Chapter 7 : Moving Out

1.1K 140 4
                                    

Chapter 7 : Moving out

Pagi itu tidak pernah lebih baik dari hari sebelumnya. Malam lalu merupakan malam yang panjang. Hari ini pun akan menjadi hari yang panjang.  Dia harus melakukan banyak hal yang bahkan Mary sendiri pun belum tahu bisa menghadapinya atau tidak. Kenyataan bahwa kini dia berada di rumahnya sendiri tanpa keberadaan ibunya mulai membuatnya bingung antara sedih atau malah bersyukur. Memang tidak akan ada yang memarahinya, tidak akan ada yang menarik rambutnya, mengguntingnya, atau memukulnya. Ibunya sudah tidak ada, dia bahkan harus mengurusi pemakamannya nanti siang.

Tapi Mary tidak ingin terbangun. Mary tidak ingin mengurusi pemakaman ibunya. Dia tidak tahu apakah dengan melihat kembali wajah ibunya yang sudah tidak bernyawa itu akan membuatnya semakin tertekan atau membuatnya lega karena beban yang selama ini berada di pundaknya kini sudah terangkat. Mary tidak ingin mencari tahu. Dia ingin terus bergelung dalam selimutnya dan tidak terbangun lagi.

Sayangnya, hampir semua yang diinginkan Mary tidak pernah tercapai. Hampir semua hal yang selalu menjadi permintaannya tidak pernah dikabulkan. Bahkan ketika dia memohon agar semua ini hanyalah mimpi pun tidak pernah tercapai. Berkali-kali dia terbangun semalam, berharap ketika dia membuka mata dan melihat kamar ibunya, beliau masih ada di sana tertidur pulas seperti biasa. Atau paling tidak, pemandangan ibunya berada di ruang tengah keluarga mereka sembari tertidur setelah mabuk semalaman jauh lebih baik daripada pemandangan  kosong yang ditemuinya semalam.

Mary bahkan sudah tidak bisa menangis lagi pagi ini.

.

.

Dia tidak peduli dengan sekolah. Hari ini bahkan dia tidak bersiap-siap untuk menghadiri kelasnya. Toh tak akan ada lagi yang memarahinya, tidak akan ada  lagi yang memukulinya karena keegoisannya menghamburkan uang ibunya untuk sekolah sementara dia sendiri tidak berniat untuk menyelesaikan sekolahnya.

Mungkin  Mary  malah lebih baik  tidak  bersekolah lagi  setelah ini. Dari awal memang seperti itu niatnya ketika ibunya dipecat dari pekerjaannya bukan? Kini tidak ada lagi yang bisa membiayai sekolahnya, seharusnya dia malah lebih memperhatikan bagaimana caranya bertahan hidup dengan mencari makan sehari-harinya saja.

Gadis itu keluar dari kamarnya. Keadaan rumahnya masih sama seperti semalam ketika dia memutuskan untuk pulang saja ke rumah. Pihak kepolisian dan keluarga bibinya sudah memintanya untuk beristirahat saja di rumah mereka atau di rumah sakit. Katanya kondisi batinnya masih belum stabil. Tapi Mary tidak peduli, dia tidak pernah menyukai bau rumah sakit dan dia tidak ingin merepotkan bibinya. Lagipula, dia masih ingin memastikan ibunya berada di rumah dengan keadaan sehat atau tidak. Mungkin tubuh yang dilihatnya tidak bernyawa waktu itu hanyalah ilusi semata, karena dirinya terlalu letih oleh rentetan peristiwa yang dialaminya.

Turun dari lantai dua rumahnya menuju dapur membuat dadanya berdegup kencang. Mary dengan polosnya masih berharap bisa menemukan sosok ibunya di sana. Meski dengan suara keras dan kata-kata kasarnya, atau dengan kasarnya menarik rambutnya yang kini terpotong tidak jelas. Ah, itu mengingatkannya. Dia bahkan belum merapihkan rambut yang dipotong paksa ibunya waktu itu. Dia yakin sosoknya saat ini sangat tidak enak untuk dilihat. Tapi kemudian, kapan memangnya Mary tampak menyenangkan untuk dilihat? Bukankah ibunya sudah mengatakan hal itu berulang-ulang semenjak kepergian ayahnya? Bahwa wajahnya terlalu menyakitkan  untuk dilihat? Bahkan untuk membelainya saja itu menjijikkan?

Kosong.

Seharusnya Mary  sudah bisa menduganya. Tapi perasaan berharap itu  masih ada. Memenuhi  perasaannya dengan leluasa. Membuatnya seperti hilang arah dan tidak menerima apa yang ada  di hadapannya. 

Ini berbahaya.

Tapi sekaligus memberikan godaan yang besar. Mary bisa hidup dengan bahagia, otaknya  bisa diajak kerjasama dengan membayangkan  bahwa ibunya ada di dapur. Membuatkan sarapan untuknya, seperti dulu ketika ayahnya masih ada di rumah. Bersama mereka, makan bertiga dan melakukan segalanya bertiga. Mereka bahagia.

[Old Ver.] The Story of a Living Doll (Discontinued)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang