetapi Viko tersenyum melihat muka watados mereka.

"ekhem" perempuan yang disamping Viko itu berdehem membuat Viko mengalihkan perhatiannya ke dia.

"Kenapa, Luv?"

"Pengen boker kali." Imbuh Adelia asal–membuat dirinya di-deathglare sama Luvena dan diacuhkan.

"Nggak kenapa-napa, kok."

Lelaki itu mengerutkan keningnya. "Tapi kok sampai berdehem segala? Kenapa? Cemburu ya~ Awwie, Luvena cemburuan~"

Kedua gadis di samping mereka memutar bola matanya. "Vik," Panggil Adelia. "BISA NGGAK SIH LO PIKIR PERASAAN PARA JOMBLO!? Kalo mau pacaran, sana keluar! Hush! Hush! Hush!"

Dia –dibantu Adira mengusir Viko dan Luvena dengan sapu dan pengki terdekat. "Menjauh dari kami, dasar Komunisme! Kapitalisme tidak akan jatuh oleh kalian!" Seru Adira bergebu-gebu setelah mereka berdua pergi.

"...Dira?"

"Apa?"

"...Sejak kapan lo hafal kubu-kubu Perang Dingin?"

"Sejak nonton He**lia!"

"...o-oh wow."

------------------------------------------------------------

Sejak saat itu, Viko dan Luvena tidak berpacaran lagi didepan mereka, katanya 'takut diusir lagi' haha apalagi sikap Adira yang membuat viko ketakutan.

Ya gimana nggak takut ketika teman lo ngejar-ngejar pake sapu sambil nyanyi lagu perjuangan Jerman WW2?

Le Adelia curiga kalau Adira itu terkontaminasi virus nazi Jerman.

"Luvena mana sih? Kok nggak keliatan batang hidungnya dari tadi?" ucap Adira

"Paling pacaran.." jawab Adelia ketus.

Adira terdiam bingung mendengar nada bicara temannya yang tidak familiar untuknya. Dia memberikan tatapan Del-lo-kenapa-kok-kayak-orang-kere-kecopetan-sih.

Hiyak akhirnya di lanjut btw ini bukan gue yg nulis part ini tapi temen gue,  makasih nis.


Tikungan TajamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang