Chapter 2 : Declan, full of goodness
Perjalanan ke rumahnya tidak pernah singkat. Mary tidak punya biaya untuk menggunakan bus atau teman untuk ditumpangi sampai ke rumah. Kesempatannya mempunyai teman sudah dihancurkan oleh orang-orang semacam Scott dan Rosaline.
Satu-satunya orang yang mau berteman dengannya hanya Ivory Adams dan gadis itu tidak hadir hari ini di sekolah. Well, sebenarnya, ada tidaknya Ivory tidak banyak mempengaruhi cara pulang Mary. Gadis itu selalu diantar jemput kakaknya dengan sepeda motor dan tidak mungkin dia menumpang.
Perjalanan ke rumah kurang lebih tiga puluh menit dengan berjalan kaki. Untungnya, sepanjang perjalanan, dia tak perlu melewati kawasan sepi atau berbahaya, bahkan dua puluh menit dari sekolah dia bisa menemukan rumah bibinya, adik dari ayahnya.
"Mary!" panggil seseorang, tanpa dia sadari, rumah yang dimaksud sudah berada di sebelah kanannya. Suara yang memanggilnya berasal dari sana. Mary berbalik mencari sumber suara dan akhirnya berhadapan langsung dengan pemilik suara. Declan Ebinezer Caldwell, sepupunya yang tengah menyiram taman depan rumahnya, terlihat melambai dari halaman.
Tanpa sadar, ujung bibirnya tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman manis yang hampir tak pernah terlihat di wajahnya. Declan adalah anak pertama dari keluarga Caldwell dan juga merupakan orang yang mengenalnya sejak dulu. Orang yang selalu mendengarkan keluhan dan tahu segalanya tentang dirinya. Untuk seorang anak tunggal seperti Mary, Declan sudah seperti kakaknya sendiri.
"Selamat siang, Kak Ebby," ucapnya, berhenti sejenak di tempatnya berdiri.
Declan tersenyum lebar. Berlari kecil ke arahnya, sesudah meletakkan selang dan mematikan keran air tentu saja. "Hei, baru pulang?" Mary menggangguk. Declan lebih tua dua tahun dari Mary. Seorang yang jenius dan bersekolah di Armfille High, sekolah berstandar Internasional dimana dia menerima beasiswa karena kecerdasannya.
"Oh, Mary!" suara familiar bibi Rebecca memecah keheningan sejenak yang sempat muncul di antara Mary dan Declan. "Apa kabar?" tanya Bibi Rebecca sesaat setelah melepas pelukannya dari Mary. Mereka jarang bertemu meski rumah Mary hanya sekitar sepuluh menit dari sini. Semua itu berkat ibunya yang tidak suka dirinya berhubungan dengan keluarga dari pihak ayahnya semenjak ayahnya meninggalkab rumah. Beliau masih tidak terima kepergian suaminya itu.
"Aku baik, bibi," jawabnya. Bibirnya berusaha membentuk senyuman, namun gagal.
"Syukurlah, aku jarang melihatmu. Ebby bilang kau sibuk, kupikir aku seharusnya datang berkunjung ke rumahmu untuk sekedat tahu keadaanmu, tapi kau tahu kan ibumu-"
"Mom!" ucapan bibi Rebecca terpotong dengan panggilan Declan, nadanya terdengar memperingati sesuatu. Kedua alis pemuda itu menyatu, wajahnya tampak khawatir.
"Oh!" Rebecca menutup mulutnua, terlihat panik. Wanita paruh baya itu memang agak cerewet tapi Mary tahu bibinya itu tidak ada maksud untuk membahas hal sensitif itu.
Mary berusaha tersenyum, meyakinkan bahwa semuanya baik-baik saja, dia tidak apa-apa. Namun sepertinya usahanya tidak berhasil dilihat dari raut wajahnya yang masih terlihat merasa bersalah.
"Tidak apa-apa, bibi," ucapnya. Berharap kali ini bisa lebih meyakinkan.
Jika Rebecca masih merasa bersalah, setidaknya Mary sudah tidak melihat raut itu. Karena sesaat setelah itu, dia kembali membuka suara, "ah, aku baru saja selesai membuat kue, mampirlah dulu dan akan kusiapkan pula secangkir teh untukmu," tawarnya.
