Chapter 12: Bullying and Betrayal

869 108 8
                                    

Chapter 12: Bullying and Betrayal

"Kau tak apa?" semuanya berlalu begitu cepat. Ivory yang kemudian menjauhi kejadian lalu Lucas yang menarik tangan Mary menjauh dari lokasi kejadian. Tubuhnya basah kuyub, padahal pelajaran akan dimulai sebentar lagi. "Gunakan ini, bersih kok," ujar Lucas sembari menyerahkan sebuah handuk biru pada Mary. Mereka menggunakan ruang ganti perempuan di gedung olahraga yang tengah kosong. Lucas sempat mengambil handuk keringnya dari loker ruang gantinya sendiri yang hanya bersebelahan dengan ruang ganti perempuan.

"Thanks, Lucas," ujar Mary pelan, ada sinar redup disana, Lucas yakin melihatnya. Helaan nafas yang nyaris tidak terdengar itu tanda bahwa dia semakin khawatir. Dia tidak mengerti anak perempuan. Bagaimana mungkin sebuah persahabatan yang sudah terjalin lama bisa rusak begitu saja? Lagipula apa yang ada dalam pikiran seorang Ivory Adams? Berteriak di depan orang yang menyelamatkanmu sekaligus sahabatmu sendiri bukankah keterlaluan?

"Apa kau ingin pulang, Mary?" dia bisa mengantar, bolos sekali-kali mungkin tidak buruk. Tapi gelengan kepala Mary menahan rencananya. "Kau ingin masuk kelas?" lalu ada anggukan sebagai jawaban. "Kau yakin? Maksudku, dengan keadaan seperti itu?"

Mary terdiam, tangannya masih berusaha mengeringkan sisa-sisa air di rambut dan beberapa di kemeja kotak-kotaknya.

Lucas kembali menghela nafas, "Kau punya baju ganti?"

Mary kembali menggeleng, "tidak," dia tidak punya baju ganti, bajunya masih cukup basah untuk digunakan masuk kelas sebenarnya. Meski begitu, Mary tidak ingin pulang. Bibinya pasti akan bertanya, wajah khawatirnya sudah tercipta di kepalanya. Belum lagi kalau Declan sampai tahu. Dia tidak ingin membuat keluarga barunya semakin kerepotan. Menurutnya, dia sudah cukup merepotkan dengan keberadaannya di rumah keluarga saudari ayahnya dan dia tidak mau membuat mereka semakin kerepotan dengan masalah yang tidak penting di sekolahnya ini.

Bahkan ketika dia merasakan rasa sakit saat Ivory membalikkan badan dan menjauh darinya.

Dia tahu semua salahnya, dia gagal menjadi sahabat yang baik. Mary bahkan tidak pernah menyinggung soal kejadian saat ibunya meninggal pada Ivory. Sementara Ivory tidak pernah menanyakannya, Mary tahu itu atas dasar privasi. Kalau Mary ingin bercerita, dia akan bercerita, selalu seperti itu. Ivory selalu menghargai keputusannya, meski Mary sendiri tahu kalau gadis itu selalu melihatnya dengan wajah yang terluka karena dia tidak pernah mendengar kisah tentang dirinya.

Apa yang menjadi pemikirannya...

Semua itu membuat Mary merasa sangat egois.

"Gunakan ini," Lucas menyodorkan sebuah jaket yang Mary yakin tadi masih terpasang di badannya. "Mungkin akan terlalu besar untukmu, tapi cukup untuk membuatmu merasa hangat," Mary terlihat ragu, membuat Lucas memilih untuk membantu gadis itu mengenakan jaket miliknya. "Jangan menolak, aku tidak mau kau sakit dan itu cukup untuk menutup bagian yang basah," kau tahu kan, kalau anak perempuan dengan sebuah baju basah seperti apa. Lucas sudah sejak tadi berusaha untuk tidak memperhatikan bagian itu dari Mary, bagaimanapun juga dia adalah anak laki-laki sehat yang sedang bertumbuh.

"Terima kasih," ujar Mary lagi. "Aku merepotkanmu," tangannya memperbaiki posisi jaket itu di badannya.

"Nonsense, aku tidak merasa kerepotan sama sekali," kening Lucas berkerut, dia tidak suka keadaan ini. Firasatnya kurang bagus, seperti ini bukan akhir dari semuanya. "Katakan padaku kalau kau butuh sesuatu, Mary," irisnya menatap manik hazel itu serius, membuat Mary mendongak menatapnya dengan ekspresi tidak terbaca, "kumohon..."

Seperti Kak Ebby.

Dan orang-orang seperti itulah yang paling tidak ingin dibuatnya kerepotan. Tapi mau tidak mau jawaban positif adalah apa yang diinginkan pemuda itu. Maka, Mary mengangguk. Dua kali dalam satu hari ini. Dua anggukan, dua janji pada dua orang yang berbeda.

[Old Ver.] The Story of a Living Doll (Discontinued)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang