Chapter 15: It is better not knowing at all?
"Samuel!"
Tubuhnya kaku. Bola matanya membelalak menatap sosok di depannya. Dengan tubuh kurus dan penampilan yang berantakan, pria di depannya menatapnya balik.
Dulu—dulu sekali. Mary sangat menginginkan ayahnya pulang. Bersamanya dan sang ibu, mereka akan kembali ke masa-masa penuh kebahagiaan itu. Masa dimana dirinya dan orangtuanya terasa sangat bahagia. Saat dimana ibunya akan memasakkan makanan yang lezat lalu mereka berdua akan menunggu sang ayah yang sedang bekerja.
Tapi ada masa dimana dia merasa sangat marah sekaligus kecewa. Seperti saat ini.
Kenapa tidak pulang?
Ayah kemana saja?
Berjuta pertanyaan yang muncul di kepala mendadak membuatnya merasa pening. Alih-alih menanyakan jutaan pertanyaan yang berkeliaran di kepalanya, Mary malah memutuskan untuk berbalik arah. Tatapan sendu sekaligus teriakan namanya yang dipanggil diabaikannya.
Ada hal-hal yang selalu membuat pertahanannya runtuh. Salah satunya adalah menyadari kalau kenyataan bahwa kehidupannya bisa lebih baik andai saja ayahnya datang lebih awal. Mary mungkin tidak perlu melihat ibunya memiliki tempramen yang tinggi, atau suka mabuk dan membenci keluarga ayahnya hingga dia tidak bisa bertemu dengan Declan sesuka hatinya. Dia tidak perlu kehilangan ibunya dengan cara yang paling tragis. Dia tidak perlu menyerah akan kebahagiaan semu yang dunia ini tawarkan selama ini padanya.
Andai saja.
Tapi apa yang terjadi sudahlah terjadi. Maka langkah kakinya mulai melambat hingga dia benar-benar berhenti. Degup jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Mary yakin raut wajahnya saat ini tidak bisa digambarkan.
Dia sendiri tidak tahu harus merasakan apa. Dia tidak tahu apakah harus marah, benci hingga memberontak pada ayahnya yang terlambat datang sehingga kejadiaan naas itu harus terjadi. Atau apakah dia harus menangis sesegukan dan melumpahkan segala rasa kesal dan sedih yang selama ini terpendam. Atau mungkin merasa lega, karena dia masih punya seorang ayah. Meski ibunya sudah tidak ada, Mary masih punya ayah. Dan hal itulah yang penting, bukan?
Tapi Mary tidak tahu.
Dia tidak tahu harus merasakan apa. Harus bereaksi seperti apa. Hidupnya sudah dipenuhi dengan rasa iri akan kehidupan orang lain. Akan ibu orang lain. Mary sudah pasrah. Sudah tidak mau lagi berharap. Makanya ini berlebihan. Melebihi kapasitasnya berpikir, merasakan dan melebihi apapun ekspektasinya selama ini. Rasanya bahkan menyesakkan hingga bulir-bulir airmata yang jatuh membasahi kedua tangannya yang menyatu di depan dada membuatnya sadar bahwa dia tengah menangis.
Suara isakan yang terdengar asing itu terdengar olehnya. Suara isak tangisnya sendiri. Mary ingin menjauh dari sosok ayahnya yang sekarang. Dia tidak tahu bagaimana harus menghadapinya. Langsung bertemu begitu membuat hatinya tidak cukup kuat. Mary tidak pernah menganggap dirinya pemberani. Tidak pernah sekalipun. Karena dia adalah gadis yang paling sering melarikan diri dari apapun yang tengah dihadapinya. Bukankah dia juga lari dari ibunya saat itu?
Juga lari dari seseorang yang berusaha merenggut kegadisannya saat itu.
Lari dari rasa takut akan rasa sakit yang kemungkinan akan terus berulang.
Dan baru saja dia mungkin akan berlari dari kenyataan bahwa Declan akan pergi darinya. Akan meninggalkannya. Jika saja tidak ada kejadian ini, tentu Mary akan memasang wajah datarnya yang biasa lalu mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia tidak apa. Tidak akan ada yang berubah. Declan hanya pergi untuk kuliah, nanti dia akan melihatnya lagi ketika libur tiba.
![](https://img.wattpad.com/cover/2430615-288-k774120.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[Old Ver.] The Story of a Living Doll (Discontinued)
Teen Fiction[Versi terbaru akan diupload. Versi ini tidak akan diupdate lagi] Mereka memanggilnya "Boneka hidup". Dia kehilangan keluarganya dalam insiden yang paling tidak bisa dibayangkan siapapun. Harapan demi harapannya berantakan hingga akhirnya membuat Ma...