Declan tersenyum, mengiyakan ajakan Ibunya, "Iya, Mary. Mampirlah sebentar, tak akan lama. Kita juga sudah lama tidak bertemu, tentu kau punya banyak hal yang harus diceritakan, kan?" Dulu, sebelum ayahnya pergi, Mary dan Declan adalah sahabat tak terpisahkan. Dengan Declan disampingnya, Mary selalu tampak lebih tegar. Dia selalu bercerita apa saja pada pemuda dengan rambut pirangnya itu. Namun semuanya berubah saat ayahnya meninggalkan dirinya dan ibunya pada saat Mary bahkan baru berusia delapan tahun. Sejak itu, Ibunya melarangnya berhubungan dengan keluarga Caldwell. Sejak itu pula, hubungannya dan Declan jadi renggang. Meski masih sesekali mereka bertemu diam-diam, tapi tidak sama seperti saat mereka masih kecil dulu. Namun, Mary bersyukur, Declan masih sama seperti Declan yang dikenalnya sejak masih kecil dulu.
Mary berpikir sejenak, biasanya ibunya baru akan pulang dua jam lagi. Maka gadis dengan rambut pirangnya itu mengangguk lemah, membuat bibinya itu tersenyum senang.
Declan lalu meraih tangannya, kemudian menuntunnya masuk ke dalam rumah. Untuk sejenak Mary lupa tentang beratnya hidup yang dijalaninya. Dia tersenyum sepanjang satu jam singkat bersama Declan. Bibi Rebecca memberinya waktu berdua dengan Declan, tahu bahwa banyak sekali yang ingin dibahas dengan sepupunya itu. Lalu, kue keju buatan bibi Rebecca adalah makanan terlezat yang dinikmatinya selama tiga bulan terakhir.
Saat akan pulang, Declan menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Meski takut pada ibunya, tapi Mary tahu dia masih ingin mengobrol dengan sepupunya itu. Lagipula, dia masih punya waktu, kan?
Maka, gadis itu tersenyum tipis, mengangguk lemah atas tawaran itu dan tertawa sepanjang perjalanan. Declan menceritakan banyak hal, termasuk hal konyol yang terjadi pada teman-temannya di sekolahnya.
"-dan Shane malah menginjak pisang milik Philip yang tak sengaja terjatuh, membuat Shane terpeleset dan tak sengaja menarik Philip ke lantai bersamanya. Posisinya sangat lucu. Kau harus lihat ekspresi Philip saat dia menyadari bahwa bukan hanya pisangnya rusak, tapi juga dia terjatuh!" Declan bercerita dengan semangat. Makanya, meski Mary tidak tahu siapa itu Shane atau Philip, tapi dari cerita Declan, mereka tampak baik dan dia merasa bisa berteman dengan mereka. Lagipula, tawa Declan membuatnya tersenyum senang. Mary tak banyak bicara, tapi bukan berarti dia tidak menikmati saat-saat bersama Declan.
Pada akhirnya, sepuluh menit itu ternyata sangat singkat. Mary berhenti dan mengucapkan terima kasih pada Declan sebelum akhirnya mencari kunci rumah untuk membuka pintu rumah yang seharusnya masih kosong.
Seharusnya.
Namun, pintu tiba-tiba terbuka dan sosok ibunya dengan kilat marah dan kebencian di matanya membuat Mary pucat pasi. Declan yang berdiri tidak jauh dari posisinya terlihat kaget. Matanya melebar. Dia tahu apa arti semua ini.
Mary berada dalam masalah.
--------------------------------------------
Maaf, sekali lagi maaf karena chapter ini sangat pendek. Dan lagi, postingnya telat. orz. Belum lagi cliffhanger di bagian akhir.
Posting berikutnya dilakukan setelah chapter empat Pricilla and the lady in blue selesai diposting.
Vote??

KAMU SEDANG MEMBACA
[Old Ver.] The Story of a Living Doll (Discontinued)
Teen Fiction[Versi terbaru akan diupload. Versi ini tidak akan diupdate lagi] Mereka memanggilnya "Boneka hidup". Dia kehilangan keluarganya dalam insiden yang paling tidak bisa dibayangkan siapapun. Harapan demi harapannya berantakan hingga akhirnya membuat Ma...